• Daerah perbatasan masih menjadi titik paling rawan TPPO dengan berbagai modus, termasuk modus online scams
  • Daerah perbatasan menjadi wilayah incaran penyalur perdagangan orang dengan iming-iming pekerjaan.
  • Memerlukan road map dan ketegasan, terutama regulasi yang mengatur perbatasan.

Pekan lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merilis temuan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat. Temuan di dua daerah itu memiliki banyak kesamaan, terutama ihwal kerawanan daerah perbatasan.

Komisioner Komnas HAM yang juga menjadi Ketua Tim Monitoring Efektivitas Pencegahan dan Penanganan TPPO Anis Hidayah kepada Katadata mengatakan perbatasan merupakan jalur yang paling rawan, khususnya perbatasan non-resmi.

"Yang tidak resmi tidak terkelola dan tidak terjaga. Inilah yang dimanfaatkan untuk merekrut, mengirim, memulangkan, mendaur-ulang secara ilegal," kata dia, Senin (29/5).

Sebelumnya, pada Jumat pekan lalu, Komisioner Komnas HAM Bidang Pendidikan dan Penyuluhan Putu Elvina mengatakan lokasi perbatasan Indonesia-Malaysia rawan dijadikan jalur TPPO. Khususnya di sekitar Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

Selain itu, jalur-jalur perbatasan lainnya di sekitar Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, juga rentan menjadi jalur TPPO. Daerah ini diduga memiliki beberapa jalur tikus yang mudah diakses untuk menyeberang ke Malaysia.

Apabila merunut pola migrasi pekerja asal NTT, menurut Anis, ada tiga provinsi yang menyediakan perbatasan 'favorit' para pelaku TPPO. Ketiga provinsi itu adalah Kepulauan Riau dengan perbatasan di Batam, Kalimantan Barat dengan daerah perbatasan di Entikong, dan Kalimantan Utara.

Anis mengatakan tiga provinsi itu menyediakan banyak jalur-jalur tikus di setiap titik perbatasan yang tak terjamah hukum. "Sudah jadi pengetahuan umum mengenai titik-titik yang dimanfaatkan pelaku TPPO untuk bergerak. Itu yang selama ini banyak dimanfaatkan para sindikat," kata dia.

Selain di tiga provinsi tersebut, Komnas HAM juga menemukan banyak celah dalam perbatasan laut di NTT yang kerap dimanfaatkan sebagai pintu pengiriman dan daur-ulang pekerja migran ilegal asal Indonesia. "Perbatasan ini tidak dijaga dengan baik, tidak terkelola dengan baik," kata dia. 

Pemulangan korban TPPO dari Filipina
Pemulangan korban TPPO dari Filipina (ANTARA FOTO/Fauzan/rwa.)

Tak Ada Regulasi dan Pengawasan

Anis menyebut tak ada satu pun regulasi, baik undang-undang maupun peraturan turunannya, yang mengatur mengenai perbatasan. "Dalam undang-undang terkait TPPO maupun perlindungan pekerja migran, tentang perbatasan tidak diatur, sehingga jadi celah sindikat mudah bergerak memanfaatkan perbatasan tidak resmi," kata dia.

Di jalur-jalur ini bisnis perdagangan orang kerap berlangsung blak-blakan. "Biasanya pergerakan dilakukan malam hari. Tetapi jangan salah, ada beberapa kasus yang pergerakannya terjadi di siang hari dan ini luput dari pengawasan," ucapnya.

Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) menaruh perhatian yang sama pada daerah perbatasan terkait dengan TPPO. Pada 2022, IOM merilis laporan mengenai situasi TPPO di perbatasan Kalimantan.

Salah satu perbatasan favorit pelaku TPPO yang disebutkan dalam laporan itu adalah di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang menyediakan perbatasan darat dengan Kuching, Malaysia. Di daerah ini terdapat pos lintas batas negara (PLBN) resmi yang dikelola pemerintah pusat.

Pada 2015, pemerintah pusat mengambil alih operasional dan mendesain ulang fungsi PLBN di Entikong sehingga lebih cermat dalam mengatasi TPPO. Sebelum direvitalisasi pemerintah pusat, menurut laporan IOM, petugas penjaga perbatasan cenderung melihat perdagangan manusia hanya sebagai persoalan migrasi tidak teratur calon tenaga kerja migran ke Malaysia.

RILIS KASUS PERDAGANGAN ORANG DI KEPRI
Kasus Perdagangan Orang di Kepri. (ANTARA FOTO/M N Kanwa/aww.)

Laporan itu menyebutkan pola perdagangan lintas batas di Sanggau antara lain eksploitasi pekerja di kebun-kebun Malaysia dengan jam kerja 14 hingga 18 jam sehari, ketidakpastian penempatan kerja, dan pemotongan upah secara ilegal yang menjadi salah satu modus untuk menjerat korban ke dalam skema ikatan utang.

Sedangkan faktor utama terjadinya perdagangan orang lintas batas adalah kondisi geografis yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Wilayah Entikong dan Sekayam di Distrik Sanggau secara langsung berbatasan dengan Negeri Jiran.

Meski ada PLBN, di sejumlah titik di Distrik Sanggau terdapat celah dengan ditemukannya sejumlah makelar untuk melewati perbatasan negara. Selain itu, kurangnya kesempatan kerja di Sanggau, membuat tawaran kerja dengan bermigrasi ke Serawak terlihat menggiurkan bagi masyarakat.

Selain rawan sebagai pintu keluar dan masuk bagi pelaku TPPO melancarkan aktivitas pidananya, Sanggau juga menjadi daerah rawan incaran penyalur. Masyarakat di sana kerap menjadi incaran tipu rayu para penyalur pelaku TPPO.

Profil serupa ditemukan IOM di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Posisi Sambas yang berbatasan langsung dengan Lundu (Malaysia) secara resmi dikelola oleh PLBN Aruk. Namun, di sekitar PLBN Aruk masih ditemukan beberapa jalur tikus yang menjadi pintu perbatasan ilegal rawan TPPO.

Pola dan kerentanan serupa diamati IOM di Kapuas Hulu hingga Nunukan, Kalimantan Timur.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement