Tren penurunan lifting telah terjadi dari bertahun-tahun. Konsumsi minyak domestik yang tinggi tak imbang dengan produksi migas di domestik. Negara ini akhirnya sejak 2003 menjadi net importir minyak bumi.

Pandemi Covid-19 telah membuat situasi bertambah pelik. Pemerintah mencatat realisasi investasi hulu migas pada semester pertama 2020 hanya mencapai 34% dari target atau US$ 4,74 miliar. Proyek strategis banyak yang mundur dari target karena beberapa investor memilih mundur.

Praktisi Sektor Hulu Migas Tumbur Parlindungan mengatakan Kementerian ESDM seharusnya segera memulai lelang wilayah kerja (WK) atau blok migas. Cara ini dianggap mampu memacu investasi migas tahun ini.

"Perusahaan migas tiap hari evaluasi lapangan atau blok. Semakin banyak yang ditawarkan, banyak yang lihat data. Mungkin tidak investasi tahun ini tapi setidaknya mereka keep (menyimpan) data," kata Tumbur dalam diskusi virtual pada Jumat lalu.

Sayangnya, pemerintah selama ini justru hanya menawarkan blok migas dengan cadangan kecil. Investor kelas kakap menjadi tak tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. Tumbur berharap Kementerian ESDM dapat menawarkan blok migas yang mempunyai potensi jumbo.

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menyebut tak ada yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengahadapi situasi sulit sekarang selain memberikan beberapa insentif. Kemudian juga memberikan kemudahan dalam berinvestasi baik fiskal maupun nonfiskal. "Itu pun tidak juga menjamin bahwa proyek tersebut akan dapat dikerjakan tepat waktu," kata dia.

Pemerintah telah memberikan insentif tahun ini berupa penundaan kewajiban pembayaran dana pascatambang atau ASR. Selain itu, pemerintah juga menyetujui pengurangan pajak-pajak tidak langsung hingga 100%, termasuk pajak bumi dan bangunan (PBB) migas dan percepatan reimbursement pajak pertambahan nilai (PPN).

Ada pula pembebasan bea masuk dan pajak impor untuk wilayah kerja ekspolitasi dan wilayah kerja produksi komersil kontrak gross split. Pemerintah pun memberikan timulus berupa harga diskon untuk gas yang dijual dalam volume take or pay (TOP) atau daily contract quantity (DCQ).

Sedangkan insentif terkait revisi kewajiban memasok pasar dalam negeri (DMO) untuk masing-masing wilayah kerja telah diusulkan ke pemerintah untuk dinilai tingkat keekonomiannya. SKK Migas pun sedang mengkaji libur pajak untuk masing-masing blok migas. Pemberian tax holiday rencananya akan disesuaikan dengan tingkat keekonomian tiap lapangan migas.

Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Association (IPA) Marjolin Wajong menilai semua insentif itu belum cukup kuat menggairahkan iklim investasi hulu migas. Pihaknya pun sedang mengajukan beberapa usulan kepada pemerintah. “Tapi belum bisa kami kemukakan karena masih dalam pembicaraan,” ucapnya.

Blok migas
Ilustrasi proyek hulu migas. (Katadata)

Akan Pulih, Tapi Tidak Lebih Baik dari 2019?

Laporan McKinsey & Company pada Mei lalu menyebut krisis akibat pandemi Covid-19 lebih buruk dari krisis sebelumnya. Industri migas sedang mengalami tekanan hebat. Selain masalah harga komoditasnya yang jatuh, ada pula masalah kelebihan pasokan dan penurunan permintaan.

Yang lebih mengkhawatirkan, tidak ada yang tahu pasti kapan krisis ini berakhir. Namun, mengingat perannya yang sangat krusial dalam memasok energi murah, maka sangat penting bagi industri ini untuk tidak gagal.

Di bawah skenario terbaik, harga minyak dapat pulih pada 2021 atau 2022 ke tingkat sebelum krisis, yaitu US$ 50 hingga US$ 60 per barel. McKinsey memprediksi harga minyak tidak akan kembali ke level di masa lalu yang melebihi angka tersebut.

Untuk harga gas, angkanya bisa turun jauh lebih rendah. Kehadiran shale gas telah membuka sumber daya gas yang melimpah sehingga kisaran harga gas bakal di level US$ 2,5 per juta British Termal Unit (mmBTU) hingga US$ 3 per mmBTU.  Selama pandemi, permintaan gas turun 5% hingga 10% dibandingkan sebelum krisis.

“Tantangan transisi energi akan terus berlanjut. Saat ini, banyak negara fokus pada pengelolaan pandemi dan memitigasi efeknya terhadap ekonomi, yang mengalihkan perhatian dari transisi energi,” tulis McKinsey.

Badan Energi Internasional (IEA) pada 16 Juni lalu menyebut pihaknya tidak mengharapkan permintaan minyak akan kembali ke tingkat sebelum pandemi. Angkanya telah mencapai puncak pada 2019.

Penggunaan energi global akan terus turun bahkan setelah pandemi berakhir. Perilaku manusia yang berubah soal bepergian dan bekerja akan mengurangi penggunaan energi dan permintaan bahan bakar fosil. "Permintaan minyak akan pulih tahun depan, tapi kami berpikir kemungkinannya tidak akan pernah mencapai tingkat pada 2019," ujar Sverre Alvik, kepala Outlook Transisi Energi DNV GL, dikutip dari situs World Economic Forum.

Kinerja perusahaan migas besar di dunia pada kuartal kedua tahun ini juga bakal anjlok. "Saya pikir ini akan menjadi brutal dan jelek," kata Kathy Hipple, seorang analis di Institut Ekonomi Energi dan Analisis Keuangan (IEEFA), dikutip dari CNBC.

Prediksinya itu berpatokan pada harga rata-rata minyak mentah Brent yang turun dari US$ 51 pada kuartal pertama 2020 menjadi US$ 29 per barel pada kuartal kedua. Pada 21 April, Brent bahkan jatuh ke level terendah sejak 1999 dan West Texas Intermediate (WTI) terjun bebas hingga negatif. Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol kejadian ini sebagai tahun terburuk dalam sejarah pasar minyak global.

Halaman:
Reporter: Febrina Ratna Iskana, Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement