Pernyataan Bhima selaras dengan data YouGov pada Juni 2020, bahwa 85 % konsumen di Asia Tenggara termasuk Indonesia mulai menggunakan beberapa aplikasi digital dan akan berlanjut memakainya. Media sosial menjadi tempat paling favorit dengan peningkatan penggunaan 36 %, disusul video streaming 32 %, dan e-commerce  28 %.

Selengkapnya bisa disimak dalam Databoks di bawah ini:

Kecenderungan jual beli mengarah ke digital bisa terlihat dari hasil survei SEA Insights pada Juli lalu, bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) semakin meningkat menggunakan media daring. Rincian media daring yang digunakan bisa dilihat dalam Databoks di bawah ini:

Lalu, Bank Indonesia per 3 Juli mencatat 3,82 juta UMKM sudah mengadopsi quick response code Indonesia Standard (QRIS) sebagai metode pembayaran. Detailnya, 2,6 juta usaha mikro, 685,3 ribu usaha kecil, 334 ribu usaha menengah, dan 190,7 ribu usaha besar. Sebanyak 9,3 ribu lembaga donasi sosial pun telah menggunakannya.

Halaman selanjutnya: Permintaan Tetap Jadi Tantangan

Permintaan Tetap Jadi Tantangan Pemerintah

Pelaku usaha makanan dan minuman mengakui pertumbuhan di semester kedua memang memungkinkan. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman menilai kemungkinan tersebut lantaran pertumbuhan kuartal kedua versi BPS ternyata lebih tinggi tipis dari proyeksinya yang hanya 0 %.

“Kuartal ketiga bisa tumbuh 1 – 2 %, kuartal keempat juga sama. Secara total 2020 bisa 2%,” katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (6/8).

Meski demikian, ia menilai kendala masih besar di sisi permintaan, secara domestik maupun luar negeri. Kendala permintaan domestik karena daya beli masyarakat masih terbatas pada produk-produk makanan segar dan bumbu untuk konsumsi di dalam rumah. Sementara belanja pemerintah tak terlalu besar mengarah ke sektor ini. Ekspor pun belum mampu mencetak peningkatan signifikan.

Terbatasnya masyarakat mengkonsumsi makanan di luar rumah terkonfirmasi dari pernyataan Sekjen Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran. Okupansi restoran belum mampu mencapai 50 %, baik di dalam dan di luar mal. Akibatnya ada kelebihan pasokan. “Perubahan perilaku sangat berdampak, khususnya untuk restoran,” kata Yusran kepada Katadata.co.id, Kamis (6/8).

Dia berharap belanja pemerintah dapat mengerek konsumsi di restoran. Salah satunya dengan mensubsidi okupansi hotel sebesar 20 %, mengingat restoran juga berada di hotel. Sehingga ketika hotel bergerak, konsumsi restoran pun meningkat. Di sisi lain, pemerintah bisa mendapat PPN 10 % dari restoran dan hotel.

Belakangan, dalam meningkatan sisi permintaan, pemerintah berencana mencairkan gaji ke-13 Aparatur Sipil Negara (ASN) dan memberi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada pekerja bergaji di bawah Rp 5 juta. Untuk stimulus yang terakhir ini, anggarannya Rp 31,2 triliun dengan target penerima 13 juta pekerja. Setiap pekerja akan mendapat Rp 600 ribu per bulan selama empat bulan.

Tetap Fokus Tangani Corona & Tak Terpaku Label Resesi

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Muhammad Faisal menilai cara mendorong perekonomian adalah dengan tetap fokus menangani pandemi virus corona yang menjadi sumber utama krisis kali ini. Bukan terlalu berupaya menggerakkan perekonomian sampai mengendorkan protokol kesehatan seperti yang terjadi belakangan.

Faisal menyontohkan upaya menggerakkan perekonomian yang mengesampingkan aspek protokol kesehatan yakni luputnya pengawasan di pasar tradisional. Penumpukan massa di sana lebih besar ketimbang di mal. Hal ini menyebabkan pasar menjadi klaster penyerbaran virus corona yang bisa menghambat pemulihan ekonomi.

Data Ikatan Pedagang Pasar Indonesia memang menunjukkan massifnya penularan Covid-19 di pasar tradisional. Per 24 Juli tercatat 1.251 pedagang terinfeksi corona dan 25% dari angka tersebut berasal dari Jakarta. Di Ibu Kota, pedagang di pasar Cempaka Putih dan Kramat Jati menjadi episentrum dengan jumlah positif masing-masing 70 dan 49 orang.   

“Silakan jalankan new normal, tapi konsekuensinya protokolnya diperketat,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Rabu (5/8).

Dia mencontohkan Tiongkok dan Vietnam yang berhasil menjaga perekonomiannya setelah berhasil menekan pandemi virus corona. Ekonomi Tiongkok membalik menjadi 3,2 % pada kuartal kedua 2020 setelah minus 6,8 % di kuartal pertama. Sementara ekonomi Vietnam di dua triwulan awal tahun ini selalu positif, masing-masing 3,8 % dan 0,4 %.

Karena itu pemerintah, menurut Faisal, tak perlu terfokus pada label resesi dan akhirnya mengesampingkan fokus penanganan kesehatan. Mengingat, pertumbuhan negatif akan tetap susah dihindari pada kuartal ketiga dengan ruang fiskal pemerintah yang sempit untuk stimulus dan implementasinya lambat. Ia memproyeksikannya minus 2 %.

Hal senada disampaikan Ekonom Indef Faisal Basri melalui situs pribadinya, Rabu (5/8). Ia menilai semakin pemerintah memaksakan terhindar dari resesi, justru berpotensi memperbesar ongkos ekonomi dan sosial. Ia menilai pertumbuhan ekonomi lebih realistis jika pemerintah berupaya maksimal mengendalikan Covid-19. “Sehingga tahun 2021 bisa melaju lebih kencang,” katanya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement