Dyota Marsudi mengaku beruntung sistem dan rencana bisnis Bank Aladin tengah dibangun ketika pandemi Covid-19 memicu krisis ekonomi pada 2020-2021. Presiden Direktur PT Bank Aladin Syariah Tbk. itu mengatakan pagebluk memicu perombakan besar dalam rencana bisnis perusahaannya menjadi bank digital syariah. “Kami bangun lagi dari awal pada 2021, ganti core banking system dan membuat aplikasinya,” kata Dyota.
Ketika bank-bank lain berjibaku untuk mempertahankan bisnisnya, tim Bank Aladin bergerak mencari investor dan mitra dalam mengembangkan bank digital syariah. Aplikasi digital Bank Aladin pun meluncur pada Januari lalu. “Sekarang kami sudah memiliki hampir 700 ribu nasabah,” ujar Dyota dalam perbincangan dengan Katadata.co.id pada Kamis (7/7).
Bank digital itu bahkan mendapatkan peluang menambah nasabah baru setelah berkolaborasi dengan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. yang mengelola lebih dari 17.000 toko Alfamart. Jaringan minimarket ini melayani lebih dari 4 juta pelanggan setiap hari. “Nasabah bisa melakukan berbagai transaksi, termasuk tarik dan setor tunai di Alfamart,” kata Dyota.
Bank Aladin menjadi salah satu bank digital yang lahir di kala pandemi. Bank ini merupakan hasil transformasi Bank Net Indonesia Syariah Tbk. yang beroperasi sebagai bank umum syariah devisa sejak 2019. Sebelumnya, perusahaan ini dikenal dengan nama Maybank Nusa Internasional yang didirikan 28 tahun lalu.
Pandemi mendorong transformasi digital perbankan berlangsung lebih cepat. Pasalnya, masyarakat cenderung menggunakan layanan keuangan digital ketika mobilitas publik dibatasi demi menekan laju penularan virus. Bank Aladin pun melihatnya sebagai peluang besar. “Masyarakat butuh yang simpel,” ujar Dyota. “Kami memilih menjadi bank digital syariah karena sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.”
Sejak PT Bank BTPN Tbk. memperkenalkan aplikasi bank digital Jenius pada 2016, platform bank digital memang berkembang pesat. Menariknya, banyak bank digital baru yang muncul selama pandemi Covid-19. Fenomena pertumbuhan bank digital ini membawa dampak besar pada lanskap industri perbankan Indonesia.
Wakil Direktur Utama Bank BTPN, Darmadi Sutanto, mengatakan layanan perbankan digital berperan sangat penting membantu masyarakat di tengah keterbatasan mobilitas selama pandemi. Mempermudah proses membuka rekening, menabung, mengelola, dan melakukan transaksi keuangan menjadi kunci perkembangan bank digital.
Menurut Darmadi, kehadiran bank digital menarik bagi masyarakat digital savvy yang tak ingin lagi berurusan dengan birokrasi dan kurangnya fleksibilitas bank tradisional. Mereka membutuhkan layanan yang relevan. “Ini yang ditawarkan perbankan digital, yaitu kecepatan, layanan yang nyaman dan relevan, serta kemudahan,” kata Darmadi Jumat (1/7).
Jerat Ekonomi Wabah Global
Sejak merebak pada Maret 2020, pandemi Covid-19 langsung mengguncang dunia. Aktivitas publik berubah total ketika pemerintah di banyak negara menutup perbatasan, sentra bisnis, sekolah, dan menerapkan karantina untuk membatasi penularan penyakit akibat virus corona itu.
Pasar saham dunia berantakan. Perekonomian global ikut terguncang dan memicu rangkaian krisis keuangan serius di berbagai negara.
Krisis ekonomi menyusul hingga terjebak dalam jurang resesi. Guncangan ekonomi akibat Covid-19 bahkan tiga kali lebih buruk dari krisis finansial yang mengguncang dunia pada 2008. “Dilihat dari merosotnya Produk Domestik Bruto tahunan. Eropa dan negara-negara berkembang yang paling terpukul,” kata ekonom IHS Markit, Nariman Behravesh, seperti dilaporkan laman World Economic Forum.
Perekonomian Indonesia pun ikut terpukul. Pada kuartal kedua 2020, Badan Pusat Statistik menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok hingga -5,23%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara kumulatif sepanjang 2020 pun merosot mencapai -2,07%. Ini adalah kondisi perekonomian terburuk di Indonesia sejak dihantam krisis moneter pada 1998.
Krisis yang mendera Indonesia di akhir era Orde Baru itu menjadi masa kelam bagi perbankan Indonesia. Kepercayaan masyarakat kepada lembaga keuangan ini anjlok. Nasabah ramai-ramai menarik dana simpanan mereka. Bank-bank kesulitan likuiditas parah. Ekonomi kian kolaps ketika banyak perusahaan bangkrut dan inflasi terus meroket.
Depresiasi rupiah kala itu mencapai 197% dan membuat industri perbankan yang sudah terpuruk makin kalang-kabut. Pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan jeblok sampai -13%. Dana Moneter Internasional (IMF) sampai merekomendasikan 16 bank di Indonesia harus ditutup. Pada 1999, bahkan ada 38 bank yang dilikuidasi. Kemudian dalam periode 2004-2005, tiga bank menyusul ditutup.
Krisis moneter 1998 menjadi pelajaran berharga untuk memperbaiki dunia perbankan. Pengamat perbankan, Paul Sutaryono, mengatakan kini modal perbankan semakin kokoh. Pada awal pandemi Covid-19, modal perbankan nasional sempat menipis dan baru menguat kembali saat ini.
Meski demikian, permintaan kredit belum sepenuhnya pulih. “Tetapi jumlah restrukturisasi kredit makin menurun, artinya banyak debitur mulai bergairah lagi untuk berbisnis” kata Paul, Rabu (22/6).
Skema dan bantuan dana dari Program Pemulihan Ekonomi (PEN) yang diberikan pemerintah juga memperkuat posisi perbankan ketika perekonomian terpuruk selama pandemi. “Dengan bantuan dana PEN, makin lama peran bank makin tinggi dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional,” tutur Paul.
Meredam gejolak perekonomian akibat dampak pandemi, pemerintah merilis kebijakan ekonomi untuk menjaga tiga sektor penting yaitu kesehatan, riil, dan perbankan. Dalam Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara 2020, pemerintah menggelontorkan dana penanganan Covid-19 sebesar Rp 695,2 triliun.
Dana jumbo itu dibagi antara lain untuk anggaran kesehatan Rp 87,5 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, dan insentif usaha Rp 120,6 triliun. Ada juga dana bantuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Rp 123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp 53,57 triliun, hingga sektoral kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah sebanyak Rp 106,11 triliun.
Ada pun pagu anggaran penanganan Covid-19 pada 2021 mencapai Rp 744,7 triliun. Dalam tiga tahun terakhir, dana yang dikeluarkan untuk program penanganan Covid-19 mencapai Rp 1.895,5 triliun.
Mendongkrak Modal, Menarik Nasabah
Masalah yang muncul di sektor riil akibat pandemi Covid-19 merembet ke perbankan. Pasalnya, bank adalah lembaga intermediasi yang menjadi andalan dunia usaha memenuhi kebutuhan dana untuk roda bisnis mereka. “Di awal pandemi, pertumbuhan kredit melambat bahkan sampai minus, sekarang sudah mulai membaik,” kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda.
Memulihkan permintaan kredit kerja yang merosot karena pandemi menjadi tantangan bagi bank. Pasalnya, permintaan kredit ke perbankan masih rendah. Perbankan juga berhati-berhati menyalurkan kredit karena memproyeksikan perekonomian belum membaik.
Menurut laporan Otoritas Jasa Keuangan, kredit perbankan pada 2020 merosot hingga -2.41%. Penyebabnya, menurut Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, banyak korporasi belum berjalan penuh sehingga kredit modal kerja tertahan. Kredit bank-bank milik negara hanya tumbuh 0,63%. Kredit Bank Pembangunan Daerah tumbuh lebih baik, 5,22%, sementara kredit bank syariah naik hingga 9,5%.
Kondisi bisnis perbankan mulai membaik pada 2021. Pertumbuhan kredit perbankan sudah mencapai 5,2%. Tren penurunan restrukturisasi kredit juga berlanjut dengan nilai mencapai Rp 693,6 triliun pada November 2021. Padahal di tahun sebelumnya, nilai restrukturisasi kredit lebih dari Rp 830 triliun.
Menariknya, bisnis UMKM yang lebih cepat pulih begitu situasi pandemi membaik. Menurut Nailul, UMKM juga lebih cepat menjadi saluran kredit kerja perbankan dibandingkan perusahaan-perusahaan atau bisnis besar. “Ini seperti yang terjadi ketika krisis 1998, UMKM bangkit lebih cepat makanya sampai disebut tulang punggung perbaikan perekonomian,” katanya.
Pandemi juga memicu berkurangnya jumlah bank di Indonesia. Menurut Nailul, ada sekitar 1.600 bank, termasuk Bank Perkreditan Rakyat, pada 2011. Pada Februari 2022 lalu, jumlahnya menyusut menjadi 1.571 bank. “BPR yang paling terpukul selama pandemi,” katanya.
Dengan modal dan ruang lingkup operasional yang lebih kecil dibanding bank umum, BPR memang langsung kena getahnya. Apalagi banyak bisnis di sektor UMKM yang kolaps dan tak sanggup lagi mengembalikan kredit ke BPR. Alhasil, banyak rapor BPR yang merah dan harus berjibaku untuk mempertahankan bisnisnya. “Kalau bank-bank besar relatif aman meski mereka juga terpukul,” kata Nailul.
Meski terguncang krisis ekonomi, fondasi perbankan Indonesia ternyata cukup kuat. Bank Indonesia menyebutkan kondisi perbankan saat pandemi jauh lebih baik dibanding ketika terjadi krisis besar pada 1997-1998 dan 2008. Sayap bisnis perbankan melebar, termasuk dengan pengembangan bank-bank syariah.
Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan rasio kecukupan modal (CAR) perbankan pada Mei 2020 mencapai 22,16 persen, di atas ambang minimal 8%. Pada akhir 2021, kinerja sektor keuangan terus membaik. Nilai CAR perbankan bahkan mencapai 25,62%. Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit mencapai 154,9% sementara rasio Alat Likuid/DPK sebesar 34,24%, di atas ambang masing-masing pada level 50% dan 10%.
Kinerja industri perbankan syariah menjadi catatan penting karena ternyata terus tumbuh selama pandemi. Ketika penyaluran kredit nasional mengalami kontraksi, sektor pembiayaan syariah tetap tumbuh. Laporan OJK menunjukkan total aset perbankan syariah mencapai Rp 692 triliun atau tumbuh 14,25% secara tahunan. Ada pun pembiayaan mencapai Rp 434 triliun atau tumbuh 9,53%, sementara DPK mencapai Rp 544 triliun atau berkembang 15,14%.
Moncer di sisi aset dan penyaluran pembiayaan, bank syariah menghadapi tantangan di sektor permodalan. Sebagian besar bank syariah masih tergolong bank BUKU I dan BUKU 2 dengan modal inti di bawah Rp 1 triliun dan Rp 5 triliun. Kondisi ini berpotensi menyulitkan bank syariah untuk bersaing apalagi naik kelas.
Dunia Digital Bank Nasional
Pandemi Covid-19 rupanya mendorong transformasi digital di sektor perbankan berlangsung lebih cepat. Hasil survei Inventure Indonesia dan Alvara Research Center pada 2020 menunjukkan layanan perbankan digital seperti internet/mobile banking dan e-wallet menjadi lebih sering dipakai konsumen.
Ada sekitar 43,6% responden dalam sigi tersebut yang menyebut lebih sering menggunakan fitur internet/mobile banking. Di sisi lain, sebanyak 25,6% responden menyatakan mereka lebih sering menggunakan e-wallet setelah pandemi.
Bank Indonesia juga menggenjot percepatan digitalisasi perbankan dan perbaikan kondisi ekonomi nasional di tengah pandemi. Lembaga itu mendorong program open Application Programming Interface (API), yang memungkinkan transaksi perbankan dan fintech terkoneksi sehingga lebih maksimal dalam melayani kebutuhan masyarakat.
Menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, digitalisasi ekonomi dan keuangan dipercepat melalui implementasi cetak biru sistem pembayaran 2025. “Ini bagian dari langkah pemulihan ekonomi nasional,” kata Perry dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia pada akhir 2020 lalu.
Peluang pasar dan pergeseran model mengakses ke layanan perbankan digital ini membuat bank-bank digital baru bermunculan. Selain Bank Aladin Syariah, bank digital lain yang diluncurkan selama pandemi antara lain Bank Jago, Seabank, Line Bank, dan Allo Bank. Mereka muncul dengan memanfaatkan ekosistem non-finansial dan teknologi yang dimiliki.
Bank Jago, misalnya, terintegrasi dalam ekosistem teknologi yang dimiliki Gojek dan Tokopedia. Ada pun Allo Bank berkolaborasi dengan ekosistem digital Bukalapak dan ritel Transmart. Bank itu juga tengah mengembangkan rencana untuk menggandeng jejaring bisnis ritel Grup Salim, Indomaret, yang memiliki lebih dari 18 ribu toko.
Grup Salim adalah salah satu pemegang saham Allo Bank. “Jangkauan Allo Bank bisa lebih luas lagi,” kata Direktur Utama Allo Bank, Indra Utoyo, Selasa (12/7).
Indra mengatakan bank digital memang harus tumbuh dalam kondisi yang mendukung dan tidak hanya mengandalkan ekosistem finansial seperti yang dimiliki bank konvensional. “Ekosistem teknologi dan non-finansial yang dibangun bank digital membuatnya bisa lebih kokoh,” kata Indra.
Perbankan nasional masih berupaya memulihkan diri dari tekanan pandemi. Meski demikian, mereka juga menghadapi tantangan lain berupa tensi geopolitik dunia, disrupsi rantai pasok global, dan kenaikan inflasi akibat melonjaknya harga komoditas dan energi.
Karena itulah OJK berupaya mendorong konsolidasi perbankan, membangun ekosistem digital sistem perbankan, dan penguatan kebijakan perizinan sebagai sasaran krusial dalam pengembangan industri perbankan pascapandemi Covid-19.
Industri perbankan, di tengah maraknya upaya melakukan transformasi digital, juga berhadapan dengan persoalan perlindungan dan pertukaran data pribadi, penyalahgunaan teknologi, risiko serangan siber, dan kebocoran data. Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK, Teguh Supangat, menyebutkan OJK terus berupaya untuk mengevaluasi dan memperbaiki pertumbuhan lembaga perbankan di era digital.
Menurut Teguh, bank harus bisa bertransformasi agar dapat memenuhi ekspektasi masyarakat terhadap layanan keuangan. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai macam layanan digital perbankan yang bisa diakses di mana dan kapan saja. “Potensi ekonomi digital saat ini cukup besar dan dapat menjadi strategi lain bagi bank untuk menghadapi normalisasi di era endemi,” kata Teguh.