Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Bumi berada dalam dekade terpanas sepanjang sejarah. Berdasarkan laporan World Meteorological Organization, pada Januari hingga September 2024, rata-rata suhu mencapai 1,54 derajat celcius di atas masa pra industri 1850. Tanpa langkah pengendalian yang agresif, suhu berisiko menembus 2 bahkan 3 derajat celcius di atas masa pra-industri. Sejumlah laporan mengungkapkan pemanasan suhu telah meningkatkan intensitas dan keparahan bencana alam terkait iklim.

Tahun ini, negara-negara di Amerika Selatan dan Utara menghadapi kebakaran-kebakaran parah dengan rekor emisi gas tertinggi sepanjang sejarah. Sembilan bulan pertama tahun ini, 22,38 juta hektare lahan di Brazil hangus terbakar, mengacu pada laporan MapBiomas Fire Monitor yang dirilis Oktober lalu. Luasan tersebut hampir dua kali lipat pulau Jawa. Ulah manusia membuka lahan dengan membakar hutan ditambah suhu panas menjadi penyebab utama.

Badai dan topan yang menyebabkan banjir besar terjadi di berbagai belahan dunia pada triwulan terakhir tahun ini. Bencana banjir parah melanda Filipina, Mesir hingga Spanyol. Filipina bertubi-tubi dihantam topan sepanjang pekan terakhir Oktober sampai November. Ratusan orang meninggal dunia dan puluhan ribu orang harus mengungsi. Di Spanyol, curah hujan tinggi menyebabkan negara matador dilanda banjir terparah sepanjang sejarah. Ribuan orang dievakuasi dan ratusan orang meninggal dunia.

Di Samudera Pasifik, jutaan penduduk negara pulau-pulau kecil mengalami kekeringan panjang di musim panas dan banjir di musim hujan badai. Risiko tenggelam terus membayangi di tengah kenaikan permukaan air laut imbas mencairnya es dunia dan rusaknya karang imbas air laut yang memanas. Maladewa, Tuvalu, Kiribati, dan Marshall Islands menjadi beberapa negara pulau yang paling berisiko tenggelam karena posisi datarannya hanya beberapa meter di atas permukaan laut.

Angka kerugian ekonomi akibat bencana alam terkait iklim menggelembung. Perusahaan asuransi Galaghar Re melaporkan, total kerugian dari 10 bencana alam terparah sepanjang Januari sampai September tahun ini mencapai US$ 280 miliar atau setara Rp 4.559 triliun, dengan US$ 108 miliar ditanggung perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi lainnya, Swiss Re memprediksi kerugian akibat bencana alam menembus US$ 310 miliar atau setara Rp 5.048 triliun tahun ini, dengan US$ 135 miliar ditanggung perusahaan asuransi. Ini akan menjadi tahun kelima kerugian yang ditanggung asuransi menembus US$ 100 miliar.

Organisasi Perubahan Iklim di bawah PBB mengungkapkan angka kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim bisa mencapai US$ 580 miliar atau sekitar Rp 9.444 triliun pada 2030.  

Dengan situasi ini, total kebutuhan dana untuk penanganan perubahan iklim semakin tinggi. Sebab, di samping untuk percepatan adopsi energi rendah karbon, bakal ada kebutuhan-kebutuhan dana besar untuk membiayai kerugian akibat bencana hingga adaptasi perubahan iklim. Ini termasuk migrasi manusia karena lahan yang tak bisa lagi ditinggali akibat kekeringan atau hilang ditelan air.

Delegasi dari ratusan negara bertemu di Konferensi Iklim PBB, COP29, pada November lalu untuk membahas kebutuhan pendanaan ini. Namun, hasil negosiasi jauh dari harapan. 

 

Panas di Konferensi Iklim Dunia COP29

Puluhan delegasi negara-negara pulau kecil meninggalkan ruangan alias walk out dari konferensi iklim PBB, COP29 di Baku, Azerbaijan, pada Sabtu, 23 November. Ini bentuk penolakan terhadap angka US$ 250 miliar per tahun pada 2035 yang disodorkan negara-negara maju sebagai tanggung jawabnya untuk negara berkembang. Tanggung jawab dana ini dikenal juga dengan nama New Collective Quantitative Goal (NCQG).

Itu pertama kalinya dalam sejarah, negara-negara pulau kecil yang bersama di bawah payung Aliansi Negara-Negara Pulau Kecil atau Alliance of Small Island States (AOSIS) walk out dari konferensi iklim. Urusan uang ini sudah tiga tahun dibahas dan membuat delegasi negara-negara ekonomi berkembang, terutama yang paling terpukul oleh perubahan iklim, frustrasi.

AOSIS beranggotakan 39 negara pulau kecil, termasuk negara-negara Kepulauan Pasifik seperti Kiribati, Tuvalu, dan Nauru yang terancam tenggelam karena kenaikan air laut. Negara-negara tersebut telah mengalami kekeringan dan banjir yang semakin sering dan parah. Suhu air laut yang memanas juga telah merusak karang yang menjaga pulau dari gelombang air laut.  

Berdasarkan perhitungan ahli independen, negara berkembang membutuhkan bantuan dana US$ 1,3 triliun per tahun dari dunia internasional. Ini untuk mendanai transisi ke bahan bakar rendah karbon guna mengendalikan pemanasan global dan menghadapi dampak perubahan iklim. Negara-negara berkembang menuntut dana ini berbentuk hibah dan bukan utang yang membebani keuangan negara.

Keputusan akhirnya diketok palu pada Minggu, 24 November dini hari, dengan kenaikan komitmen negara maju menjadi US$ 300 miliar per tahun pada 2035 alias satu dekade lagi. Kebutuhan US$ 1,3 triliun “dijawab” dengan ajakan untuk semua pihak – pemerintah dan swasta - meningkatkan pendanaan ke negara berkembang agar bisa mencapai level triliun itu di 2035.

Keputusan disambut penolakan dari sederet negara berkembang. Negosiator India, Penasehat Menteri Keuangan Chandni Raina menilai proposal tersebut sebagai “ilusi optik”, karena tidak cukup serta tidak jelas bentuk dan distribusinya. Negosiator Kenya, Pejabat Kantor Presiden Amb Ali Mohamed mengingatkan kontribusi negara-negara Afrika sangat kecil dalam pemanasan suhu global, namun Afrika harus menanggung dampaknya. Ia pun menyebut komitmen dana dari negara maju “terlalu sedikit dan terlalu terlambat”.

Negosiator Samoa, Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Toeolesulusulu Cedric Schuster mengkonfrontir negara-negara maju dengan membandingkan komitmen dana tersebut dengan besarnya dana perang hingga subsidi bahan bakar fosil yang justru memperburuk pemanasan global.

“Kami sering mendengar pernyataan Anda bahwa angka US$ 1,3 triliun per tahun ekstrim dan tidak beralasan. Mari saya beri tahu apa yang ekstrim dan tidak beralasan yaitu mengeluarkan US$ 2,5 triliun untuk perang saat gagal mencapai separuhnya saja untuk menyelamatkan nyawa. Lalu, mengeluarkan US$ 7 triliun untuk subsidi bahan bakar fosil yang memperparah penderitaan kami, namun gagal mencapai 20 persennya untuk menyelamatkan nyawa,” ujarnya.

Konferensi ditutup dengan keputusan tetap target dana US$300 miliar pada 2035. Penolakan hanya menjadi catatan samping. Pembahasan detail komitmen dilempar ke konferensi iklim selanjutnya, COP30, di Belem, Brasil, November 2025.

Hasil COP29

Penyebab Kembang Kempis Kerja Sama Penanganan Iklim

Kerja sama global untuk penanganan iklim kembang kempis di tengah tekanan ekonomi dan perubahan kepemimpinan politik di negara-negara maju. Kemenanganan Donald Trump  dalam Pemilu Amerika Serikat, 5 November lalu, membuat kerja sama global ini berisiko semakin "kempis". 

Trump telah lama menuding perubahan iklim sebagai "green scam" alias "penipuan hijau". Sepuluh tahun lalu, saat Trump menjabat presiden, AS mundur dari komitmen iklim dan memangkas anggaran untuk berbagai program dan lembaga terkait penanganan iklim.  Kini, sepuluh tahun berlalu, pandangan Trump soal ini tampak belum berubah, setidaknya itu yang tertangkap dari pernyataannya di masa kampanye.

Trump berjanji akan mencabut Undang-Undang Penurunan Inflasi era Joe Biden yang menyediakan dana jumbo untuk proyek pembangkit energi terbarukan hingga kendaraan listrik. Trump menyebut kebijakan energinya "drill, baby, drill." yang menggambarkan keinginannya untuk kembali mendorong produksi minyak dan gas domestik.

Rencana Trump tentu tergantung persetujuan parlemen. Sejumlah pengamat iklim dan ekonomi melihat masih ada peluang berlanjutnya sejumlah program transisi energi yang sudah berjalan karena telah menyerap banyak tenaga kerja. Ditambah lagi, Bos Tesla Elon Musk berada dalam barisan pengusaha pendukung Trump.

Di tengah momentum kembalinya Trump, organisasi negara-negara produsen minyak OPEC dan koalisi negara-negara pengekspor gas GECF blak-blakan di COP29 “menganulir” komitmen transisi meninggalkan energi fosil. Padahal, komitmen ini baru dibuat setahun lalu saat COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab.

Sekretaris Umum organisasi negara produsen minyak OPEC Haitham Al-Ghais mengatakan minyak dan gas adalah hadiah dari Tuhan. “Fokus Perjanjian Paris seharusnya pada menurunkan emisi bukan memilih sumber energi,” ujar Al-Ghais dalam pidatonya pada Rabu, 20 November. Perjanjian Paris yang diratifikasi hampir 200 negara tersebut menargetkan kenaikan suhu bumi 1,5 derajat celcius di atas masa pra-industri atau maksimal 2 derajat celcius. 

Di kesempatan yang sama, Sekretaris Umum GECF menekankan pentingnya gas alam sebagai sumber energi yang andal dan lebih rendah emisi dari batu bara. “Seiring dengan populasi dunia yang bertambah, ekonomi yang berkembang, dan kondisi hidup manusia yang meningkat, dunia akan membutuhkan lebih banyak gas alam, bukan semakin sedikit,” kata dia.

Potensi Amerika “Lepas Tangan”, Dari Mana Alternatif Dana Iklim?

Dana tanggung jawab iklim semestinya mengalir besar dari Amerika Serikat. Berdasarkan perhitungan World Resources Institute (WRI), dengan berbagai skenario produksi emisi dan kemampuan ekonomi, AS paling bertanggung jawab dalam menyediakan dana iklim untuk negara berkembang. Secara kumulatif, produksi gas rumah kaca AS sejak 1850 paling besar dibandingkan negara-negara lain. Saat ini, produksi tahunan gas rumah kaca AS juga tercatat yang terbesar kedua di dunia. Sedangkan ekonomi AS terbesar di dunia dengan tingkat pendapatan per kapita yang tinggi.

Meski begitu, selama ini, kontribusi AS dalam urunan dana tanggung jawab iklim nyatanya masih lebih kecil dibandingkan negara-negara maju lainnya. Berdasarkan perhitungan WRI, pada periode 2013-2018, rata-rata tahunan pendanaan iklim dari pemerintah AS berada di bawah Jepang dan Jerman.

Sebagai latar belakang, mengacu pada perjanjian-perjanjian multilateral tentang perubahan iklim, negara maju penghasil gas rumah kaca terbesar bertanggung jawab menyediakan pendanaan untuk negara berkembang menghadapi perubahan iklim. Saat ini, terdapat 24 negara yang masuk dalam kelompok negara maju atau Annex II ini. Ke-24 negara tersebut yaitu Australia, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Islandia, Italia, Jepang, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Portugal, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris dan Irlandia Utara, serta Amerika Serikat.

 

Dengan AS berpotensi menarik diri lebih jauh dari pendanaan iklim, sumber-sumber pendanaan alternatif diharapkan mengalir dari kelompok negara industri yang mampu secara keuangan namun berada di luar kelompok negara maju atau Annex II. Ini termasuk Cina dan negara eksportir migas seperti Saudi Arabia. Dalam beberapa dekade terakhir, Cina turut menggelontorkan dana untuk proyek hijau. Ini sebagai bentuk implementasi pendanaan iklim sukarela dari dan untuk negara berkembang alias south-south cooperation.  

Sejak 2013 sampai 2022, Cina tercatat menyediakan atau memobilisasi US$ 45 miliar atau sekitar Rp 731 triliun untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Ini artinya, US$ 4,5 miliar per tahun. Ini sekitar 6 persen dari total dana tanggung jawab iklim kelompok negara maju pada periode sepuluh tahun yang sama.

Di bidang pembangkit listrik, Cina tercatat sudah mendanai banyak proyek di Asia Tenggara, terutama Indonesia. Mengacu pada data China Global Power Database yang dibuat Global Development Policy Center, investasi terbesar masih untuk pembangkit listrik tenaga batu bara, air, dan gas alam. Ada juga proyek pembangkit energi surya dan nuklir meski porsinya jauh lebih kecil. 

Dalam analisis bertajuk "Talking Green, Building Brown: China-ASEAN Environmental and Energy Cooperation in the BRI Era", Asisten Profesor Ilmu Politik di North Carolina State University Jessica C. Liao mengatakan investor Cina banyak masuk ke proyek pembangkit listrik tenaga air dan gas alam – yang label "hijaunya" masih perdebatan -- karena sesuai aturan pendanaan hijau Cina, pembangkit tersebut termasuk dalam kategori “hijau”.

“Tapi investasi energi Cina di luar negeri adalah hasil dari interaksi permintaan dan pasokan. Ini artinya, jika pasar luar negeri memilih pembangunan energi terbarukan (yang benar-benar hijau), investasi Cina kemungkinan besar akan mengikuti,” tulis dia.

 

Di tengah potensi panceklik pendanaan iklim dari negara maju, negara-negara berkembang tampak mulai menyesuaikan rencana aksi iklimnya. Indonesia akhirnya membuang rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara dalam Rancangan Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) terbaru. Semula, pensiun dini ini masuk dalam daftar proyek yang diajukan Indonesia untuk didanai negara maju dan instansi keuangan global lewat kerja sama Just Energy Transition Partnership (JETP), tapi tidak laku. Para mitra disebut lebih memilih masuk ke proyek-proyek yang memberikan keuntungan. Indonesia juga menjajaki potensi pendanaan alternatif antara lain dari berjualan kredit karbon.

Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh:

Logo sponsor

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami