Empat tahun tanpa kepastian, lalu kerja sama itu akhirnya gugur di tengah jalan. Pekan terakhir bulan lalu PT Pertamina dan Saudi Aramco memutuskan tidak bermitra lagi dalam pengembangan Refinery Development Master Plan atau RDMP Kilang Cilacap di Jawa Tengah. Padahal sepanjang waktu itu berbagai negosiasi telah ditempuh untuk mewujudkan salah satu proyek strategis nasional tersebut.
Walau perusahaan migas multinasional itu balik badan, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman mengatakan Pertamina tetap berkomitmen menjalankan proyek. Caranya, kembali mencari mitra baru. “Pertamina akan melanjutkan RDMP Cilacap secara mandiri. Secara paralel akan dilakukan pencarian strategic partner,” kata Fajriyah beberapa waktu lalu kepada Katadata.co.id.
Sejumlah informasi menyebutkan banyak perusahaan, dari dalam dan luar negeri, ingin menggantikan posisi Aramco. Sumber Katadata menyebutkan mereka ada yang datang dari konsorsium migas Cina. Ada pula renacana penawaran dari gabungan perusahaan Korea Selatan. Namun, Fajriyah tidak mau berkomentar soal itu. “Kami belum bisa disclosed,” ujarnya.
(Baca: Tak Punya Mitra, Pertamina Tunda Pembangunan Kilang Bontang)
Sejatinya Pertamina sejak lama menantikan kesepakatan lanjutan dengan Aramco. Deal awal kedua perusahaan diteken pada akhir 2016. Dwi Soetjipto, Direktur Utama Pertamina saat itu, menandatangani kesepakatan kerja sama atau head of agreement dengan President and Chief Executive Officer Saudi Aramco, Amin H. Nasser.
Kedua perusahaan pelat merah ini bersepakat untuk membentuk perusahan patungan. Pertamina akan memegang saham sebesar 55 % dan sisanya Aramco. Ketika itu, Aramco bersedia menanamkan modal hingga US$ 6 miliar, dengan syarat mendapat insentif dari pemerintah RI.
Pemerintah pun setuju memberikan tax holiday, lahan, dan penyerahan aset ke anak perusahaan nantinya. Dari sana tim desain sempat mulai untuk merancang Basic Engineering Design (BED). Targetnya, rencana-rencana tersebut akan rampung pada Februari 2017 untuk berlanjut ke proses berikutnya.
Namun, sampai batas waktu yang ditentukan, kedua pihak tetap tak sepakat terkait valuasi proyek. Isu tarik-ulur nilai aset ini berlarut-larut. Pertamina saat di bawah Dwi sempat mengultimatum Aramco untuk memberi respons atas perhitungan aset perusahaannya.
Sayangnya cerita berjalan tidak mulus. Alih-alih berinvestasi ke RDMP Cilacap, Aramco malah menanamkan uangnya ke pengembangan kilang di Kota Panjin, Tiongkok sebesar US$ 10 miliar.
(Baca: Pertamina Teken Kerja Sama Pengembangan Kilang Petrokimia Dengan CPC)
Pada akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo sempat menyentil Pertamina karena progres pengembangan sejumlah kilang tak berjalan mulus. “Kenapa 30 tahun lebih kita tidak bangun satu kilang pun, padahal kilang ini ada produk turunannya. Kita masih impor terus. Ini ada apa?” kata Jokowi di Istana Negara pada 2 Desember 2019 lalu.
Mendapat teguran seperti itu, Fajriyah mengklaim Pertamina sudah mempercepat proyek kilang untuk menekan impor minyak. Misalnya dalam pengembangan empat proyek RDMP dan dua proyek Grass Roof Refinery. “Inilah impian besar kami dalam membangun ketahanan dan kemandirian energi,” kata Fajriyah ketika itu.
Apa lacur, yang diharapkan tak kunjung tiba. Direktur Utama Nicke Widyawati kembali memberi batas waktu hingga April 2020 agar perusahaan asal Arab Saudi untuk menanamkan investasinya di Kilang Cilacap. Namun, hal itu tak kunjung teralisasi. Aramco memilih mundur.
Tanpa kehadiran Aramco, Pertamina diprediksi sulit menyelesaikan proyek tersebut. Pasalnya, penjajakan mitra baru bukan perkara mudah. Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, badan usaha milik negara itu harus memulai lagi semua tahapan dan kesepakatan dari awal.
Ia memperkirakan proyek RDMP Kilang Cilacap baru rampung pada 2026. “Logikanya tentu demikian karena butuh waktu untuk mencari dan menjajaki mitra baru,” ucapnya.
Partner baru Pertamina nantinya harus memiliki kemampuan finansial yang kuat dan jaringan pasokan minyak mentah. Selain itu, calon mitra harus menguasai kemampuan teknologi kilang yang termaju dan efisien.
(Baca: Pertamina Tunjuk Siemens Pasok Alat Kompresi untuk Kilang Balikpapan)
Direktur Energi Watch Mamit Setiawan pun berpendapat serupa. Namun, proyek Kilang Cilacap harus berlanjut. Posisinya strategis dalam menjaga ketahanan bahan bakar minyak atau BBM dalam negeri. Sejak beroperasi pada 1976, Kilang Cilacap memiliki kapasitas terbesar di Indonesia, yaitu 348 ribu barel per hari. Grafik Databoks di bawah ini menunjukkan perbandingan kapasitasnya dengan kilang lain.
Produksi kilang itu memasok 60% kebutuhan bahan bakar minyak di Pulau Jawa, termasuk Premium, Pertalite, dan Pertamax, dan solar. Kilang Cilacap juga menghasilkan produk pelumas.
Sementara, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi berpendapat keputusan Pertamia melepas Aramco cukup tepat. BUMN itu dapat segera merealisasikan pembangunan kilang tanpa intervesi. “Kalau proyek sudah selesai dan beroperasi, baru Pertamina mencari partner dan melepas kepemilikan saham maksimal 49%,” ujarnya.
(Baca: Pertamina: Pembangunan Kilang Cilacap Tetap Jalan Meski Tanpa Aramco)
Kilang Tua Perlu Peremajaan
Sebenarnya bukan hanya Kilang Cilacap, Pertamina punya lima proyek peningkatan kapasitas kilang minyak lainnya. Pembangunan kilang ini diutamakan untuk penyediaan kebutuhan BBM dan mengurangi impor.
Proyek tersebut tercantum dalam keputusan Presiden Joko Widodo, yaitu Peraturan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2018 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional. Biaya pembangunannya diperkirakan mencapai US$ 36,27 miliar (sekitar Rp 508 triliun). Jumlah itu untuk revitalisasi kilang US$ 15,27 miliar dan pembangunan kilang baru US$ 21 miliar.
Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Ignatius Tallulembang mengatakan hampir semua negara yang populasinya besar mampu memenuhi kebutuhan BBM secara mandiri. Kondisi ini bahkan terjadi negara yang tidak memiliki sumber minyak mentah.
Contohnya, Singapura. Tanpa lapangan minyak, negara berpenduduk lima juta orang itu memiliki kapasitas produksi kilang mencapai 1,5 juta barel per hari. Indonesia, dengan jumlah penduduk jauh lebih besar, kapasitas kilangnya hanya satu juta barel per hari.
(Baca: Pertamina Tak Turunkan Harga BBM karena Harga Minyak Dunia Fluktuatif)
Proyek kilang juga penting dilanjutkan karena minyak mentah dari luar negeri kebanyakan sour crude dengan kandungan sulfur tinggi. Sementara, kilang Pertamina dirancang untuk sweet crude atau kandungan sulfur lebih rendah. “Kilang kita perlu penyesuaian agar lebih efisien,” ucap Ignatius.
Sebagian besar kilang minyak Indonesia memang sudah tua dengan teknologi lama dan kompleksitas rendah. Padahal, Indonesia perlu segera meningkatkan spesifikasi bahan bakar minyak yang ramah lingkungan. Pertamina sedang menggenjot agar BBM produksinya bisa mencapai standar Euro 4 dan 5, seperti Pertamax dan Pertamax Turbo.
Tantangan lainnya adalah menyangkut permintaan dan pasokan. Dengan lima kilang yang tersedia, yaitu Balikpapan, Cilacap, Balongan, Dumai, Plaju, dan Sorong, total produk BBM saat ini sekitar 680 ribu barl per hari. Padahal, konsumsi nasional sejak 2017 mencapai 1,4 juta barel per hari.
(Baca: Pertamina Dinilai Akan Sulit Kembangkan Kilang Cilacap Tanpa Aramco)
Progres Proyek Kilang Pertamina
Sejauh ini Kilang Balongan mengalami kemajuan tercepat. Pembangunan kilangnya terbagi menjadi tiga fase. Pengerjaan fase pertama berupa Dual FEED Competition (DFC) dengan dua konsorsium yakni Konsorsium RRE (Rekayasa Industri, Rekayasa Engineering, dan Enviromate Technology International) serta konsorsium JSW (JGC Indonesia, Synergy Engineering, dan Wijaya Karya). Targetnya, fase ini akan selesai pada 2022.
Untuk fase kedua berupa studi kelayakan serta memulai Revamp Studi Unit ARDHM (atmospheric hydro demetallization). Sedangkan fase ketiga berupa studi kelayakan bersama mitra, serta penetapan lokasi dan pengadaan lahan.
Pengerjaan konstruksi Kilang Balikpapan saat ini masih 17%. Tapi Ignatius optimistis target penyelesaiannya pada 2023 akan tercapai. Pertamina sedang melakukan seleksi konsultan dan partner untuk menyelesaikan proyek ini.
(Baca: Jadi Proyek Mangkrak, BKPM & Pertamina Kebut Pembangunan Kilang Tuban)
Pembangunan Kilang Bontang untuk sementara akan ditunda. “Bontang, jalan. Namun, partnernya tidak melanjutkan. Kami hold dulu dan kaji kebutuannya seperti apa,” katanya.
Lalu, setelah menambah saham di PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), Pertamina akan fokus melanjutkan pengembangan Kilang Tuban. Perusahaan telah siap mengintegrasikan kilang TPPI dengan pembangunan kilang baru atau grass root refinery (GRR) Tuban.
Perusahaan sedang melaksanakan lelang untuk pengerjaan proyek tersebut. “Juli akan kami tetapkan pemenang di TPPI. Sesuai prekdisi, tiga tahun harus selesai," ujar Ignatius.
Pengembangan Kilang Dumai akan menjadi prioritas. Partner pengerjaan proyeknya sudah didapat, meskipun baru tahap awal. “MOU (nota kesepahaman) belum mengikat, masih melakukan kajian bersama dari sisi proyek, termasuk apa saja yang akan kami kembangkan di sana," ucapnya.
(Baca: Meski Pandemi Corona, Progres Kilang Balikpapan Pertamina Capai 16,32%)