• Selama bertahun-tahun, kekhawatiran pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan haji selalu ada di Armuzna, tiga tempat ritual puncak haji.
  • Pelaksanaan ibadah haji tahun ini menggunakan skema kerja sama antara pemerintah negara pengirim jemaah haji dengan perusahaan swasta atau syarikah Arab Saudi.
  • Berubahnya sistem penyelenggara pelayanan haji menghilangkan dimensi spirit pelayanan yang dulu diperankan mu'asasah.

Wajah Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tampak buram. Rabu (28/6) siang itu, di Hari Raya Iduladha, masuk laporan jemaah haji Indonesia terlantar di Muzdalifah. Kabar yang beredar, banyak jemaah haji yang hingga tengah hari belum juga terangkut ke Mina. Para jemaah haji yang sudah lelah lantaran belum tidur sejak pemberangkatan dari Arafah, dipaksa kepanasan dan kehausan dibawah terik matahari yang ekstrim tanpa tempat berteduh dan pasokan logistik yang mencukupi.

Tim petugas Indonesia dari Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) sebenarnya ada bersama jemaah. Namun, tanpa pasokan transportasi masal dan kiriman logistik dari penanggungjawab layanan Arab Saudi, mereka tidak dapat berbuat banyak. Yang bisa mereka lakukan adalah menjaga jangan sampai ada jemaah haji yang kolaps di tengah kondisi itu. Baru lewat tengah hari, mereka semua akhirnya bisa diberangkatkan ke Mina.

Tanpa menunggu waktu, Gus Menteri alias Gusmen, demikian Yaqut biasa disapa, berangkat bersama stafnya untuk bertemu dengan pimpinan Mashariq, perusahaan swasta Arab Saudi yang meneken kontrak dengan Pemerintah Indonesia untuk memberikan pelayanan logistik, transportasi, dan akomodasi jemaah haji Indonesia selama di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).

Di rapat tersebut, menurut informasi yang diperoleh Katadata, sang Amirul Haj Indonesia menumpahkan kekesalannya. Apalagi dia menyaksikan sendiri problem yang dialami jemaah haji sebelumnya di Arafah, seperti keterlambatan bus transportasi, tenda yang di bawah kapasitas, serta plotting tenda yang berantakan. Masalah kapasitas tenda ini juga ternyata ditemukan di Mina. Gusmen menuntut Mashariq selaku perusahaan penjamin layanan untuk jemaah haji Indonesia untuk bertanggung jawab atas problem serius tersebut.

Jamaah haji bergerak ke Muzdalifah
Jamaah haji bergerak ke Muzdalifah (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww.)

 

Momok di Armuzna

Gusmen sejatinya memang pantas marah. Maklum, selama bertahun-tahun, kekhawatiran pemerintah Indonesia dalam pelaksanaan haji memang ada di Armuzna, tiga tempat ritual puncak haji. Muzdalifah misalnya, adalah lapangan kosong tanpa tenda tempat jemaah singgah setelah bertolak dari Arafah. Di tempat itu, jemaah haji seharusnya hanya mengumpulkan batu untuk melempar jumrah di Mina dan rehat sejenak beratapkan bintang-bintang di langit dengan alas seadanya, sambil menunggu jemputan bus.

Karena itu, memang tidak ada dapur umum atau konsumsi yang disediakan secara khusus di Muzdalifah. "Kita hanya membekali jemaah dengan konsumsi ketika masih di Arafah, sehingga jemaah sudah membawa bekal masing-masing saat bertolak dari Arafah menuju ke Muzdalifah," kata Subhan Cholid, Ketua PPIH Indonesia di Arab Saudi.

Strategi pemerintah Indonesia sejak puluhan tahun lalu di Muzdalifah adalah mengevakuasi jemaah haji dengan bus secepatnya dari sana sebelum matahari meninggi. Tanpa perlindungan tenda dan ketersediaan pasokan logistik, berada di padang tandus tersebut saat siang hari akan menjadi mimpi buruk. Selama puluhan tahun strategi tersebut sukses dijalankan Indonesia, sampai mimpi buruk itu benar-benar terjadi Rabu lalu.

Bus-bus untuk mengevakuasi jemaah sebenarnya beroperasi dengan sistem taradudi atau shuttle. Di satu jalur, bus akan memberangkatkan jemaah dari padang Arafah ke Muzdalifah dan berputar kembali ke Arafah untuk mengangkut jemaah lain, begitu seterusnya. Di jalur lain, bus-bus akan memberangkatkan jemaah dari Muzdalifah ke Mina dan berputar kembali di Muzdalifah untuk mengangkut jemaah lain. Problem keterlambatan sebenarnya ada di dua jalur, tetapi keterlambatan di jalur Muzdalifah ke Mina yang dampaknya fatal.

Kemacetan dituding sebagai biang keladi terlambatnya bus-bus yang disediakan pihak Saudi untuk mengangkut jemaah dari Muzdalifah. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief mengungkapkan, keterlambatan evakuasi jemaah di Muzdalifah terjadi antara lain akibat kemacetan di jalur taradudi Muzdalifah ke Mina. Jalur itu dilalui oleh jemaah haji dari berbagai negara yang akan melontar jumrah setibanya di Mina dengan berjalan kaki, sehingga menambah kepadatan jalan dan menghambat pergerakan bus yang akan menjemput jemaah di Muzdalifah.

Karena itu, keterlambatan pemberangkatan jemaah dari Muzdalifah tidak hanya dialami Indonesia. Jemaah dari sejumlah negara lain seperti Malaysia, Filipina, dan lainnya juga mengalami hal sama. "Hanya, jemaah haji Indonesia berjumlah sangat besar, sehingga paling terdampak," ujar Hilman.

Hilangnya Peran Mu'assasah

Sebenarnya ada dimensi lain yang juga punya kontribusi dalam kacaunya pelayanan haji di Armuzna. Untuk pertama kali dalam sejarah, pelaksanaan ibadah haji tahun ini menggunakan skema kerja sama antara pemerintah negara pengirim jemaah haji dengan perusahaan swasta atau syarikah Arab Saudi. Sebelumnya, selama puluhan tahun, penyelenggaraan ibadah haji dikelola oleh mu'assasah Arab Saudi.

Sejak berabad-abad lalu, ketika orang berhaji masih menggunakan kapal laut, pengelolaan dan penyelenggaraan jemaah haji di Tanah Suci dilakukan oleh para syekh Arab (di Indonesia jamaknya disebut kyai atau ustad), yang disebut muthawif atau mu'alim. Para syekh dari klan atau keluarga tertentu yang tinggal di Mekah itu selama berabad-abad berfungsi sebagai pembimbing pelaksanaan haji para jemaah dari seluruh dunia yang datang ke Saudi. Selain sebagai pembimbing, mereka juga berperan sebagai munawir yang mengurusi keperluan logistik, akomodasi, dan transportasi para jemaah haji selama berada di Tanah Suci.

Pada 1984, berbarengan dengan kebijakan haji yang lebih ketat, pemerintah Kerajaan Arab Saudi menyatukan para syekh ini dengan membentuk mu'asasah. Ini adalah yayasan-yayasan khusus nirlaba di bawah pembinaan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi yang mengkoordinasikan aktivitas para muthawif dan munawir dalam menyelenggarakan pelayanan haji. Mereka yang bertanggung jawab menjamin pelayanan dan kebutuhan para jemaah haji selama di Arab Saudi.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement