- Pada Selasa (25/10) Rishi Sunak resmi menjadi Perdana Menteri baru Inggris di tengah drama politik tak berkesudahan beberapa bulan terakhir.
- Sejumlah warga Inggris pesimistis PM baru bisa mengungkit perekonomian Inggris yang kini terjebak inflasi tinggi menjelang musim dingin.
- Tak sedikit warga Inggris mempertimbangkan pulang ke kampung seiring kenaikan harga barang dan jasa yang kian mencekik serta prospek ekonomi yang buruk.
Penghujung Oktober di Kota London seharusnya dingin dan basah. Musim gugur nyaris mencapai batasnya sementara musim dingin segera menjelang. Namun sepanjang pekan lalu, langit London seringkali cerah. Gerimis sesekali turun di pagi buta saat langit masih gelap lantas berhenti saat matahari muncul.
Di taman St. James, turis dan warga lokal rebahan di atas hamparan rerumputan, menikmati sinar mentari sore yang langka. Sementara di halaman Istana Buckingham, yang cuma selemparan pandangan mata dari St. James Park, ratusan orang berebut angle foto terbaik.
Inggris boleh saja dihantam krisis, tetapi pesona London sebagai destinasi wisata dunia sepertinya tak pernah pudar.
Pada Sabtu terakhir di bulan Oktober itu, London menampung manusia dari segala ras. Cuaca hangat bersahabat membuat pengunjung tak ragu memadati setiap sudut kota. Dari Westminster sampai Camden Market, nyaris tidak ada satupun toko yang kosong. Para pejalan kaki memenuhi trotoar hingga saling bersenggolan nyaris tidak terhindarkan.
Bus kota bahkan harus putar balik di Trafalgar Square setelah gagal menerobos padatnya gerombolan manusia. Selain dipenuhi turis, alun-alun Trafalgar juga menjadi lokasi aktivis berunjuk rasa.
Menariknya, orang yang mengenakan masker sudah jadi pemandangan langka. Sejak setahun lalu, Pemerintah Inggris memang sudah mencabut kewajiban masker bahkan saat menggunakan transportasi publik sekalipun. Pandemi Covid-19 nyaris seperti tak pernah terjadi di Britania Raya.
Sepanjang pekan lalu, London memang sedang sibuk-sibuknya. Hiruk pikuk bukan cuma terjadi di setiap sudut jalanan, tetapi juga berlangsung jantung pemerintahan. Selama beberapa bulan terakhir, drama politik bak sinetron terjadi di Westminster Palace, tempat anggota parlemen (Member of Parliament/MP) berkantor.
Drama bermula saat Chris Pincher, salah satu petinggi Partai Konservatif, dituding melakukan pelecehan seksual pada Juni 2022. Perdana Menteri Boris Johnson yang sebetulnya mengetahui kasus itu justru tutup mata.
Perkara ini segera menimbulkan mosi tidak percaya kepada Boris. Sebanyak 50 orang eksekutif pemerintahan mengundurkan diri. Boris Johnson akhirnya memutuskan mundur di awal Juli silam.
Mary Elizabeth Truss lantas menggantikan Boris Johnson tak lama kemudian. Namun, serangkaian kebijakan fatal di sektor keuangan membuat Liz Truss terjatuh hanya 49 hari setelah menjabat. Kontes di internal Partai Konservatif akhirnya mengantarkan Rishi Sunak sebagai pemimpin baru Inggris.
Pada Selasa (25/10), Sunak resmi bermukim di Downing Street 10 setelah menerima mandat Raja Charles III di Istana Buckingham.
Yang Terbaik dari Yang Terburuk
Rishi Sunak punya latar belakang menarik sebagai pemimpin baru Inggris. Ia orang Inggris-Asia pertama yang jadi PM sekaligus yang termuda dalam sejarah modern Inggris (usianya baru 42 tahun saat ini).
Sunak menikah dengan Ashkita Murthy, anak dari miliuner India Narayana Murthy. Pasangan ini disebut-sebut memiliki kekayaan 734 juta poundsterling, nyaris dua kali lipat dari total harta Raja Charles saat ini.
Kendati punya latar belakang menarik, tidak sedikit warga Inggris yang pesimistis terhadap Rishi Sunak. Gemuruh drama politik dan krisis ekonomi sudah sedemikian parahnya di Inggris hingga banyak warga yang kehilangan harapan.
Ilya Kachaev misalnya, tidak yakin Sunak bisa membawa perubahan besar terhadap masa depan Inggris. Padahal, pria keturunan Rusia yang sudah 25 tahun jadi warga London ini sebetulnya salah satu pendukung Partai Konservatif.
“Kalau saat ini ada pemilu, saya tidak akan memilih mereka [Partai Konservatif],” katanya saat berbincang dengan Katadata.
Sejak Boris Johnson mundur sebagai PM pada Juli 2022 lalu, Partai Konservatif yang saat ini berkuasa memang tercerai berai. Liz Truss yang menggantikan Boris justru membawa Inggris ke tepi jurang. Ia mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan memangkas pajak hingga 45 miliar poundsterling (sekitar Rp 780 triliun).
Harapannya, kebijakan ini bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Inggris. Masalahnya, Pemerintah Inggris tidak punya uang untuk menambal pendapatan pajak yang hilang. Satu-satunya jalan adalah dengan menambah utang baru.
Pasar merespons kebijakan Truss dengan sangat brutal. Nilai tukar poundsterling anjlok. Begitu pula dengan obligasi pemerintah Inggris yang rontok seketika. Bank of England sampai harus melakukan operasi pasar dengan membeli obligasi yang jatuh guna menenangkan pasar.
Sudah sangat terlambat bagi Truss ketika ia mulai menyadari kesalahannya. Keputusannya memecat Menteri Keuangan Kwasi Kwarteng dan menggantinya dengan Jeremy Hunt tak banyak membantu. Truss terlanjur kehilangan otoritasnya di Downing Street. Kejatuhannya membuka jalan bagi Rishi Sunak.
Sunak kini mewarisi segudang persoalan serius. Krisis energi dan inflasi menghantam Inggris dengan sangat telak. Berdasarkan data Trading Economics, inflasi Inggris pada September 2022 mencapai 10,1%. Angka ini sama dengan inflasi Juli 2022 yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Bank of England bahkan memperkirakan inflasi bisa mencapai 13% di akhir tahun seiring dengan krisis energi yang kian memanas.
“Sunak adalah pilihan terbaik dari yang terburuk. Para politisi harus segera mencari cara menyelamatkan ekonomi Inggris, alih-alih bertengkar seperti bocah,” kata Laura Oliver, salah seorang warga Inggris.
Kritik keras warga Inggris boleh jadi pada tempatnya. Inflasi tinggi di tengah musim dingin jadi skenario yang tidak boleh terjadi.
“Harga energi sudah naik dua kali lipat beberapa bulan terakhir. Kalau musim dingin masih seperti ini, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi,” Oliver menambahkan.
Tak Ada Hari Libur
Bonny [ia tidak mau menyebutkan nama belakangnya], sopir mobil rental yang mengantarkan saya ke bandara London Gatwick, tak bisa berhenti berbicara. Perawakannya tinggi besar dengan gaya rapi bak pekerja kantoran. Aksen London-nya kental terdengar tetapi masih mudah dipahami.
Sabtu (29/10) malam itu, rute menuju bandara padat merayap. Perjalanan yang biasanya cuma menghabiskan waktu 1,5 jam itu molor sampai 2 jam lebih. Kami pun membunuh bosan dengan bercengkrama.
Kisahnya dimulai sekitar 22 tahun lalu ketika Bonny merantau dari Pantai Gading ke Inggris untuk mengadu nasib. Kehidupannya lumayan. Ia punya sertifikat koki dan sempat bekerja di restoran ternama di London.
“Bayarannya bagus, tetapi tekanan kerjanya sangat besar. Saya berhenti sebagai chef dan kini fokus mengajar,” katanya.
Beberapa tahun lalu, Bonny memulai karir barunya sebagai pengajar di salah satu sekolah memasak di London. Awalnya berjalan lancar. Pekerjaan itu cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Namun, setahun terakhir, ia mulai merasa pendapatannya tak lagi cukup. Harga-harga melambung tinggi sementara gajinya tak kunjung naik. Ia tak punya pilihan lain kecuali mengambil pekerjaan sampingan sebagai sopir.
“Sekarang saya bekerja 7 hari sepekan. Senin-Jumat sebagai pengajar dan Sabtu-Minggu menjadi sopir,” ujarnya.
Bonny bercerita banyak koleganya yang melakukan hal serupa. Kenaikan harga energi dan pangan membuat banyak warga Inggris terpaksa bekerja seminggu penuh tanpa punya hari libur. Secara kasat mata, London boleh saja terlihat sibuk tetapi menurut Bonny, warga Inggris menanggung beban berat di pundak mereka.
“Saya tidak melihat masa depan di negara ini. Saya sedang mengumpulkan uang untuk kembali ke Pantai Gading,” katanya.
Opsi mudik ke kampung halaman juga jadi pertimbangan serius bagi pasangan asal Spanyol, Pablo dan Carmen. Keduanya sudah lima tahun bermukim di London dan punya pekerjaan mapan. Anak pertama mereka, Alejandro, juga lahir di kota ini. Namun, setahun terakhir, Pablo merasa kehidupannya di London semakin berat.
Agar bisa bekerja penuh, keduanya harus menitipkan Alejandro di jasa penitipan anak. Biayanya sekitar 1.300 poundsterling per bulan, setara dengan sebulan gaji pekerja kasar di Inggris. Itu pun sudah yang paling murah.
“Punya anak di London itu mahal sekali biayanya. Bayangkan nasib pekerja yang gajinya hanya 1.000-1.500 poundsterling per bulan, bagaimana mereka membayar jasa penitipan anak?,” kata Pablo.
Pablo juga mengeluhkan harga energi dan bahan pangan yang melonjak beberapa bulan terakhir. Ia bercerita setahun lalu, uang 90 pounsterling sudah bikin penuh keranjang belanjaannya. Namun belakangan, dengan uang yang sama keranjangnya cuma terisi setengah.
Pasangan ini pun mulai mempertimbangkan untuk pulang kampung ke Spanyol. Selain harga-harga yang kian mahal, Pablo juga merasa akan selamanya terjebak biaya sewa apartemen di London yang kian melangit.
Pendapat Pablo tercermin dari indeks harga konsumen (IHK) termasuk biaya kepemilikan rumah yang mencapai mencapai 8,8% pada September 2022.
“Beli properti di London? Saya bahkan tidak berani bermimpi,” katanya.
Tepi Jurang Resesi
Bukan cuma warga Inggris yang pesimistis terhadap masa depan negeranya. Sejumlah lembaga internasional juga meramalkan kondisi berat Inggris, setidaknya di 2023. Laporan International Monetary Fund (IMF) menyebut perekonomian Inggris akan tetap tumbuh 3,6% di 2022. Namun di 2023, pertumbuhan ekonomi perekonomian akan anjlok ke 0,3%. Prediksi ini lebih rendah dari perkiraan IMF sebelumnya di angka 0,5%.
Menurut laporan IMF itu, inflasi tinggi memaksa bank sentral Inggris menaikkan suku bunga secara bertahap. Akibatnya, bunga pinjaman akan kian mahal bagi rumah tangga dan bisnis. Saat ini, suku bunga Bank of England mencapai 2,25% dan diprediksi akan kembali ditingkatkan dalam waktu dekat.
“Menurut saya risiko resesi akan lebih dalam dan lebih lama dibandingkan yang diperkirakan sebelumnya,” ujar Ruth Gregory, ekonom senior Capital Economics, seperti dikutip dari CNN International.
Bagi PM baru Rishi Sunak, ini akan menjadi tantangan berat. Dalam pidato resmi pertamanya sebagai PM, Sunak menyebut persoalan ekonomi yang melanda Inggris bukan pekerjaan yang mudah untuk diselesaikan.
“Akan banyak keputusan sulit yang harus diambil,” kata Sunak.
Saat ini, tugas pertama Sunak adalah mengembalikan kepercayaan investor terhadap pemerintah. Ini penting sebab sejak Liz Truss merencanakan pemangkasan pajak besar-besaran, pasar meresponnya dengan sangat buruk. Sunak juga menyebut Truss melakukan sejumlah kesalahan saat ia masih memimpin.
Berkebalikan dengan Truss, Sunak dan Menteri Keuangan Jeremy Hunt justru berencana menaikkan pajak korporat. Melansir CNN International, Hunt akan mengerek pajak perusahaan 19%-25% pada musim semi tahun depan. Hunt juga disebut-sebut mengincar pendapatan melalui pajak tambahan (windfall tax) dari perusahaan minyak dan gas.
Rishi Sunak memang punya latar belakang sebagai ahli keuangan di Goldman Sach. Namun, bagi warga biasa seperti Pablo, ia dianggap hidup di dunia yang berbeda. Sunak hidup bergelimang harta sehingga Pablo merasa akan sulit bagi pemimpin baru mengerti persolan di akar rumput.
Drama politik di Westminster Palace juga menambah pelik persoalan. Seperti orang kebanyakan, Pablo tidak tahu kebijakan seperti apa yang akan diambil oleh kabinet baru.
“Lagipula siapa yang bisa menjamin Sunak akan bertahan lama untuk membuat kebijakannya efektif,” katanya skeptis terhadap politik Inggris.
Sepanjang pekan terakhir bulan Oktober itu, Londoners tumplek ke jalanan menikmati cuaca hangat yang langka. Namun di pundak mereka, harapan suram menganga lebar. Di tengah padatnya Camden Lock Market, saya membayangkan kehidupan Pablo, Carmen, dan bayinya Alejandro yang menggemaskan. Frasa terkenal dari film Game of Throne ‘Winter is Coming’ tiba-tiba terngiang di kepala.
“Saya pesimistis. Beberapa bulan ke depan akan jadi kehidupan yang berat buat kami,” keluh Pablo.