Ketidakjelasan Anggaran Membuka Peluang Korupsi
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai semestinya pemerintah ketika memutuskan tanggal pelaksanaan Pilkada 2020 sudah memjamin pula ketersediaan anggaran. Bukan seperti saat ini yang masih gamang antara pemerintah pusat dan Pemda.
“Aturan main penambahan anggaran yang tidak jelas bisa menimbulkan bahaya baru. Apa itu? Penggunaan anggaran yang tidak sesuai akuntabilitas dan anti korupsi,” kata Titi kepada Katadata.co.id, Rabu (10/6).
Potensi tersebut, ujarnya, sangat mungkin terjadi lantaran penambahan anggaran untuk keperluan protokol Covid-19 sangat besar. Kalaupun tambahan anggaran bisa dipastikan sebelum 15 Juni, waktunya terlalu dekat untuk memastikan penggunaannya sesuai akuntabilitas dan prinsip anti korupsi. Misalnya, proses lelang pengadaan APD bakal terburu-buru dan berpeluang asal pilih perusahaan pengadaannya.
Selain itu, kata Titi, ketidak jelasan anggaran bisa mengakibatkan penguatan petugas pelaksana di lapangan menjadi kurang maksimal. Sehingga bisa mendistorsi kualitas penyelenggara Pilkada 2020 di lapangan dan berakibat pada menurunnya mutu demokrasi.
Menurut data The Economist Intelligence Unit, indeks demokrasi Indonesia pada 2019 masih tergolong cacat meskipun mengalami kenaikan sebesar 0,09 poin dibanding tahun sebelumnya menjadi 6,48 poin. Indonesia pun berada di peringkat 64 dari 167 negara yang disurvei. Selengkapnya bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:
Oleh karena itu, Titi mengusulkan agar Pilkada 2020 dilaksanakan pada Juni tahun depan. Dengan begitu, pemerintah dan penyelenggara akan memiliki lebih banyak waktu untuk mengatur realokasi anggaran sesuai dengan kebutuhan protokol covid-19. Bahkan, kebutuhan anggaran berpeluang berkurang dari saat ini.
Baginya, tidak akan ada reputasi yang tercederai dengan penundaan Pilkada 2020. Apalagi Pilkada 2020 belum memenuhi indikator ketersediaan regulasi dan pendelegasian regulasi untuk dikatakan ideal dilaksanakan tahun ini. PKPU, misalnya, sebagai regulasi teknis belum disahkan KPU.
Ini berakibat pada sosialisasi regulasi dan penguatan kapasitas petugas lapangan yang terbatas. Tak heran bila masyarakat akan sulit diyakinkan bahwa petugas di lapangan mengimplementasikan aturan secara maksimal.
Dua indikator tersebut, kata Titi, bisa dipenuhi bila Pilkada 2020 dilaksanakan Juni tahun depan. Pemerintah dan penyelenggara bisa menyusun peraturan secara lebih komprehensif dan memiliki waktu sosialisasi lebih panjang.
Waktu untuk memitigasi risiko penularan Covid-19 pun lebih panjang, karena beberapa daerah penyelenggara merupakan penyumbang kasus positif tebanyak. Salah satunya Kalimantan Selatan yang berada di peringkat 6 provinsi dengan kasus corona terbanyak, yakni 1.565 kasus. “Jadi bukan seolah demokrasi dikalahkan Covid-19, tapi agar penyelenggara lebih siap,” kata Titi.
(Baca: Mendagri Minta Sri Mulyani Tambah Dana Pengawas Bawaslu)
Parpol Tak Masalah Pilkada Ditunda, Mendagri Tetap Ingin Desember
Wakil Ketua Umum PKB Bidang Pemenangan Pemilu, Jazilul Fawaid setuju dengan peniliaian Titi bahwa Pilkada 2020 pada 9 Desember belum ideal dan perlu dikaji ulang.
Hal pertama yang membuat tak ideal yakni pembatasan kampanye tatap muka seperti direncanakan KPU. Ini berpeluang membuat dana kampanye membengkak “Untuk teknologi kan semua meminta anggaran zoom meeting. Rapat-rapat juga akan terbatas dan tidak maksimal,” kata Jazilul kepada Katadata.co.id, Rabu (10/6).
Kedua, potensi konflik yang belum terlihat dimitigasi oleh penyelenggara. Seandainya terjadi konflik yang menyulut perkumpulan massa, terbuka klaster baru penyebaran corona. Pendapat ini tak berlebihan. Sejumlah daerah dengan kerawanan konflik tinggi memang ikut menyelenggarakan Pilkada 2020, yaitu Papua, Maluku, dan Sumatera Utara.
Data Bawaslu menyatakan ketiga daerah itu memiliki Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tertinggi pada Pilkada 2018. Poin ketiga daerah tersebut bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:
Jazilul pun menyoroti perkara sosialisasi kepada calon pemilih. Rencana sosialiasai secara daring bisa menciptakan ketimpangan antardaerah. Pasalnya, tidak semua daerah memiliki akses internet baik. Di wilayah yang kualitas internetnya rendah, peluang informasi Pilkada 2020 tak tersampaikan semakin tinggi. Jumlah partisipasi bisa rendah, sementara salah satu indikator kesuksesan pemilu adalah tingkat partisipasi.
“Harapan PKB, Pilkada dijalankan ketika corona betul-betul sudah hilang atau pemerintah sudah yakin bisa menanggulanginya. Molor tentu ada risikonya. Justru ini harus dibicarakan antara KPU, Bawaslu, DPR, dan pemerintah,” kata Wakil Ketua MPR ini. “Kalau penyelenggara sudah siap, partai pasti sudah bisa menyesuaikan.”
Akan tetapi, menurut Jazilul, PKB tetap optimis bisa menang di banyak daerah seandainya Pilkada 2020 tetap berjalan sesuai jadwal pemerintah. Khususnya di kabupaten/kota di Jawa Timur yang memang menjadi lumbung suara partai warga Nahdlatul Ulama ini.
(Baca: Belajar dari Sukses Korsel Gelar Pemilu Saat Corona Untuk Pilkada 2020)
Wakil Ketua Umum PPP, Arwani Thomafi pun tak mempersoalkan seandainya Pilkada 2020 ditunda tahun depan. Menurutnya, yang terpenting adalah pemenuhan protokol Covid-19 dan Perppu 2/2020 pun mengizinkan penundaan bila belum terpenuhi.
Pasal 201A ayat 3 beleid tersebut menyatakan, “dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non-alam sebagaimana dimaksud pada ayatai (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122A.”
Berbanding terbalik dengan suara parpol ini, Mendagri Tito Karnavian tetap ingin Pilkada 2020 dilaksanakan akhir tahun ini. Ia berdalih, Covid-19 tak bisa diprediksi kapan berakhir dan banyak contoh negara lain bisa menyelenggarakan pemilu di tengah pandemi.
“Ini pilihan yang optimistis. Kita perlu belajar dari Korea Selatan yang berhasil melaksanakan Pemilu di tengah pandemi,” kata Tito dalam rapat bersama Komite I DPD RI secara virtual, Rabu (10/6).