
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) menyebabkan konten yang dibuat manusia semakin sulit dibedakan dengan buatan bot. Perusahaan yang didirikan Sam Altman, CEO OpenAI, berambisi dapat mengidentifikasi dan mengotentikasi akun buatan manusia sungguhan dengan buatan bot di dunia digital.
“Kami ingin memastikan bahwa manusia tetap istimewa dan penting di tengah dunia yang semakin dipenuhi konten buatan AI,” kata Altman pada perhelatan bertajuk “At Last” di Fort Mason Center, San Francisco pada 30 April 2025.
Tools for Humanity, perusahaan rintisan yang didirikan Altman dan Alex Blania menjawab tantangan tersebut dengan menciptakan teknologi proof of human. Teknologi ini melibatkan mesin berbentuk bola “Orb” untuk memeriksa identitas kemanusiaan seseorang. Mesin dan teknologi ini merupakan bagian dari jaringan World, platform sumber terbuka sebagai hub digital verifikasi manusia, yang dikembangkan Tools for Humanity.
Katadata.co.id meliput acara “At Last” tersebut dan menyaksikan bagaimana Orb melakukan verifikasi dengan cara memindai iris mata. Hasil pemindaian kemudian diubah menjadi data terenkripsi sebagai World ID, yakni KTP di jaringan digital World, yang tersimpan di dalam perangkat milik pengguna.
Pemindaian iris mata merupakan identifikasi biometrik yang sulit diduplikasi karena bersifat unik dan individual. Biasanya perekaman data biometrik ini dilakukan oleh negara, di Kantor Imigrasi atau Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yang bentuk keluarannya berupa paspor dan KTP.
Ketika melakukan transaksi misalnya, pengguna akan kembali melakukan pemindaian iris mata menggunakan Orb dan memverifikasinya sesuai dengan identitas yang ada dalam World ID di perangkat pengguna. “Jadi pengguna sendiri yang mengontrol datanya, dan mengingatkan agar datanya dihapus dari Orb,” kata Rich Heley, Chief Device Officer Tools for Humanity.
Relasi Nyata Antarmanusia di Dunia Digital
CEO Tools for Humanity Alex Blania mengatakan, saat ini terdapat 26 juta pengunduh aplikasi World dan 12 juta di antaranya telah terverifikasi melalui Orb. Mereka sudah dapat menikmati layanan jaringan World yang bekerja melalui tiga platform yakni World ID, Worldcoin, dan World App.
World ID merupakan platform terintegrasi untuk menyimpan identitas kemanusiaan di dunia digital. Dari platform inilah Orb akan memverifikasi pengguna. Menurut Blania, setidaknya ada tiga area utama di ekosistem digital yang membutuhkan World ID saat ini: gaming, kencan online, dan media sosial.
Di tiga ekosistem tersebut, World telah menjalin kerja sama dengan Razer, perusahaan perangkat keras permainan yang berpusat di California dan Singapura, serta aplikasi pencarian sosial Tinder. Dalam ekosistem permainan daring misalnya, World ID dapat mencegah kecurangan pemain yang menggunakan bot.
“World tidak hanya memverifikasi bahwa Anda adalah manusia. Tetapi dalam kasus Tinder Jepang, juga membuktikan Anda telah berusia di atas 18 tahun,” kata Blania.
Sedangkan Worldcoin merupakan token berbasis blockchain yang memungkinkan pengguna—apakah itu individual, perusahaan, pemilik aplikasi, bahkan pemerintah—memperoleh insentif atau melakukan transaksi di dalam jaringan.
Tools for Humanity memberikan imbalan Worldcoin bagi mereka yang mengunduh aplikasi World dan memindai iris matanya dengan Orb. Blania menyampaikan, di AS setiap orang yang mengunduh World APP menerima 150 WLD (1 WLD = Rp15.000 per 5 Mei 2025). “Kami menyebutnya sebagai pioneer grant,” kata dia.
Model Bisnis
Salah satu sumber pemasukan Tools for Humanity berasal dari penjualan atau penyewaan Orb oleh operator World. Hingga akhir 2025, ditargetkan sebanyak 7.500 Orb tersebar di seluruh Amerika Serikat.
Saat ini, perusahaan juga tengah mematangkan Orb mini atau mobile Orb yang dapat dimiliki individu jika ingin memverifikasi hubungannya dengan orang lain. “Seperti Uber yang menghubungkan supir dengan penumpangnya,” kata Rich Heley.
Pemasukan Tools for Humanity yang utama justru berasal dari proses verifikasi manusia itu sendiri. Misalnya dalam jaringan World App, yakni superaplikasi yang berisi aplikasi-aplikasi tunggal (mini apps) yang dibuat pengembang pihak ketiga. Ketika mini apps tersebut ingin memeriksa pelanggannya menggunakan World ID akan dikenakan biaya.
“Gratis untuk pengguna, tetapi berbayar bagi pengembang aplikasi,” kata Tiago Sada, Chief Product Officer Tools for Humanity.
Kebutuhan akan verifikasi World ID ini diperkirakan semakin tinggi seiring penambahan layanan pembayaran dan dompet digital dalam World App. Sada menyebutkan, World telah menjalin kerja sama dengan perusahaan jasa pembayaran Stripe dan Visa.
“Faktanya, kami baru saja melewati 350 juta verifikasi, naik dari 150 juta pada akhir tahun lalu,” kata dia.
Kekhawatiran Keamanan Data
Sam Altman mengatakan, jaringan World dirancang sebagai platform sumber terbuka (open source) agar terdesentralisasi dan demokratis. Dengan begitu tidak ada satu pihak pun yang mengendalikan, memanipulasi, atau mengubahnya di luar pengetahuan semua pengguna.
“Dengan meletakkannya di tangan masyarakat sehingga dapat membuat keputusan kolektif, maka akan semakin baik,” kata dia.
Namun, jaminan keterbukaan tersebut itu tidak menutup kekhawatiran bahwa pengambilan identitas biometrik melalui pemindaian wajah dan iris mata meningkatkan risiko keamanan pribadi. Kekhawatiran ini pula yang mendorong pemerintah Hong Kong melarang aktivitas World pada tahun lalu. Sejumlah negara di Eropa juga meningkatkan pengawasan terhadap perekaman data biometrik yang dinilai sensitif.
Otoritas Perlindungan Data (ANPD) Brasil, pada Januari 2025, memerintahkan Tools for Humanity menghentikan pemberian imbalan uang kripto atau uang lainnya kepada masyarakat yang bersedia memindai iris matanya. Keputusan ANPD ini terkait dengan inspeksi yang dilakukan pada November 2024.
“Pemrosesan data pribadi oleh perusahaan sangat serius, mengingat penggunaan data pribadi yang sensitif dan ketidakmungkinan untuk menghapus data biometrik,” sebut ANPD dalam rilisnya.
Di Jakarta, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membekukan sementara layanan Worldcoin dan World ID. Langkah ini diambil setelah muncul laporan masyarakat mengenai aktivitas mencurigakan.
“Pembekuan ini merupakan langkah preventif untuk mencegah potensi risiko terhadap masyarakat. Kami juga akan memanggil PT Terang Bulan Abadi untuk klarifikasi resmi dalam waktu dekat,” kata Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Alexander Sabar dalam siaran pers, Minggu, 4 Mei 2025.
Menanggapi keputusan Komdigi, Tools for Humanity secara sukarela menghentikan layanan verifikasi di Indonesia. Saat ini, perusahaan tengah mencari kejelasan terkait persyaratan izin dan lisensi yang relevan.
“Kami berharap dapat terus melanjutkan dialog konstruktif dan suportif yang telah terjalin selama setahun terakhir dengan pemerintah,” kata Tools for Humanity dalam siaran pers yang diterima Katadata.co.id pada 5 Mei 2025.
Lebih lanjut, Tools for Humanity mengatakan, jaringan World memanfaatkan teknologi untuk memverifikasi keunikan individu di era AI. Apalagi banyak terjadi misinformasi dan disinformasi, termasuk pencurian identitas dan deep fake.
Aktivitas mencurigakan yang dimaksud Komdigi kemungkinan terkait pengambilan data biometrik oleh Tools for Humanity di sejumlah wilayah di Jabodetabek. Dari laporan disebutkan, masyarakat yang bersedia dipindai wajah dan iris matanya diberi kompensasi sebesar Rp300 ribu-Rp500 ribu.
Mengenai pemberian imbalan, Adrian Ludwig, Chief Architect Tools for Humanity, mengatakan sebagai hal yang wajar dilakukan perusahaan untuk membangun pasar. Ini pernah dilakukan Paypal, perusahaan jasa transfer elektronik, yang memberikan imbalan senilai US$10 kepada pengguna baru.
Di Indonesia, strategi seperti ini juga dilakukan aplikasi Gojek dan Tokopedia yang memberikan insentif diskon kepada penggunanya. Namun, tidak kontroversial karena tidak ada aktivitas perekaman data sensitif biometrik.
Tools for Humanity mengklaim, perusahaan tidak menyimpan data biometrik di server mereka. Begitu selesai dipindai oleh Orb, semua foto dan identitas lainnya langsung dipindahkan ke perangkat masing-masing pengguna.
“Kami tidak menyimpannya sehingga meminimalisasi risiko kebocoran,” kata Damien Kieran, Chief Legal Officer & Chief Privacy Officer Tools for Humanity.
Selain itu, sebagai teknologi sumber terbuka, perusahaan mengklaim pihak ketiga dapat memeriksa semua aktivitas di dalam platform.
“Risiko terbesarnya justru ada di perangkat mobile pengguna jika diretas atau hilang. Makanya, kami membuat dua lapisan enkripsi setiap data yang ditaruh di perangkat,” kata Kieran.