- Program pembiayaan BTPN Syariah menyasar masyarakat inklusi.
- BTPN Syariah memiliki fokus mengumpulkan dana dari keluarga sejahtera dan menyalurkan kepada keluarga inklusi
- Para nasabah yang mendapat pembiayaan juga dijamin asuransi jiwa, pembiayaan perbaikan rumah dan pendidikan di tahun ketiga.
Hari itu menjadi jadwal Ramona Aulia, 25 tahun, berjualan lewat siaran langsung di platform Facebook. Dengan jumlah pengikut 1400 orang, Mona, sapaan karibnya berinisiatif memperluas distribusi usaha sang ibu, yaitu kerupuk amplang.
“Yang mika tiga buah Rp 50 ribu, yang toples tiga buah Rp 100 ribu, beb. Aku jual amplang selalu baru goreng, bukan lama. Bantu share dulu, aku kasih bonus," ucapnya pada Kamis (15/6).
Ide itu muncul ketika pagebluk Covid-19 meruntuhkan usaha mereka yang berlokasi di Samarinda Hulu, Kalimantan Timur. Kerupuk amplang yang biasa terjual, terpaksa dibuang karena jumlah pembeli turun drastis. Mereka juga harus memangkas tiga dari delapan orang karyawan yang bekerja di sana.
Usaha amplang yang Mona jalankan merupakan milik keluarga yang semula dibangun oleh sang nenek. Kira-kira dekade 1980-an, nenek Mona, Julaeha, bekerja pada seorang pengusaha kerupuk amplang.
Selama lima tahun Julaeha bertugas menggoreng kerupuk dengan upah Rp 4.000, waktu kerjanya dari pukul 10 pagi hingga pukul dua dini hari. “Sebetulnya saya sudah datang dari jam tiga pagi, tapi masak nasi dulu dan bersih-bersih,” kata Julaeha mengenang masa mudanya.
Singkat cerita, ia lalu mencoba menjual amplang sendiri bermodalkan dua ekor ikan pipih. Ia ingat betul keuntungan pertama sebesar Rp 1.000 ia putar lagi menjadi modal, hingga keuntungannya naik menjadi Rp 1.500 dan terus berkembang setiap hari.
“Saya berhenti kerja dari bos karena harus mengurus anak juga. Kalau bikin sendiri, bisa sembari urus anak di rumah," ucapnya.
Pembiayaan dari BTPN Syariah
Keputusan membangun usaha sendiri sempat membuat Julaeha perang dingin dengan mantan bosnya selama tiga bulan. Namun, lambat laun usahanya makin berkembang dan justru lebih maju ketimbang tempatnya bekerja dulu.
“Kata orang amplang di sini beda rasanya, saya juga tidak tahu apa yang beda. Padahal bumbunya sama,” kata Julaeha terkekeh, singkat menyimpulkan bahwa tak ada bumbu rahasia dalam olahan amplang miliknya.
Usaha amplang milik Julaeha kini berkembang pesat. Titik baliknya terjadi pada 2016 lalu. Sang anak, Endang Jumalini yang berusia 40 tahun memulai pembiayaan usaha ke Bank BTPN Syariah sebesar Rp 5 juta.
“Kalau dulu mamak saya cuma jual dengan cara titip ke warung. Sekarang sudah bisa kirim sampai lebih 50 bal ke Balikpapan dan Samarinda,” ucap Endang.
Sejak 2016, Endang mengajukan tujuh kali pembiayaan dengan jumlah pembiayaan terakhir sebesar Rp 12 juta. Sedangkan Julaeha dan Mona masing-masing mendapat pembiayaan sebesar Rp 6 juta dan Rp4 juta.
Endang merupakan nasabah inspiratif BTPN Syariah, sekaligus ketua Sentra Gang 1, Samarinda Hulu, Kalimantan Timur. Sentra merupakan kumpulan nasabah yang menerima manfaat pembiayaan dan pelatihan usaha dari Bank BTPN Syariah.
Sentra Gang 1 memiliki 28 anggota dengan jenis usaha yang bervariasi. Selain amplang, anggota Sentra Gang 1 juga memiliki usaha berupa kios sembako, buah-buahan, minuman ringan, dan produk fesyen.
Februari 2023 lalu BTPN Syariah memberangkatkan 320 nasabah inspiratif pergi ibadah umrah ke Tanah Suci. Mereka yang terpilih merupakan para pemimpin yang usahanya telah berkembang dan mampu membangun para anggota sentranya menjadi perempuan yang berani berusaha, disiplin, kerja keras, dan saling bantu.
Pembiayaan Masyarakat Prasejahtera
Lain lagi kisah Siti Faisah, 38 tahun, Ketua Sentra SKM 01, Samarinda Utara. Ia membawahi delapan anggota nasabah pembiayaan BTPN Syariah. Siti memulai usaha kecil di tahun 2015 bermodal Rp 4 juta dan berbuah kejutan umrah pada Februari lalu.
“Saya tidak pernah bermimpi bisa umrah. Dulu ibaratnya buat makan sehari-hari saja sudah alhamdulillah,” ucapnya
Siti semula hanya berjualan gorengan sosis berbekal satu buah meja kecil di ujung rumah. Setelah delapan tahun berjalan, kini ia menerima pembiayaan sebesar Rp 50 juta
untuk mengembangkan usaha grosir sembako, depot gas dan air isi ulang, serta stan minuman es tape.
“Pembiayaan BTPN Syariah tanpa anggunan ini sangat membantu keluarga. Ketika yang lain harus pakai jaminan, kita cuma bermodal disiplin saja,” kata Siti.
Sebelum memulai pembiayaan, para calon nasabah akan lebih dulu mendapat bekal ilmu keuangan dan manajemen bisnis dari Putih Melati Bangsa, staf pendamping khusus dari BTPN Syariah.
Pembiayaan dilakukan secara berkelompok. Setiap dua minggu sekali staf pendamping akan datang menghampiri sentra untuk melakukan pembekalan dan berbagai transaksi keuangan termasuk pembayaran angsuran dan tabungan.
Jika ada anggota yang “mangkir” membayar angsuran, maka anggota kelompok yang lain bertanggung jawab menutup angsuran tersebut. Mereka menyebutnya sebagai “uang solidaritas”. “Makanya saya pilih-pilih anggota, harus yang saya kenal agar tidak merepotkan anggota lain,” kata Siti.
Program pembiayaan syariah yang didapat Siti dan Endang memang menyasar masyarakat inklusi. Indikatornya ditentukan berdasar data keluarga miskin, memiliki usaha kecil dengan pendapatan di bawah Rp 50 ribu per hari.
Ainul Yaqin, Kepala Komunikasi Perusahaan BTPN Syariah mengatakan, pembiayaan ini hanya menyasar kelompok perempuan. Tak cuma nasabah, tapi 95% karyawan BTPN Syariah juga bergender perempuan.
Kata Ain, sapaan karibnya, kehadiran staf perempuan bertujuan agar hubungan karyawan-nasabah layaknya ibu dan anak, harmonis. “Kenapa pembiayaan hanya untuk perempuan? Karena perempuan yang berdaya akan memajukan keluarga,” ucapnya.
Tanpa Agunan dan Angsuran Ringan
BTPN Unit Syariah berdiri pada 2010 dan diluncurkan setahun kemudian. Pemisahan sebagai PT BTPN Syariah berjalan tepat tiga tahun pasca peluncuran (2014). Perusahaan ini terdaftar sebagai PT BTPN Syariah Tbk pada 8 Mei 2018.
Perjalanan bisnis BTPN Syariah menjadi Kategori Bank BUKU 3 disetujui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 7 Juli 2020. Tahun berikutnya perusahaan masuk dalam bank dengan modal di atas Rp 6 triliun.
“Saat ini BTPN Syariah tersebar di 23 provinsi dengan jumlah karyawan mencapai 13 ribu orang. Sebanyak 95% karyawan bergender perempuan dan hampir setengahnya lulusan sekolah menengah atas,” kata Ain.
BTPN Syariah memiliki fokus mengumpulkan dana dari keluarga sejahtera dan menyalurkan kepada keluarga inklusi sejak tahun 2014. Saat ini mereka telah melayani 6 juta nasabah di seluruh Indonesia.
Pembiayaan yang tersalurkan di Kalimantan Timur hingga Kuartal pertama 2023 mencapai Rp 76 miliar untuk 28 ribu perempuan keluarga prasejahtera produktif. “Atas usaha ini BTPN Syariah diganjar penghargaan dari Bank Indonesia sebagai Bank Pendukung UMKM terbaik untuk seluruh perbankan (konvensional dan syariah)," ujarnya.
Para nasabah yang mendapat pembiayaan selain mendapat modal usaha juga dijamin asuransi jiwa, tabungan dengan gratis biaya bulanan, dan pembiayaan perbaikan rumah dan pendidikan di tahun ketiga.
Jika nasabah meninggal dunia di tengah angsuran, maka angsurannya dianggap lunas. Para nasabah pembiayaan BTPN Syariah juga diminta untuk menabung setiap periode dua minggu pertemuan. Di Sentra Gang 1 misalnya, para anggota sepakat menabung Rp 20 ribu setiap pertemuan.
Mengenai kemudahan pembiayaan, lantaran program ini menyasar perempuan prasejahtera, Ain menekankan BTPN Syariah tidak meminta agunan. Bahkan angsurannya pun tergolong lebih ringan dibanding platform pembiayaan tanpa agunan lain.
“Skema untuk pembiayaan paling kecil Rp 2 juta misal, nasabah hanya perlu mengangsur Rp 104 ribu setiap 2 minggu pertemuan," katanya.
Artinya, dalam sehari nasabah cukup mengumpulkan uang sekitar Rp 7.500 untuk membayar angsuran. Jika dihitung selama setahun berikut potongan satu kali angsuran saat Idulfitri, maka total angsuran yang dibayar nasabah sekitar Rp 2,4 juta saja.
Dengan angsuran kecil dan tanpa agunan, BTPN Syariah termasuk memiliki nilai Non Performing Financing (NPF) yang kecil. Di seluruh Indonesia rasio NPF bersih perusahaan pembiayaan ini senilai 0,5% pada Kuartal 1 tahun 2023.
Artinya dari 100 nasabah, hanya lima nasabah yang tergolong bermasalah dalam penyelesaian kredit. “Di Kalimantan Timur jumlahnya lebih kecil lagi, hanya 0,02% saja,” kata Ain. Rasio NPF tersebut setara dengan risiko 1 nasabah bermasalah dari 5.000 nasabah lain.