- Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bersikeras merevisi UMP 2022.
- Para pengusaha menduga ada motif politik di balik langkah Anies merevisi UMP DKI Jakarta.
- Keputusan Anies dinilai melanggar regulasi pengupahan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merevisi kenaikan upah minimum provinsi alias UMP 2022. Angkanya dari hanya 0,85% menjadi 5,1%. Langkah ini pun mendapat kritikan dari kalangan pengusaha.
Dengan revisi tersebut, UMP Ibu Kota bakal naik Rp 225.667 ke angka Rp 4.641.854. Dasar perubahannya adalah kajian Bank Indonesia yang menyatakan pertumbuhan ekonomi RI tahun depan bakal di kisaran 4,7% sampai 5,5%. Lalu, inflasinya 2% sampai 4%.
Anies meminta semua pihak objektif melihat revisi itu. “Tahun ini ekonomi sudah bergerak, masa kita masih mengatakan 0,8% itu sebagai angka yang pas. Ini akal sehat saja,” katanya, Senin (20/12).
Keputusan tersebut juga berdasarkan kajian ulang dan pembahasan bersama semua pihak. Kenaikan Rp 225 ribu per bulan, menurut dia, sangat membantu para perkerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Persentase kenaikannya dinilai masih lebih rendah dibandingkan UMP Jakarta dalam enam tahun terakhir. Rata-rata angkanya dalam periode tersebut adalah 8,6%. Hanya pada 2021 saja yang naiknya hanya 3,3%.
Dunia usaha, ia mengatakan, sudah terbiasa dengan kenaikan sekitar 8,6% tersebut. “Dalam kondisi amat berat seperti tahun lalu saja naiknya 3,3%,” ucap Anies.
UMP Jakarta pada tahun ini tercatat sebesar Rp 4.416.186. Jika dibandingkan satu dekade sebelumnya, UMP ibu kota pada tahun ini telah naik 242,38%. Pada 2011, UMP Jakarta tercatat sebesar Rp 1.290.000, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut ini.
Wakil Gubernur DKI Jakarta menyebut keputusan menaikkan upah minimum provinsi untuk kepentingan masyarakat. Salah satu pertimbangannya adalah dampak pandemi Covid-19 kepada para buruh.
Keputusan tersebut memang tidak dapat menyenangkan semua pihak. "Tapi ini diambil untuk kepentingan yang lebih banyak lagi," kata Riza.
Langkah Anies mendapat dukungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani berharap para pengusaha dapat mendukungnya.
Revisi, menurut dia, perlu dilakukan untuk kesejahteraan warga banyak. Apalagi kalangan dunia usaha pun sudah dimudahkan dengan kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja. “Artinya saling gotong royonglah. Yang punya uang memberikan gaji layak untuk pekerja,” katanya.
Kalangan buruh pun merespon positif. Revisi UMP perlu dilakukan sesuai dengan aturan lama. Pasalnya, Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi rujukan, saat ini masih direvisi sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. “Ini menunjukkan Gubernur Anies meletakkan hukum di atas kepentingan politik,” kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal, Sabtu lalu.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, pengusaha tidak mampu memenuhi angka UMP baru tersebut. “Mayoritas tidak mampu karena, sebagai kota jasa, Jakarta salah satu provinsi yang terkena imbas Covid-19,” ucapnya.
Ia memahami keputusan pemerintah provinsi. Namun, perhitungan upah harus mempertimbangkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, seperti jumlah rumah tangga yang bekerja, konsumsi rumah tangga rata-rata, hingga jumlah pendapatan rumah tangga.
Kementerian Ketenagakerjaan perlu memberikan klarifikasi untuk memastikan penetapan UMP itu sesuai dengan regulasi yang sudah ditetapkan. “Ini perlu kepastian karena nanti bisa merembet ke mana-mana, Gubernur lain bisa membatalkan dan mengeluarkan revisi," kata Sarman.
Anies Dinilai Langgar Hukum
Perwakilan asosiasi pengusaha mencurigai keputusan Anies merevisi UMP Jakarta. “Apakah revisi ini ada sangkut pautnya dengan kepentingan politik? Oh jelas, itu jelas,” Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz dalam konferensi persnya kemarin.
Langkah Anies menyurati Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah agar ada revisi UMP dinilai tidak tepat. “Kalau mau minta perbaikan formula itu ke Pak Presiden karena dasarnya itu PP (peraturan pemerintah),” katanya.
Revisi UMP hanya membingungkan para pengusaha. Hitungan rencana bisnis mereka pada tahun depan sangat terdampak karena kebijakan pemerintah yang berubah-ubah.
Mekanisme penentuan upah minimum seharusnya melalui tripartit, yaitu antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Di dalamnya pun ada unsur akademisi dan pakar.
Penetapan UMP pada November lalu sudah melalui mekanisme tersebut. “Tapi kok ada jilid kedua. Jangan-jangan nanti mendekati 2024 (pemilihan presiden) ada jilid 10,” ucapnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers itu juga menyampaikan revisi UMP DKI Jakarta melanggar regulasi pengupahan.
Pelanggaran itu akan menjadi catatan buruk bagi Anies yang telah Masuk bursa calon presiden pada Pilpres 2024. “Ini strong message untuk Pak Gubernur. Ini melanggar loh,” katanya. “Dia sebagai gubernur harusnya paham sekali. Apalagi kalau mau nyapres. Jadi catatan.”
3 Pelanggaran Anies di Mata Pengusaha
Wakil Ketua DPP Apindo DKI Jakarta bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial Nurzaman mengatakan, UMP yang telah ada tidak perlu direvisi sebab sesuai prosedur. Angkanya pun cukup representatif.
Kenaikan upah 0,8% sudah sesuai hasil Musyawarah Dewan Pengupahan DKI Jakarta pada 15 November lalu. Angka ini berdasarkan rekomendasi serikat buruh, dewan pengupahan, dan pemerintah.
Tidak ada aturan dan rujukan hukum yang sesuai dengan langkah Anies melakukan revisi UMP. Nurzaman melihat ini sebagai bentuk pelanggaran hukum. “Kami diajarkan oleh pemerintah, perusahaan harus taat kepada peraturan dan juga regulasi. Nah, sekarang pemerintah bikin aturan yang salah, apa harus kami ikuti?” kata Nurzaman.
Sebagai informasi, UMP seluruh provinsi di Indonesia sudah ditetapkan pada tanggal 21 November 2021. Untuk provinsi DKI Jakarta, penetapan ini termaktub dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 1395 Tahun 2021.
Perhitungan ini juga mempertimbangkan hasil rekomendasi dewan pengupahan DKI Jakarta sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 yang juga adalah turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 alias UU Cipta Kerja.
Direktur Eksekutif Apindo Danang Girindrawardana mengatakan revisi UMP yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta keliru dalam tiga hal. Pertama, Anies melanggar PP Nomor 36 Tahun 2021 Pasal 9 dengan melewati masa waktu penetapan terakhir, yaitu tanggal 21 November lalu.
Kedua, pemerintah provinsi menggunakan tata cara perhitungan yang tidak sesuai dengan PP Nomor 36 Tahun 2021 Pasal 6. Dalam peraturan ini, salah satu faktor penentu UMP adalah angka aktual proyeksi pertumbuhan ekonomi di 2021alih-alih 2022.
Ketiga, keputusan Anies diambil secara sepihak saja. Dewan pengupahan tidak diajak berdiskusi dalam revisi ini. “Kalau seorang gubernur bisa menetapkan UMP dengan cara yang sangat otoriter seperti itu, apa gunanya peraturan perundangan?” kata Danang.
Apindo akan menunggu salinan Surat Keputusan (SK) Gubernur mengenai revisi UMP yang sampai saat ini masih belum diterima. Apabila SK tersebut sudah dikeluarkan, maka dewan pengupah akan berkoordinasi dengan berbagai elemen dan melakukan permohonan pencabutan pergub tersebut.
Apabila cara tersebut tidak berhasil, Apindo berencana melakukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kalangan pengusaha juga meminta Menteri Dalam Negeri dan Menteri Ketenagakerjaan memberi sanksi kepada Anies.
“Karena (revisi UMP) berpotensi menimbulkan iklim tidak kondusif bagi hubungan industrial dan perekonomian nasional,” kata Hariyadi.
Menteri Dalam Negeri, menurut dia, perlu memberikan pembinaan atau sanksi kepada kepala daerah yang tidak memahami peraturan perundahangan. "Kami juga mengimbau perusahaan untuk tidak menerapkan revisi UMP DKI yang telah diumumkan Gubernur DKI sambil menunggu keputusan PTUN berkekuatan hukum tetap," ucapnya.