Indonesia di ambang stagnasi ekonomi pada 2025, dengan penerimaan pajak anjlok dan tekanan fiskal yang kian berat. Era pemerintahan Prabowo Subianto juga dihadapkan pada perlambatan global dan domestik yang mengancam stabilitas ekonomi nasional.
Salah satunya terkait keputusan pemerintah untuk membatasi kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% hanya pada barang dan jasa mewah yang merupakan respons terhadap penolakan luas terhadap kebijakan sebelumnya yang berencana menaikkan tarif PPN untuk semua barang dan jasa.
Banyak pihak, termasuk pengusaha dan masyarakat, khawatir bahwa kebijakan kenaikan tarif PPN) 12% akan menambah beban ekonomi, terutama di tengah perlambatan ekonomi. Penolakan luas terhadap kebijakan ini mendorong pemerintah untuk melakukan revisi.
Pada 31 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto mengunjungi kantor Kementerian Keuangan untuk mengevaluasi kebijakan tersebut. Sebagai hasilnya, pemerintah memutuskan untuk membatasi kenaikan PPN 12% hanya pada barang dan jasa mewah.
Prabowo menegaskan bahwa PPN 12% hanya akan berlaku pada barang dan jasa mewah, yang selama ini sudah dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Pernyataan ini ini menggarisbawahi komitmen pemerintah untuk melindungi daya beli masyarakat sembari menjaga kebijakan perpajakan yang lebih adil dan selektif.
Namun, keputusan ini membawa konsekuensi berupa potensi kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp 75 triliun pada 2025. Hal ini memaksa pemerintah untuk mencari alternatif sumber pajak lain untuk menutupi kekurangan tersebut.
Pemerintah berupaya meningkatkan penerimaan pajak melalui berbagai kebijakan, termasuk rencana pelaksanaan tax amnesty jilid III dan penggalian potensi dari ekonomi bawah tanah (underground economy). Selain itu, penerapan opsen pajak kendaraan telah dimulai tahun ini dan rencana pengenaan cukai pada minuman berpemanis (MBDK) pada 2025.
Setelah kehilangan potensi pendapatan, penerimaan pajak pada 2024 juga tak mencapai target karena hanya Rp 1.932,4 triliun atau 97,2% dari target Rp 1.988,9 triliun. Penurunan ini disebabkan oleh melemahnya profitabilitas sektor pertambangan seperti batu bara dan kelapa sawit, serta meningkatnya restitusi pajak, khususnya PPh Badan.
Perlambatan ekonomi global dan domestik juga berdampak pada menurunnya aktivitas bisnis, yang mempersempit basis pajak. Meskipun tumbuh 3,5% dibandingkan tahun sebelumnya, realisasi ini tetap jauh dari target, mencerminkan tantangan berat dalam mengoptimalkan penerimaan negara.
APBN Defisit Akibat Belanja Negara Bengkak
Di tengah penerimaan pajak yang sulit tercapai, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia semakin melebar. Pada 2024, defisit tercatat sebesar Rp 507,8 triliun atau sekitar 2,29% dari PDB, meskipun sedikit lebih rendah dari perkiraan sebelumnya.
Hal ini terjadi karena penerimaan negara mencapai Rp 2.842,5 triliun, namun belanja negara meningkat tajam menjadi Rp 3.350,3 triliun, yang sebagian besar disebabkan oleh program baru pemerintah dan belanja kementerian/lembaga.
Program seperti pemberian makan bergizi gratis untuk anak sekolah dan penambahan jumlah kementerian/lembaga turut memperberat beban anggaran. Program makan bergizi gratis, misalnya, membutuhkan dana besar untuk memastikan anak-anak mendapatkan makanan sehat di sekolah.
Penambahan kementerian dan lembaga juga menyebabkan belanja operasional pemerintah naik, membuat defisit semakin sulit dihindari. Untuk menutupi kekurangan ini, pemerintah harus mencari dana melalui utang baru.
Kementerian Keuangan di bawah pimpinan Sri Mulyani kemudian menarik utang baru Rp 85,9 triliun pada awal tahun 2025 melalui penerbitan surat utang negara. Langkah ini dilakukan melalui strategi prefunding, yaitu penerbitan utang sebelum dimulainya tahun anggaran untuk mempersiapkan pembiayaan di tahun berikutnya.
"Kami telah prefunding Rp 85,9 triliun yang itu akan kurangi issuance (penerbitan utang) 2025," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto di Gedung Kemenkeu, Senin (6/1).
Dengan prefunding ini, pemerintah berharap dapat mengurangi penerbitan utang lebih lanjut pada tahun 2025 dan mengelola biaya utang yang tinggi akibat tantangan global.
Kekhawatiran Sri Mulyani
Sri Mulyani menyampaikan kekhawatirannya terkait tantangan ekonomi Indonesia pada 2025, mengingat ketidakpastian geopolitik global yang akan terus berlanjut. Ketidakpastian ini diperkirakan akan memberi tekanan signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Ia menyoroti kondisi politik dan ekonomi yang tidak stabil di negara-negara anggota G7, seperti Amerika Serikat dan Eropa, yang akan berdampak pada ekonomi global.
"Apa yang tengah dihadapi negara anggota G7 akan berimbas kepada seluruh dunia," ujar Sri Mulyani dalam pembukaan perdagangan di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (2/1).
Tantangan global pada 2025 diperkirakan semakin berat, terutama dengan kembalinya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Kebijakan proteksionismenya dipastikan akan berdampak pada ekonomi global, termasuk Indonesia.
“Pada periode kedua Presiden Trump, banyak kebijakan yang tidak hanya memengaruhi ekonomi AS, tetapi juga ekonomi dunia, seperti penetapan tarif dan kebijakan yang sangat inward looking,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTA, Senin (6/1).
Inward looking merujuk pada kebijakan yang berfokus pada perlindungan ekonomi domestik, seperti peningkatan tarif impor dan subsidi lokal. Pendekatan ini dapat memperburuk ketidakpastian perdagangan global dan menghambat ekspor negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kebijakan Trump diperkirakan juga akan mempengaruhi kebijakan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserves atau The Fed, yang diperkirakan hanya akan melakukan pemangkasan dua kali pada 2025. Hal ini, bersamaan dengan kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif, berpotensi memperkuat dolar AS dan melemahkan nilai tukar rupiah.
Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, memprediksi rupiah dapat mencapai Rp 17 ribu per dolar AS pada 2025, yang akan memberi tekanan pada inflasi dan daya beli masyarakat di Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengungkapkan bahwa kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif akan mendorong imbal hasil atau yield surat utang negara itu alias US Treasury tetap tinggi dan memperkuat dolar AS. Ia khawatir penguatan greenback akan melemahkan mata uang negara berkembang dan menghambat aliran investasi asing.
Untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, BI akan mengoptimalkan instrumen moneter pro-market, seperti Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia (SUVBI), guna menarik aliran investasi asing dan mendukung penguatan rupiah.
Ekonomi 2025 juga dihadapkan pada tantangan domestik, seperti pelemahan daya beli, penurunan kelas menengah, dan meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK). Daya beli masyarakat menurun akibat inflasi yang tinggi, sedangkan kelas menengah semakin tertekan dengan biaya hidup yang semakin mahal.
Pada 2024, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 68.000 pekerja terkena PHK, meningkat 4,84% dibandingkan 2023 yang tercatat sebanyak 64.855 orang. Sebagian besar PHK terjadi di sektor manufaktur dan ritel, yang terimbas ketidakpastian ekonomi global dan kebijakan efisiensi perusahaan.
Ekonomi RI Bakal Stagnan di Kisaran 5% pada 2025
Dengan adanya sejumlah tantangan besar sepanjang 2024, berbagai lembaga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan stagnan pada kisaran 4,8%- 5% pada 2025.
Dalam laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2024, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,1% pada periode 2025 hingga 2029. Proyeksi ini menunjukkan potensi stagnasi dalam jangka menengah.
Proyeksi tersebut lebih rendah dari target pemerintah. Dalam Anggaran APBN 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto ditargetkan mencapai 5,2%.
Tak hanya IMF, Bank Dunia melalui laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2024 juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,1% pada 2025. Meski proyeksi ini sedikit lebih tinggi dibandingkan prediksi April 2024 sebesar 5%, angkanya tetap jauh dari target pemerintah.
Berbeda dengan lembaga internasional, Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 bisa berada di bawah 5%. Celios memproyeksikan pertumbuhan ekonomi hanya 4,7%-4,9% secara tahunan.
CORE Indonesia juga memberikan pandangan serupa. CORE memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 hanya di kisaran 4,8%-5%, jauh dari target pemerintah.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede justru memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 mencapai 5,15%, dengan konsumsi rumah tangga dan investasi sebagai pendorong utama. Hal ini disampaikan Josua dalam acara 2025 Economic Outlook Permata Bank di Jakarta pada 3 Desember 2024.
Josua menekankan pentingnya kebijakan strategis untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan, seperti memaksimalkan konsumsi rumah tangga, diversifikasi ekspor, dan menarik investasi asing secara langsung. Ia juga menyoroti perlunya sinergi kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah ketidakpastian global.
Meski berbagai proyeksi menunjukkan perlambatan, Sri Mulyani tetap optimistis target pertumbuhan ekonomi 5,2% bisa tercapai, didukung permintaan domestik dan reformasi struktural yang difokuskan pada sektor padat karya dan bernilai tambah tinggi.
"Pemerintah akan mendorong reformasi struktural akan difokuskan pada sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja dan memberikan nilai tambah tinggi," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Jumat (18/10).