Rupiah kembali menghadapi tekanan sebulan terakhir di tengah ketidakpastian yang masih tinggi terkait arah kebijakan bank sentral Amerika Serikat. Alih-alih menempuh cara konvensional ikut mengerek suku bunga, Bank Indonesia kini punya cara lain menjaga rupiah dengan meluncurkan berbagai instrumen baru.

BI telah mengakhiri siklus kenaikan suku bunga sejak awal tahun ini meskipun bank sentral AS, The Federal Reserve masih agresif mengerek suku bunga dan tekanan ke rupiah belum berakhir. Suku bunga The Fed bahkan diramal nyaris menyamai level BI saat ini jika pertemuan bulan depan kembali menaikkan seperempat persen lagi.

Bank sentral telah berulang kali menegaskan bahwa kenaikan suku bunga di AS tidak perlu dilawan dengan kenaikan suku bunga juga. Dengan kata lain, BI tidak ingin lagi memakai strategi lama, ahead the curve  atau tidak ingin ketinggalan jika The Fed agresif kerek bunga. Bank Sentral meyakini dapat menjaga stabilitas rupiah.

Namun demikian, ketidakpastian terhadap rupiah masih tinggi. Rupiah bahkan kembali tertekan dalam beberapa bulan terakhir yang salah satunya berasal dari sikap hawkish The Fed.

Adapun hawkish merupakan istilah respons untuk menggambarkan kebijakan moneter bank sentral yang cenderung kontraktif, seperti menaikkan suku bunga atau mengurangi neraca bank sentral. Sebaliknya, dovish biasanya diterjemahkan pasar ketika bank sentral berbicara tentang penurunan suku bunga atau meningkatkan pelonggaran kuantitatif untuk merangsang ekonomi.



Nilai tukar rupiah sebetulnya dalam tren penguatan pada akhir kuartal pertama hingga awal kuartal kedua saat terjadi krisis perbankan di AS. Kekhawatiran tersebut memicu ekspektasi bahwa The Fed segera memangkas suku bunga untuk menjaga keberlangsung perbankan AS. Walhasil rupiah sempat menyentuh rekor terkuatnya dalam delapan bulan pada akhir April.

Namun berkah kejatuhan bank-bank AS itu tidak berlangsung lama. Rupiah kembali ambles setelah munculnya kekhawatiran baru yakni default atau gagal bayar utang pemerintah AS pada Mei lalu yang memicu investor ramai-ramai meninggalkan pasar emerging seperti Indonesia.

Sentimen negatif ke rupiah bertambah setelah The Fed memberi sinyal kemungkinan kenaikan suku bunga dua kali lagi tahun ini setelah pertemuan Juni. Rencana itu di luar antisipasi pasar yang memperkirakan The Fed segera mengakhiri siklus kenaikan bunganya. Tekanan terhadap rupiah pun masih bertahan sampai hingga saat ini karena sejumlah pejabat bank sentral memberi komentar hawkish dengan menyebut tekanan kenaikan harga-harga masih tinggi sekalipun inflasi mulai menunjukkan tanda-tanda melandai. Rupiah telah bertahan di atas 15.000/US$ sebulan terakhir.

Instrumen-instrumen Baru BI Jaga Rupiah

BI kini mengandalkan instrumen moneter di luar suku bunga untuk melindungi nilai tukar. Tak hanya satu, setidaknya ada tiga instrumen moneter baru yang diluncurkan BI setahun terakhir.

Bank sentral memperkenalkan twist operation pada Agustus tahun lalu saat kenaikan suku bunga The Fed sedang gencar-gencarnya hingga 0,75%,  BI hanya ikut menaikkan seperempat persen. Melalui intsurmen ini, BI menjual surat berharga negara atau SBN jangka pendek sehingga imbal hasilnya naik dan manarik bagi asing. Peluncuran twist opeation ini melengkapi strategi lama BI menjaga rupiah melalui intervensi tiga lapis yakni masuk melalui pasar spot, DNDF dan SBN di pasar sekunder.

Kenaikan suku bunga berakhir pada Feburiuari tetapi rupiah masih dalam tekanan. Walhasil, BI kemudian meluncurkan instrumen baru term deposit valas devisa hasil ekspor atau DHE sumber daya alam yang mulai berlaku awal Maret. Instrumen baru ini keluar di tengah meningkatnya kekhawatiran pasokan valas di dalam negeri menipis.

Instrumen TD valas DHE ini bertujuan menarik dolar hasil ekspor, khususnya sumber daya alam yang selama ini banyak disimpan di bank luar negeri agar bisa pulang kampung. BI menawarkan suku bunga tinggi dan kompetitif terhadap bunga deposito di perbankan luar negeri.

Implementasi TD Valas DHE ini berbarengan dengan revisi aturan DHE. Pemerintah mewajibkan eksportir SDA menyimpan 30% dari dolar hasil ekspornya di dalam negeri selama minimal tiga bulan. Kebijakan ini mulai berlaku awal Agustus dan diperkirakan bisa meningkatkan cadangan devisa dan memperkuat rupiah.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai kebijakan DHE tersebut sudah efektif menjaga rupiah. Hal ini tercermin rupiah masih menguat 2% sepanjang tahun ini saat beberapa mata uang negara berkembang lainnya justru melemah.

"Artinya, kalau tidak ada revisi aturan DHE dan BI tidak mengeluarkan TD Valas DHE ini, mungkin saja rupiah bisa lebih lemah dari saat ini, mungkin bisa melemah hingga 1%," kata Josua, Selasa (29/8).

Namun, ia tidak menampik efek instrumen baru ini mungkin akan lebih terasa bagi rupiah beberapa bulan ke depan setelah makin banyak eksportir yang patuh kewajiban terhadap retensi minimal tiga bulan. Apalagi, BI kini juga telah menawarkan TD valas dengan tenor lebih panjang sehinga opsi bagi eksportir makin banyak.

Setelah berjalan lima bulan, realisasi devisa ekspor yang sudah masuk ke Indonesia melalui transaksi TD Valas DHE sudah mencapai US$ 1,78 miliar seperti terlihat pada grafik di bawah ini.

Lima bulan setelah peluncuran TD Valas DHE, BI kini memngeluarkan instrumen moneter baru, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia atau SRBI. Ini merupakan surat utang yang diterbitkan bank sentral dalam mata uang rupiah dengan underlying SBN yang dikempit BI.

Instrumen ini bisa dibeli oleh investor nonbank di pasar sekunder dan diperdagangkan dengan sistem diskonto. Selain bertujuan pendalaman pasar uang, SRBI ini juga sebagai alternatif menjaga rupiah.

"Instrumen itu bisa memberikan ruang untuk mendukung stabilitas rupiah kalau investor asing masuk dan likuiditas valasnya menjadi lebih baik," kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Edi Susianto dalam diskusi dengan media awal pekan ini.

SRBI baru akan diterbitkan pada 15 September dengan penawaran tenor enam, sembilan, dan 12 bulan. Bedanya dengan instrumen repo, SRBI ini dinilai lebih sesuai untuk karakteristik investor non bank.

Modal asing yang masuk melalui SRBI bisa membantu penguatan rupiah melalui peningkatan posisi cadangan devisa Indonesia karena adanya aliran masuk valas. Namun, Josua menyebut efektif tidaknya kebijakan itu menarik investor asing akan bergantung pada tingkat bunga yang ditawarkan.

Asing dinilai akan tertarik jika tingkat bunga tenor 12 bulan antara 6,3-6,5% atau di rentang yang kompetitif dengan tingkat bunya instrumen reverse repo SBN tenor 12 saat ini di 6,42%. Dengan imbal hasil di rentang itu, SRBI dinilai bisa lebih menarik ketimbang repo karena beberapa karakteristik khasnya seperti bersifat tradable, bunga diskonto dan setelmen cepat.

Rupiah akan Menguat

Josua memperkirakan, rupiah bisa menguat menuju akhir tahun dengan berbagai instrumen baru BI, baik lewat kebijakan DHE maupun SRBI. Selain itu, menurut dia, ketidakpastian terkait The Fed juga diramal mulai berkurang setelah pertemuan September. Ia memperkirakan rupiah pada akhir tahun berada di rentang 14.900-15.200 per dolar AS.

Analis senior Bank Mandiri Reny Eka Putri mengatakan,, pelaku pasar akan cenderung wait and see jelang pertemuan The Fed bulan depan. Di sisi lain, perekonomian AS yang masih tumbuh dan pasar tenaga kerja yang kuat turut mendorong penguatan dolar AS. Karena itu, dalam jangka pendek, ia menyebut rupiah masih akan bertahan di rentang 15.000-15.300.

Di sisi lain, Reny cukup optimistis dengan upaya BI menjaga nilai tukar lewat berbagai instrumen moneternya. "Tetapi untuk dua kebijakan terakhir (DHE dan SRBI) masih memerlukan beberapa waktu ke depan minimal tiga bulan untuk melihat seberapa efektif kinerjanya untuk memperkuat stabilitas pasar dan menarik capital flow," tulis dia dalam catatanya.

Seperti halnya Josua, Reny juga melihat peluang penguatan rupiah yang diperkirakan parkir di level 14.864 per dolar AS. Optimisme penguatan tersebut seiring fundamental dan daya tahan ekonomi domestik yang tetap solid dan kekhawatiran suku bunga The Fed yang sudah akan priced in sehingga memicu aliran masuk modal asing.

Bank Indonesia dalam rapat kerja dengan Banggar DPR kemarin (29/8) memperkirakan rata-rata rupiah sepanjang tahun ini di rentang 14.800-15.200 per dolar AS. Kurs garuda bahkan diperkirakan semakin menguat di rentang 14.600-15.100 pada tahun depan yang salah satunya karena adanya aturan DHE.

Reporter: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami