Ringkasan

  • IHSG turun signifikan sejak September tahun lalu, dipicu oleh berbagai faktor seperti perang dagang dan kekhawatiran ekonomi global.
  • Investor asing telah mencatatkan penjualan bersih sekitar Rp 50 triliun dalam lima bulan terakhir, dengan lebih dari 70% hari perdagangan mengalami arus keluar modal.
  • Modal asing di pasar saham Indonesia cenderung bergeser ke instrumen pendapatan tetap seperti surat utang pemerintah dan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) longsor setelah mencetak rekor demi rekor tertinggi sepanjang masa pada September tahun lalu. Hingga Februari ini, IHSG telah turun belasan persen dari rekor tertinggi Rp 7,900 ke 6.500-6.800 atau kembali ke kisaran perdagangan dua tahun lalu.

Investor asing mencatatkan penjualan bersih atau nett foreign sell sekitar Rp 50 triliun dalam lima bulan, dimulai dari pekan keempat September tepatnya 25 September, hingga penutupan pekan ketiga Februari pada 21 Februari. Dari total 99 hari perdagangan dalam periode itu, terdapat 76 hari nett foreign sell.

Analis dan praktisi pasar modal Hans Kwee menjelaskan arus keluar modal asing beberapa bulan ini terjadi seiring kebijakan perang dagang atau tarif resiprokal Donald Trump, kekhawatiran pelemahan ekonomi global dan ekonomi Indonesia, hingga indikasi likuiditas bank yang mengetat di dalam negeri. “Faktor (pemberatnya) bercampur cukup banyak,” ujarnya kepada Katadata, awal pekan lalu.

Saham-saham yang dilepas oleh investor asing termasuk saham emiten yang punya kapitalisasi pasar besar dan fundamental bisnis bagus alias blue chip dari berbagai sektor. Mayoritas saham dalam indeks saham unggulan LQ45 mengalami kejatuhan harga sepanjang tahun ini, terbesar yaitu Unilever Indonesia (UNVR) 31,56 persen, Adaro Minerals Indonesia (ADMR) 30,83 persen, Indocement Tunggal Prakarsa (INTP) 30,74 persen, dan Indosat 30,24 persen.

Semua saham bank yang masuk dalam indeks LQ45 terkoreksi satu sampai 17 persen, kecuali Bank Syariah Indonesia (BRIS) yang naik hampir 11 persen. Kejatuhan harga terbesar dialami Bank Tabungan Negara (BBTN) 17,98 persen, Bank Jago (ARTO) 16,87 persen, dan Bank Mandiri (BMRI) 10,96 persen.  

Penjualan saham oleh investor asing yang seperti “tak pandang bulu” ini menyebabkan indeks LQ45 sempat tersuruk ke level terendah sejak pandemi 2020. Untuk mengantisipasi harga saham melorot lebih jauh, beberapa emiten telah mengumumkan rencana pembelian kembali atau buyback saham.

Pertanyaannya, ke mana larinya dana asing? Dan, bagaimana prospek pergerakan dana asing ke depan?

Surat Utang Pemerintah Banjir Peminat, Dana Asing Pindah?

Instrumen surat utang atau surat berharga terbitan otoritas negara yang menawarkan pendapatan tetap alias fixed income banjir peminat. Data Kementerian Keuangan menunjukkan penawaran masuk dalam lelang Surat Berharga Negara (SBN) selalu melebihi target atau oversubscribed dalam lima bulan belakangan.

Kepemilikan investor asing atas SBN dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sempat turun yang menunjukkan aksi jual juga terjadi pada aset-aset ini. Kepemilikan asing di SBN turun Rp 13 triliun pada November dan di SRBI amblas Rp 38 triliun pada periode November dan Desember. Namun awal tahun ini, angka kepemilikan berangsur kembali ke posisi sebelum arus keluar tersebut terjadi.

Hans mengatakan ada dugaan investor asing memindahkan dananya dari saham ke SBN dan SRBI. Artinya, dana tidak sepenuhnya keluar dari pasar keuangan dalam negeri. “Makanya beberapa waktu belakangan, rupiah melemah tapi tidak terlalu dalam, karena dana yang keluar dari pasar saham tidak dikonversi ke dolar AS,” ujarnya. 

Nilai tukar rupiah melemah sekitar delapan persen terhadap dolar AS, dari level Rp 15,000 pada akhir September ke level Rp 16,200-16,300 per dolar AS pada Desember. Ini tak jauh berbeda dengan penguatan indeks dolar AS. Indeks dolar AS yang menggambarkan nilai tukar dolar AS terhadap sederet mata uang utama dunia naik hingga sembilan persen.

Secara umum, apa yang terjadi di Indonesia juga dihadapi negara-negara berkembang lainnya. Berdasarkan laporan Portofolio Tracker Institute of International Finance (IIF) yang dikutip Reuters, investor asing sebetulnya masih menempatkan dana di pasar modal negara berkembang, namun kelihatan menghindari pasar saham.

Bursa saham negara berkembang, kecuali Tiongkok, tertekan arus keluar modal asing atau net outflow US$ 11,5 miliar atau sekitar Rp 187 triliun pada Januari. Ini bertolak belakang dengan pasar surat utang yang justru kedatangan modal asing atau net inflow US$ 37 miliar atau lebih dari Rp 603 triliun.   

“Ini menunjukkan preferensi investor untuk instrumen pendapatan tetap yang relatif stabil di tengah ketidakpastian global yang terus menerus, risiko kebijakan moneter AS, dan tantangan-tantangan ekonomi global,” kata IIF.

Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menilai modal asing masih mengalir ke pasar surat utang domestik karena naiknya ekspektasi perlambatan ekonomi AS. Penyebabnya, data penjualan retail AS melemah dan Trump mengumumkan rencana kenaikan tarif bea masuk terhadap mitra dagangnya pada Februari ini. Alhasil, imbal hasil surat utang AS atau US Treasury turun, begitu juga indeks dolar AS.

Di sisi lain, Indonesia mencatatkan kenaikan cadangan devisa yang menunjukkan peningkatan kemampuan Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. BI melaporkan cadangan devisa US$ 157 miliar per akhir Januari, setara 6,5 bulan pembayaran impor dan utang luar negeri pemerintah. Ini lebih dari dua kali lipat standar aman yaitu tiga bulan impor.

Selain itu, level inflasi di Indonesia rendah. Pada 2024, inflasi tahunan hanya 1,57 persen, sedangkan Januari lalu, inflasi 0,76 persen, terendah dalam 24 tahun. Alhasil, imbal hasil surat utang tetap menarik. “Ini memberikan sentimen positif asing terhadap pasar obligasi,” ujarnya kepada Katadata, pekan lalu.

Bagi investor pasar saham, ketidakpastian global yang tinggi memicu sentimen yang kurang positif, karena bisa menahan pertumbuhan ekonomi. Namun, bagi investor surat utang, kata Handy, perlambatan ekonomi akan mendorong bank sentral untuk menurunkan suku bunga. Seperti diketahui suku bunga dengan harga surat utang memiliki hubungan saling berlawanan: penurunan suku bunga berarti kenaikan harga surat utang. “Jadi, lebih positif ke obligasi dibanding saham,” ujarnya.

Meski begitu, data Kementerian Keuangan menunjukkan arus masuk modal asing ke pasar SBN dan SRBI belum bisa dibilang deras. Pasalnya, sejauh ini, jumlah modal asing yang masuk relatif sama dengan yang sebelumnya keluar alias impas. Sedangkan, arus keluar modal asing di pasar saham masih berlanjut.

Dengan pemerintah terus melakukan penerbitan baru SBN, porsi kepemilikan asing di kedua instrumen surat utang keluaran otoritas negara tersebut turun dari kisaran 16,61 persen pada Oktober menjadi 16,01 persen pada Januari. Dengan kata lain, ada faktor lain yang menahan arus masuk dana asing. 

Secara global, jika melihat lonjakan harga emas dunia, investor internasional tampaknya masih banyak mengalihkan dana ke aset aman atau save haven di tengah banyaknya ketidakpastian.   

Kepemilikan Asing di Pasar Saham Indonesia Melebihi 45%, Risiko Arus Keluar Masih Besar?

Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan, kepemilikan saham oleh investor asing di atas 45 persen. Dengan persentase sebesar ini, peranan investor asing besar dalam menentukan pergerakan bursa saham Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana prospek pergerakan dana asing ke depan?

Survei terbaru dari Bank of America Corp (BAC) mendapati temuan menarik: investor menunjukkan minat tinggi untuk mengambil risiko. Survei tersebut dilakukan pada 7-13 Februari lalu, melibatkan 168 responden dengan total aset US$ 401 miliar, termasuk manajer investasi pengelola dana jumbo.

Survei menemukan persentase dana tunai terhadap total dana kelolaan pada manajer investasi berada pada level terendah sejak 2010. Ini seiring dengan kekhawatiran akan resesi global yang turun ke level terendah dalam tiga tahun. Saham-saham global telah jadi aset popular.

Sebanyak 34 persen responden berharap bursa saham menjadi aset paling menghasilkan tahun ini, sekitar 11 persen menilai surat utang kurang menarik. Sekitar 89 persen menilai saham-saham di bursa AS sudah kemahalan alias overvalued. Investor bergeser ke saham-saham di bursa Eropa.

Temuan-temuan ini menggambarkan minat tinggi investasi di pasar saham. Namun, ini tidak serta merta menciptakan prospek positif bagi pasar saham negara berkembang. 

Sebab, seperti disebut dalam laporan portofolio tracker IIF: modal internasional masih mengalir ke negara berkembang sepanjang Januari lalu, namun lebih menyasar ke surat utang. Ini sinyal adanya penghindaran risiko alias “risk off” di pasar saham negara berkembang. Dan, sinyal "risk off" ini masih berlanjut pada Februari ini, setidaknya di bursa saham Indonesia. 

Managing Director and Head of Equity Capital Market Samuel Sekuritas Indonesia Harry Su mengatakan faktor domestik yang menjadi pemberat adalah kekhawatiran pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat. Pertumbuhan pada kuartal IV tahun lalu lebih rendah dibandingkan periode sama tahun 2023 terutama karena pelemahan konsumsi masyarakat.

Di luar itu, “Mungkin investor ada sedikit concern juga dengan kondisi politik di Indonesia,” ujarnya. Investor juga disebutnya masih menantikan kejelasan soal lembaga investasi baru Danantara yang bakal mengelola aset BUMN-BUMN besar yang juga jadi emiten bursa. “Danantara belum begitu jelas bentuknya,” kata dia.

Senada, Hans mengatakan, prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia masih jadi perhatian utama. Sekarang, pelaku pasar memantau dampak kebijakan anggaran Presiden Prabowo Subianto terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. ”Orang mau tahu, apakah anggaran untuk program Makan Bergizi Gratis ini berasal dari realokasi anggaran lain atau akan menyebabkan defisit yang melebar,” kata dia.

Kemudian soal pemangkasan anggaran, Presiden Prabowo menyatakan yang kena pangkas adalah belanja yang tidak penting, tapi ada pula informasi bahwa ini bisa mengganggu pembayaran gaji pegawai negeri hingga pengerjaan infrastruktur. “Jadi ya tugas pemerintah harus mengondusifkan kondisi ini,” ujarnya.

Di saat masih banyak ketidakjelasan di domestik yang jadi faktor pemberat, Hans melihat ada peluang bursa saham kembali menggeliat karena sinyal positif dari luar. Presiden Trump menunda pemberlakukan bea masuk lebih tinggi untuk barang impor.  

Pemerintah AS akan lebih dulu mempelajari hubungan dagangnya dengan satu per satu negara mitra sebelum memutuskan kebijakan bea masuk. Studi ditargetkan selesai pada April. “Ini membuka peluang negara-negara untuk bernegosiasi,” ujarnya. Dan, ini angin segar untuk ekonomi global dan Indonesia.

Hans meyakini IHSG bisa kembali ke 7,600-7,800 setelah kebijakan ekonomi Trump lebih jelas. “Kalau sudah semakin pasti akan lebih terkendali lah (arus modal asing),” kata dia.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami