- Menteri Luar Negeri Retno Marsudi akan mengunjungi Eropa untuk melobi anggota G20 di tengah meningkatnya krisis global akibat invasi militer Rusia ke Ukraina.
- Dikucilkan dan dihantam gelombang sanksi, Rusia terus melancarkan serangan di sejumlah wilayah Ukraina.
- Indonesia bisa berperan lebih besar membantu meredakan konflik dengan menghadirkan seluruh negara yang berselisih akibat perang di Ukraina di forum G20.
Pemerintah Indonesia menggencarkan upaya untuk memastikan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November nanti berjalan lancar. Di tengah meningkatnya ketegangan global sejak militer Rusia menyerbu Ukraina pada 24 Februari lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi akan mengunjungi Eropa. Sejumlah isu yang dikabarkan hendak dibahas Menteri Retno yakni upaya mengatasi konflik Rusia dan Ukraina dan pendekatan untuk memuluskan G20.
Menurut Retno, Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 terus berusaha membantu penyelesaian konflik Rusia dan Ukraina. “Kalau semakin panjang tidak selesai, dampaknya akan ke G20 dan ke kita semua,” kata Retno usai Rapat Kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu pekan lalu.
Anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon, malah menyarankan Presiden Joko Widodo bersama Retno perlu juga berkunjung ke Rusia dan Ukraina. Hal ini dengan memanfaatkan momentum Indonesia menjalankan presidensi G20. Menurut Effendi, meski G20 adalah forum ekonomi, namun tak bisa dipisahkan dari forum politik dunia.
Ada lima anggota G20 di Eropa. Uni Eropa, satu-satunya organisasi kerja sama multilateral yang menjadi anggota G20, juga membawa kepentingan 27 negara yang bernaung di dalamnya. Meski demikian, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan jadwal dan negara Eropa yang akan didatangi Menteri Retno masih diatur. “Menlu akan berkunjung antara lain ke Jerman,” kata Faizasyah kepada Katadata, Jumat, (8/4).
Menteri Retno, menurut Faizasyah, telah menugaskan Dian Triansyah Djani, Co-Sherpa 20 Indonesia yang juga Duta Besar Republik Indonesia pada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk berkonsultasi dengan mitranya di New York dan Washington D.C. serta perwakilan negara-negara Eropa di sana. “Komunikasinya terus berjalan,” ujar Faizasyah.
G20 adalah forum kerja sama multilateral yang berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan ekonomi global. Forum strategis yang dibentuk 22 tahun lalu ini mewakili lebih dari 60 persen populasi bumi, 75 persen perdagangan dunia, dan 80 persen pendapatan domestik bruto (PDB) dunia.
Forum G20 beranggotakan 19 negara, yaitu Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, Cina, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Prancis, dan Turki, serta satu organisasi kerja sama Uni Eropa yang mewakili negara-negara Eropa.
Menjalankan tugas Presidensi G20, Indonesia juga harus menjaga keutuhan penyelenggaraan forum yang terbelah. Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa sudah terang-terangan menentang Rusia. Adapun Cina dan India, dua negara dengan populasi terbesar di dunia dan perekonomian kuat di G20, memilih tak ikut campur dalam penanganan konflik di Eropa Timur.
Sejak perang akibat invasi Rusia berkecamuk di Ukraina, Indonesia sebenarnya berusaha mengambil sikap netral dan terus menyerukan aksi mendukung perdamaian. Presiden Joko Widodo, lewat akun Twitternya pada hari pertama invasi Rusia ke Ukraina, langsung menyerukan agar perang disetop. “Perang itu menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia,” tulisnya.
Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan Menteri Retno perlu memberi pemahaman kepada negara yang mendukung Amerika bahwa Rusia meminta jaminan agar aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tak berekspansi ke Eropa Timur. Selama ini Rusia selalu menentang upaya untuk menarik Ukraina menjadi anggota NATO.
Hikmahanto juga berharap Presiden Jokowi dan Menteri Retno dapat berkunjung ke Rusia dan meminta gencatan senjata. Kemudian, mereka bisa datang ke Ukraina untuk berbicara langsung dengan Presiden Volodymyr Zelensky tidak melakukan provokasi. “Provokasi terhadap Rusia akan meningkatkan agresivitas Rusia dan itu dilampiaskan dengan membuat rakyat Ukraina dalam situasi sulit,” ujar Hikmahanto, Kamis (7/4).
Dosen senior Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiono, menilai rencana Retno mendatangi Eropa sudah tepat. Ini akan menjadi langkah strategis dalam melobi negara anggota G20 di Eropa. Pasalnya, merekalah yang paling keras mengecam Rusia. “Mereka juga paling kencang menjatuhkan sanksi dan blokade untuk Rusia,” katanya kepada Katadata, Sabtu (9/4).
Rusia Kian Dikucilkan
Agresi Rusia ke Ukraina terus menuai kecaman global. Gelombang sanksi dan blokade finansial pun menghantam Rusia. Sejumlah anggota G20, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, ikut menjatuhkan serangkaian sanksi kepada Rusia. Aset para pejabat tinggi Rusia, termasuk Presiden Vladimir Putin dan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov beserta keluarganya, dibekukan. Ada 1.091 individu, termasuk 30 oligarki Rusia, dan 80 entitas yang masuk dalam daftar sanksi Uni Eropa.
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada awal Maret lalu menerbitkan resolusi berisi kecaman terhadap Rusia dan meminta negara itu segera menarik pasukannya. Resolusi ini didukung oleh 141 dari 193 anggota PBB, termasuk Indonesia. Meski demikian, Indonesia memilih abstain dalam voting untuk menangguhkan keanggotaan Rusia di Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 7 April lalu.
Tekanan global ternyata tak membuat Rusia menyurutkan langkahnya melanjutkan serangan. Putin menyebut aksi militer Rusia sebagai “operasi khusus” untuk menyelamatkan warga Rusia di wilayah Donbas di sisi timur Ukraina yang disebutkan menderita di bawah tekanan pemerintah Ukraina selama delapan tahun terakhir.
Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB pada 9 April lalu melaporkan sebanyak 1.793 warga sipil Ukraina, 142 di antaranya adalah anak-anak, tewas selama invasi Rusia. Ada lebih dari 2.400 orang yang terluka. Sementara itu, Badan Pengungsi PBB menyebutkan lebih dari 2,5 juta warga Ukraina melarikan diri untuk mengungsi di negara tetangga seperti Polandia, Hungaria, Slovakia, dan Moldova.
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, menyatakan Rusia seharusnya dikeluarkan dari G20. Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen, dalam pertemuan dengan Komite Layanan Finansial Amerika pada Rabu, 6 April lalu, bahkan menyebutkan negaranya akan memboikot pertemuan G20 jika Rusia hadir. “Saya sudah menjelaskan kepada para kolega di Indonesia bahwa kami tidak akan berpartisipasi pada sejumlah pertemuan jika ada Rusia di sana,” katanya seperti dilaporkan CNN.
Belakangan muncul klarifikasi dari Kementerian Keuangan Amerika bahwa agenda G20 dalam pernyataan Yellen itu mengacu pada pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral yang akan digelar di Washington D.C. pada 20 April mendatang.
Juru Bicara Presidensi G20 Indonesia, Maudy Ayunda, sama sekali tak merespons berondongan pertanyaan dari awak media terkait pernyataan boikot AS di G20 dalam konferensi pers daring perdananya pada Kamis, 7 April, lalu. Alih-alih berbicara tentang perkembangan isu menyangkut anggota G20, Maudy malah membahas alasan dan kesannya setelah dia ditunjuk menjadi juru bicara Presidensi G20 Indonesia.
Invasi Rusia ke Ukraina memang membuat panggung politik dunia terpolarisasi lebih ekstrem. Amerika dan para sekutunya di Eropa dan NATO terus bergerak menentang Rusia. Selain dukungan politik, mereka mengerahkan bantuan finansial, medis, dan militer ke Ukraina.
Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen datang ke Kyiv dan bertemu dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, pada 9 April lalu. Von der Leyen juga menyerahkan dokumen persyaratan menjadi anggota Uni Eropa kepada Zelensky. Hal ini semakin memperkuat indikasi Ukraina bisa bergabung dengan Uni Eropa—hal yang selama ini selalu ditentang keras oleh Rusia.
Di hari yang sama, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, juga bertemu dengan Zelensky di Kyiv dalam perjalanan rahasia menggunakan kereta. Johnson sempat berjalan-jalan berkeliling pusat kota Kyiv bersama Zelensky dan koleganya. Seusai pertemuan itu, Johnson menjanjikan Inggris akan mengirim 120 kendaraan lapis baja, sistem misil anti-kapal ke Ukraina sebagai bagian dari paket bantuan militer senilai 100 juta pound.
Sementara itu, sejumlah negara dengan kekuatan politik dan ekonomi besar, seperti Cina, Brasil, India, memilih tak ikut campur. Cina dan India memutuskan abstain dalam voting untuk meloloskan resolusi PBB yang mengecam agresi Rusia. “Mereka sebetulnya juga tak mendukung invasi Putin, tapi memilih tetap menjaga jarak,” kata Muhadi.
Mendorong Kemandirian Politik Luar Negeri Indonesia
Meski desakan untuk mendepak Rusia dari G20 terus menyeruak, Indonesia bergeming. Faizasyah menyebut Indonesia tetap bertanggung jawab menjalankan presidensi G20. “Termasuk memastikan dan mengirimkan undangan ke seluruh anggota G20,” ujarnya.
Peluang Indonesia melobi sebenarnya juga kian terbuka dengan rencana pertemuan antara Amerika dan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Asean) pada Mei mendatang. Presiden Jokowi dan Biden dikabarkan bakal menghadiri hajatan tersebut. “Semoga itu betul terjadi karena tidak mudah menetapkan jadwal 10 kepala negara Asean dan Presiden Biden,” kata Faizasyah.
Sebagai penyelenggara G20, menurut Muhadi, tugas Indonesia memang mengundang seluruh anggota termasuk Rusia ke konferensi. Indonesia tidak perlu ambil pusing dengan desakan untuk ikut mengucilkan Rusia di forum G20. Jika menghalangi apalagi membatalkan undangan ke Rusia artinya Indonesia malah gagal sebagai penyelenggara forum. “Amerika bukan ketua G20, tidak bisa menekan Indonesia,” ujar Muhadi.
Menjalankan Presidensi G20 membuat Indonesia mendapatkan privilese menyusun agenda khusus dalam konferensi sesuai kepentingan negara. Namun, menurut Muhadi, status ini tidak terlalu istimewa karena negara lain juga punya kalau mendapat giliran presidensi,” kata Muhadi. “Yang terpenting justru ada pada kepemimpinan, kemandirian politik luar negeri, dan sejauh mana politik bebas aktif Indonesia bisa diterapkan,” tuturnya.
Sebelumnya, Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, sudah memberikan sinyal bahwa Presiden Putin akan datang ke G20. Hal itu disampaikannya dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu (23/3) lalu. Meski demikian, menurut Vorobieva, kepastian kehadiran Putin juga ditentukan oleh berbagai hal, termasuk situasi pandemi Covid-19.
Rusia merupakan mitra strategis bagi Indonesia. Kedua negara menjalin kerja sama di berbagai sektor. Laporan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan nilai perdagangan Indonesia-Rusia pada 2021 mencapai US$ 2,75 miliar dan menjadi yang tertinggi sejak 2016. Selama tiga dekade terakhir, menurut kantor berita Tass, Rusia telah mengekspor persenjataan ke Indonesia dengan nilai lebih dari US$ 2,5 miliar.
Hikmahanto mengatakan relasi baik Indonesia dan Rusia berisiko rusak jika sampai mengeluarkan Rusia dari forum G20. Kondisi ini bisa mempengaruhi beberapa sektor, terutama menyangkut penyediaan suku cadang pesawat tempur dan bahan bakar minyak. Kondisi kian kompleks jika permasalahan geopolitik berimbas ke pembahasan perekonomian dunia di G20. “Jangan dijadikan medan untuk melanjutkan upaya menjatuhkan Putin sebagai Presiden Rusia,” katanya.
Sikap Indonesia yang tetap mengakomodasi Rusia di G20 tentu memiliki konsekuensi, salah satunya tekanan dari Amerika dan sekutunya akan meningkat. Dengan tetap mengundang Rusia, menurut Muhadi, Indonesia tak akan menghadapi masalah menghadapi anggota-anggota G20 seperti Cina, India, Brasil, dan Arab Saudi yang selama ini memilih tak ikut campur terlalu dalam dalam krisis di Ukraina.
Muhadi menilai ada peluang forum G20 gagal digelar ketika Amerika dan sekutunya serius melakukan boikot. Karena itulah, kemampuan Indonesia membujuk negara-negara itu agar tetap mau hadir dalam forum yang sama dengan Rusia menjadi sangat penting. Apalagi G20 adalah organisasi yang dibuat untuk mengatasi persoalan dan bersifat inklusif.
Sekalipun G20 betul-betul gagal, Muhadi mengatakan itu bukan kesalahan Indonesia. Forum itulah yang harus menanggung tanggung jawab. “Toh, Indonesia sudah mengerjakan tugasnya sesuai dengan kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif dan mandiri,” katanya.