- Impor menjadi cara pemerintah untuk menekan harga dan menjaga stok beras.
- El Nino pada tahun ini menyebabkan kenaikan harga beras paling tinggi selama sati dekade terakhir.
- Penyusutan areal sawah selama beberapa tahun terakhir juga memicu masalah beras.
Grafik harga beras tak turun selama 14 bulan terakhir. Bahkan lonjakan tinggi mulai terjadi sejak Juli 2022.
Dalam catatan Badan Pangan Nasional (Bapanas/NFA), harga beras rata-rata nasional saat ini mencapai Rp 12.940 per kilogram. Harga beras medium naik 20% dibandingkan harga terendah di Juli 2022 yang mencapai Rp 10.700 per kilogram.
Glory Natha, karyawan swasta yang memiliki usaha sampingan katering, mengaku bimbang dalam beberapa minggu terakhir. Ia harus memilih antara menaikkan harga jual atau mengurangi porsi nasi di setiap paket jualannya.
Harga beras level medium telah melambung tinggi dan sangat berdampak ke bisnis katering milik ibunya. “Kalau (harga beras) naik, otomatis harga jualan katering harus naik atau jumlahnya dikurangi biar tetap untung,” kata perempuan berusia 28 tahun itu kepada Katadata.co.id, Selasa (10/9).
Senada dengan Glory, kegelisahan juga melanda Riani Sanus Putri. Ia menyebut kenaikan harga beras saat ini tidak wajar. Pegawai swasta berusia 27 tahun tersebut berpendapat lonjakan harga biasanya terjadi jelang hari raya.
Namun, hal itu tak berlaku sekarang karena Natal masih dua bulan lagi dan Idulfitri sudah lewat. “Kalau harga beras medium saja naik, kelas yang paling bawah akan sangat terdampak,” ucap perempuan yang rutin membeli beras setiap bulan tersebut.
Per Rabu (11/10), Bapanas mencatat, rata-rata harga beras medium telah mencapai Rp 13.170 per kilogram. Secara kumulatif, Badan Pusat Statistik menemukan pada September lalu beras jenis ini telah naik 30% secara tahunan menjadi Rp 12.685 per kilogram. Untuk beras premium, kenaikannya mencapai hampir 26% menjadi Rp 12.900 per kilogram.
Berharap pada Impor
Pemerintah saat ini berusaha untuk menekan harga tersebut. Presiden Joko Widodo memutuskan menambah pasokan beras ke pasar domestik. Sebanyak 1,5 juta ton tambahan impor beras akan masuk hingga akhir tahun ini.
“Harus kita atasi dengan menggerojok (beras) sebanyak-banyaknya, memasok sebanyak-banyaknya ke pasar agar harga bisa turun,” kata Jokowi pada Minggu lalu.
Ia juga menyebut cadangan beras nasional di gudang Bulog masih tersimpan 1,7 juta ton. Cadangan ini untuk persediaan selama fenomena El Nino melanda Indonesia.
Sebagai informasi, El Nino merupakan kondisi ketika pemanasan suhu muka laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tenga berada. di atas kondisi normal. Fenomena ini memicu potensi pertumbuhan awan dan mengurangi curah hujan di wilayah Tanah Air.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya menyebut puncak El Nino terjadi pada September 2023. Fenomena ini akan akan melemah pada November 2023 dan berakhir antara Februari sampai Maret 2024.
Kondisi minim hujan tersebut, menurut Jokowi, sangat berpengaruh ke hasil panen para petani. Tingkat produksi beras nasional akan berkurang akibat fenomena El Nino.
Selain cuaca, Jokowi juga menyebut harga beras naik karena kebijakan 22 negara produsen beras, termasuk India, yang menghentikan ekspornya. Keputusan ini sangat berpengaruh karena Indonesia masih perlu mengimpor 1,5 juta ton hingga 2 juta ton lagi.
Impor beras menjadi tak terelakkan karena produk dalam negeri tak akan mampu mencukupi kebutuhan penduduk. “Ini harus saya sampaikan apa adanya karena masalah di sebuah negara akan berimbas ke negara lain,” ujar Jokowi.
Terkait impor, Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Pertanian Arief Prasetyo Adi menyebut semua urusan perizinannya sudah tuntas. Total kuota impor yang diterbitkan pemerintah sepanjang 2023 mencapai 3,8 juta ton.
Mayoritas beras tersebut berasal dari Vietnam dan Thailand. “Sekarang tinggal melakukan percepatan untuk penawaran di Perum Bulog,” kata Arief pada awal pekan ini.
Impor beras menjadi jawaban untuk keadaan darurat saat ini. Menurut paparan Bapanas, cadangan beras pemerintah atau CBP per 6 Oktober 2023 mencapai 1,63 juta ton. Namun, cadangan yang benar-benar ada di dalam negeri hanya 794.558 ton. Sisanya, 836.937 ton masih dalam perjalanan.
Inflasi dan Angka Kemiskinan
Direktur Center of Economic & Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melihat belum ada tanda-tanda penurunan harga beras dalam waktu dekat. Pasalnya, berbagai biaya produksi saat ini lebih tinggi dibandingkan 2022.
Alokasi pupuk subsidi masih sangat terbatas. Lalu, tahun ini juga terjadi cuaca ekstrim dan perang di Ukraina. Sepekan terakhir pun terjadi perang di kawasan Timur Tengah, antara Hamas dan Israel. “Harga minyak mentah yang tinggi juga berpengaruh pada kenaikan harga pakan global,” kata Bhima.
Faktor lainnya adalah siklus panen raya yang baru akan datang Maret hingga Juli 2024 mendatang. “Adanya El Nino sampai awal 2024 pun juga menjadi tantangan,” ucapnya. Semua kondisi itu akan memicu kenaikan inflasi pada akhir 2023.
Dalam perhitungan inflasi, harga beras masuk dalam bobot yang relatif besar. Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet menyebut beras berkontribusi paling besar dalam perhitungan tersebut, dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya.
Bahkan jika dibandingkan dengan kelompok non-makanan, kontribusi beras dalam pembentukan inflasi secara umum relatif masih besar. Hal ini mengindikasikan, perubahan pada harga beras sudah pasti akan ikut mempengaruhi inflasi secara umum.
Yusuf berpendapat, kuartal keempat 2023 akan terjadi lonjakan inflasi yang tinggi jika dibandingkan pada kuartal sebelumnya. “Ini juga dengan asumsi kuartal terakhir nanti puncak El Nino sudah lewat,” ucapnya. Apabila kekeringan masih terjadi, maka angka inflasi akan semakin melejit.
Berdasarkan penelusuran Katadata.co.id, El Nino yang menerpa pada 2015 membuat harga beras naik sekitar 13% secara tahunan. Lalu, fenomena yang sama terjadi pada 2018 dan membuat rata-rata harga beras sepanjang tahun naik sekitar 5%.
Melihat angka-angka itu dan kondisi beras saat ini, El Nino pada tahun ini menyebabkan kenaikan harga beras paling tinggi selama sedekade terakhir.
Kekhawatiran lain dari kenaikan harga beras adalah penambahan jumlah penduduk miskin di Indonesia. BPS mencatat, pada Maret 2023 terdapat 25,90 juta penduduk miskin. Dari jumlah itu sebanyak 11,74 juta orang berada di perkotaan.
Komoditas makanan jadi penyumbang utama garis kemiskinan di perkotaan. Kontribusinya mencapai 73%. Lalu, beras berkontribusi sebesar 19,35%.Berikutnya ada rokok kretek filter 12,14%, daging ayam ras 4,53%, telur ayam ras 4,22%, dan mie instan 2,56%.
BPS mendefinisikan penduduk miskin memiliki rata-rata pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Angkanya pada Maret 2023 dipatok sebesar Rp 550.458 per kapita per bulan. Garis kemiskinan rumah tangga sebesar Rp 2.592.657 per rumah tangga miskin per bulan.
Tak Sekadar Perkara El Nino
Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia (Perpadi) berpendapat berbeda. El Nino bukan menjadi pendorong utama lonjakan harga beras saat ini. Justru penyebabnya adalah penyusutan areal sawah selama beberapa tahun terakhir.
Data BPS dapat menjadi rujukannya. Penyusutan luas lahan sawah memang tidak terlihat pada 2022. Angkanya naik tipis menjadi 0,39% menjadi 10,45 juta hektare. Penyusutan terluas terjadi pada 2019 sebesar 6,15%, dari 11,37 juta hektare di 2018 menjadi 10,67 juta hektare.
Kondisi tersebut paralel dengan performa volume panen padi. Pada 2018, volume padi tercatat susut 7,76% secara tahunan menjadi 54,6 juta ton.
BPS belum menerbitkan data luas sawah maupun volume panen padi terbaru lantaran Survey Pertanian 2023 baru dimulai pada pertengahan tahun ini. Namun, Ketua Perpadi Sutarto Alimoeso meramalkan luas lahan akan kembali menyusut dan diikuti dengan penurunan produksi beras.
Sutarto mengatakan penurunan produksi beras sepanjang 2023 disebabkan oleh konversi dan degradasi lahan sawah yang serius, minimnya pupuk, dan sulitnya petani mendapatkan benih bersertifikat.
Karena itu, ia mendorong pemerintah untuk menggenjot peningkatan dan pengamanan produksi padi untuk meningkatkan ketersediaan beras tahun depan. "Bila diperhitungkan tetap kurang ketersediaan beras di dalam negeri, ya terpaksa impor," kata Sutarto.
Data BPS menunjukkan, produksi beras Indonesia cenderung menurun dalam satu dekade terakhir. Kenaikan terbesar terjadi pada 2017 sebesar 81,07 juta ton gabah kering giling atau GKG.
Penurunan mulai terjadi pada 2018. Produksinya anjlok menjadi 59,02 juta ton GKG. Tahun berikutnya pun turun lagi menjadi 54,6 juta ton GKG. Lalu, pada 2020 terjadi kenaikan tipis, tapi anjlok lagi di 2021.
Kenaikan tipis pada produksi pada terjadi pada 2022. Jawa Timur menjadi provinsi dengan produksi pada terbanyak nasional, yakni 9,52 juta ton GKG. Di bawahnya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Berdasarkan paparan Bapanas, produksi beras sepanjang 2023 akan mencapai 30,83 juta ton. Angka tersebut susut 2,25% dibandingkan capaian produksi beras tahun lalu sejumlah 31,54 juta ton atau ekuivalen padi sebesar 54,75 juta ton.
Pada saat yang sama, Bapanas memperkirakan kebutuhan beras nasional tahun ini mencapai 30,84 juta ton. Angka tersebut lebih rendah 2,21% dari capaian tahun lalu sejumlah 31.54 juta ton.