Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Lima tahun sudah berlalu, tapi Sumitro Djojohadikusumo masih mengingat jelas pertentangannya dengan JB Sumarlin. Saat berpidato dalam Rapat Anggota Induk Koperasi Pegawai Negeri Republik Indonesia (IKPN-RI) pada 1994, Sumitro berkisah soal beda pendapatnya dengan Menteri Keuangan era 1988-1993 itu. Sumarlin menolak gagasan “mengepul” dana penyisihan laba perusahaan-perusahaan negara ke dalam lembaga pengelola dana investasi atau investment trust untuk pembinaan gerakan koperasi.

Sumitro berpendapat, pembangunan sebagai suatu proses transformasi harus membawa perubahan dari ketimpangan menjadi keseimbangan antara kekuatan golongan pengusaha besar, pengusaha kecil, dan menengah. Pengembangan koperasi serta usaha kecil dan menengah bisa dilihat sebagai jalan untuk membentuk kekuatan tandingan atau countervailing power terhadap pengusaha besar dan konglomerat yang menguasai ekonomi.

Ide itu sebenarnya punya dasar. Pada 1989, Presiden Soeharto menggagas penyisihan laba BUMN dan BUMD sebesar 1-5 persen untuk koperasi dan usaha kecil di seluruh Indonesia. Lalu, keluar lah Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur soal ini. Namun pemanfaatan dana diserahkan pada masing-masing pimpinan BUMN dan BUMD.

Hasilnya? Menurut Sumitro pemanfaatan dana tidak efektif karena tersebar sehingga tidak terarah. Sudah juga jadi rahasia umum ketika itu, dana dipakai bukan hanya untuk urusan strategis tapi politis.

Melihat hal itu, Sumitro mengusulkan kepada pemerintah melalui Sumarlin dan Menteri Dalam Negeri yaitu pembentukan investment trust untuk pembinaan gerakan koperasi . Saat itu, ia sudah lama pensiun dari kabinet, tapi masih menjabat sebagai Ketua Umum IKPN-RI.

Namun, usulan itu ditolak oleh Sumarlin. “Semata-mata dengan alasan belum waktunya. Tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan secara terjabar,” ujar Sumitro dalam rapat anggota IKPN-RI pada 15 Desember 1994. Ia menegaskan, “Saya tetap beda pendapat. Dan kini pendapat saya didukung pengalaman empiris selama lima tahun.”

Dalam urusan pembentukan kekuatan tandingan, Sumitro menambahkan, Indonesia ketinggalan jauh dibandingkan dengan Malaysia. Pemerintah Negeri Jiran membentuk Sharikat Permodalan Nasional, Berhad pada 1978. Ini lembaga pengelola dana investasi untuk memperkuat kedudukan golongan etnis Melayu atau Bumiputera dalam kegiatan ekonomi masyarakat.

Malaysia yang merdeka dari Inggris tahun 1957 juga mengalami situasi yang mirip dengan Indonesia: ketimpangan ekonomi yang lebar. Melayu sebagai kelompok masyarakat mayoritas secara politik, minoritas secara ekonomi.

Di sepanjang era 1990-an, masalah ketimpangan ekonomi dan gagasan investment trust itu hampir tidak pernah absen dalam pidato Sumitro di berbagai kesempatan, dari rapat anggota IKPN-RI, rapat dengan DPR, hingga dalam forum analis dan ekonom, serta investor.

Gagasan yang sama disuarakannya dalam situasi “maha berat”: krisis moneter 1998 yang membawa komplikasi akut terhadap perekonomian. Membangkitkan koperasi dan usaha kecil menengah disebutnya sebagai cara untuk mengatasi ledakan pengangguran. Kegiatan ekonomi di lapisan ini bisa menyerap sebagian besar tenaga kerja.

“Dalam pada itu, saya tidak urung menganjurkan pada pemerintah agar dibentuk sebuah investment trust untuk koperasi seperti yang telah beberapa kali saya ungkapkan pada kesempatan seperti ini,” ujarnya dalam rapat anggota IKPN-RI, 9 November 1998. Bisa dibilang, ini gagasan yang disuarakan hingga akhir hayatnya. Sumitro wafat pada 9 Maret 2001.

Gagasan Investment Trust untuk Koperasi

Gagasan Sumitro tentang investment trust untuk pembinaan koperasi bisa dirangkai dari berbagai pidatonya sepanjang era 1990-an. Menurut dia, peran investment trust dalam memperkuat koperasi sebagai kekuatan tandingan di pasar tidak terbatas pada penyaluran dana untuk pendidikan, pelatihan bisnis, atau kredit jangka panjang saja.

Lebih dari itu, investment trust juga dimaksudkan untuk membuka jalan bagi kelompok ekonomi lemah agar dapat ikut memiliki aset dan perusahaan strategis, termasuk BUMN. Dengan demikian, kepemilikan tidak hanya berputar di kalangan konglomerat yang “itu-itu saja”.

Secara struktur, Sumitro mengusulkan agar lembaga ini berdiri secara independen, tidak terikat pada satu departemen, meskipun tetap tunduk pada pengawasan otoritas moneter pemerintah. Ia membayangkan lembaga tersebut berada di bawah pengawasan sebuah dewan yang terdiri dari perwakilan sektor keuangan dan moneter, koperasi, serta pelaku usaha.

Fungsi utama lembaga ini adalah menyalurkan dana untuk pembinaan koperasi primer—mulai dari pelatihan keterampilan dan pendidikan pengelolaan usaha, hingga penguatan permodalan melalui pemberian kredit jangka panjang. Koperasi primer sendiri merujuk pada koperasi tingkat dasar yang didirikan oleh sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka secara bersama-sama.

Lebih dari itu, lembaga ini dimungkinkan menyediakan dana jaminan (guarantee fund) atau bahkan melakukan pembelian saham perusahaan swasta, jika dinilai memberi manfaat strategis. Menurut Sumitro, hal terakhir itu penting sekali seiring rencana swastanisasi beberapa BUMN.

Pada awal 1990-an, pemerintah Orde Baru mulai menerapkan kebijakan privatisasi atau swastanisasi terhadap BUMN. Kebijakan ini untuk menutupi pembayaran utang luar negeri Indonesia yang terus membengkak.

Sumitro melihat privatisasi BUMN sebagai kebijakan yang perlu diwaspadai. Ia curiga, di balik gagasan itu, ada keinginan untuk memperkuat posisi konglomerat tertentu yang “itu-itu juga” dan sudah sangat dominan. Dengan dana investasi untuk koperasi mengambil bagian dalam pembelian saham BUMN, setidaknya risiko itu bisa dicegah.

Dalam konferensi investor yang digelar tahun 1997, bertepatan dengan HUT ke-20 Pasar Modal Indonesia, Sumitro kembali menegaskan pentingnya peran investment trust koperasi dalam pembelian saham BUMN. Ia membayangkan lembaga ini bisa berfungsi ganda: sebagian sebagai modal ventura, sebagian lagi sebagai reksa dana. Lewat mekanisme reksa dana, koperasi dan pelaku usaha kecil bisa memiliki saham di perusahaan BUMN, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Melalui sarana reksa dana, koperasi dan usaha kecil dimungkinkan secara langsung maupun tidak langsung, memperoleh manfaat dari pasar modal, antara lain melalui rencana go-public dari sejumlah BUMN terkemuka,” ujarnya.  

Gagasan ini mirip dengan apa yang telah dilakukan pemerintah Malaysia lewat pendirian Permodalan Nasional Berhad (PNB) pada 1978. PNB dibentuk sebagai perusahaan pengelola dana investasi dengan misi utama: meningkatkan kepemilikan dan partisipasi ekonomi masyarakat Bumiputera dalam perekonomian nasional yang saat itu masih didominasi oleh kelompok non-Bumiputera.

PNB menghimpun dana masyarakat, khususnya Bumiputera, melalui skema reksa dana. Dana yang terkumpul kemudian diinvestasikan ke berbagai aset strategis seperti saham perusahaan besar, properti, dan instrumen keuangan lainnya.

PNB ini juga yang digunakan Sumitro untuk “memanaskan kuping” pemerintah Orde Baru -- bagaimana Indonesia tertinggal dari Malaysia dalam hal pembangunan lembaga keuangan rakyat untuk pemerataan ekonomi.

Ironi Nasihat Cuma Diseminarkan di Dalam Negeri

Sumitro sempat menghabiskan satu dekade di luar negeri setelah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, jalan yang memisahkannya dengan rezim Sukarno. Selama itu, ia berpindah-pindah negara, bekerja sebagai konsultan ekonomi, bahkan sempat mendirikan perusahaan konsultan. Untuk menghindari pelacakan, Sumitro menggunakan berbagai nama samaran seperti Sungkono, Sunarto, Sou Ming Tou, Henry Kusumo, hingga Abu Bakar.

Ketika memakai nama Abu Bakar, Sumitro sempat membantu pemerintah Malaysia dalam proyek Lembaga Kemajuan Tanah Persekutuan (FELDA). Lembaga yang dibentuk tahun 1956 itu bertujuan merelokasi warga pedesaan miskin, terutama dari etnis Melayu, ke wilayah-wilayah terpencil yang subur untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan. Skema ini mirip dengan program transmigrasi era 1950-an yang digagas Sukarno, lalu diperluas secara masif oleh Soeharto pada 1970-an.

Sumitro melihat ada persoalan mendasar dalam program tersebut. Anak-anak muda yang direlokasi tidak semuanya tertarik bertani. Di sisi lain, mereka menyaksikan kelompok Tionghoa mendominasi sektor ekonomi non-pertanian.

Menyadari ketimpangan ini, Sumitro menyarankan agar Malaysia membentuk sebuah korporasi nasional untuk menampung potensi ekonomi kalangan Melayu atau Bumiputera. Dua minggu kemudian, Malaysia mendirikan National Development Corporation.

Tak berhenti di situ, Sumitro juga menyarankan dibentuknya Urban Development Corporation yang bertugas mengatur agar sebagian wilayah perkotaan hanya dapat dibeli atau disewa oleh warga Bumiputera. Rekomendasi ini pun diadopsi pemerintah Malaysia.

Cerita soal Abu Bakar dan perannya di Malaysia ini dituliskan Aristides Katoppo, Hendra Esmara, dan Heru Cahyono dalam buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang. Ini bisa dibilang buku terakhir soal Sumitro, yang ditulis berdasarkan wawancara langsung dengan Sumitro, selain dengan orang-orang terdekatnya.

Kepada mereka, Sumitro sempat merespons soal ironi nasihatnya dijalankan di negeri orang tapi hanya didengarkan atau diseminarkan di negeri sendiri. Ini seperti terjadi pada nasihat pembentukan investment trust untuk pembinaan koperasi. “Entahlah, mengapa demikian,” kata dia.

“Di sini terlalu banyak orang pinter, termasuk yang keminter. Sorry, kalau saya harus katakan bahwa adik-adik saya kurang memperhatikan nasionalisme, termasuk Widjojo. Jadi, mereka itu free competition. Lho, bagaimana mau pertarungan bebas, sebab ini sama saja dengan mempertarungkan Wongsosuseno dengan Muhamad Ali.”

Momen Emosional Peluncuran Danantara

Tanggal 24 Februari 2025 menjadi momen mengharukan bagi keluarga Prabowo Subianto. Pada hari itu, Presiden Prabowo secara resmi meluncurkan Danantara, sebuah superholding BUMN yang diberi mandat penuh untuk mengelola dan mengatur pemanfaatan dividen atau laba bagian pemerintah dari seluruh BUMN.

Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo, menyebut pendirian Danantara berangkat dari gagasan sang ayah, Sumitro Djojohadikusumo. “Saya bisa bersaksi bahwa berdirinya Danantara ini sebetulnya bagi Pak Prabowo dan saya sangat emosional."

Dari sisi skala, Danantara jelas melampaui mimpi Sumitro. Lembaga ini direncanakan mengelola seluruh dividen milik pemerintah dari semua BUMN, bukan hanya sebagian kecil seperti 1–5 persen sebagaimana dibayangkan dalam konsep investment trust Sumitro. Namun, Danantara lebih tepat disebut sebagai kebijakan yang terinspirasi oleh gagasan Sumitro, bukan sebagai realisasi langsung.

Ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Danantara dibentuk agar pemerintah punya kapasitas mendanai, termasuk menarik investasi di proyek-proyek strategis seperti hilirisasi mineral, produksi pangan, pembangunan pusat data, hingga pengembangan energi terbarukan.

Sebaliknya, gagasan Sumitro adalah investment trust untuk pembinaan dan penguatan koperasi, agar kelompok ekonomi lemah dapat ikut memiliki aset dan berpartisipasi di sektor strategis.

Dalam soal pengembangan koperasi, Prabowo memecah Kementerian Koperasi dan UKM menjadi dua yaitu Kementerian Koperasi dan Kementerian UMKM. Kemudian, menggagas pendirian Koperasi Merah Putih di seluruh desa di Indonesia. Rencananya, modal pendirian berasal dari pinjaman bank BUMN yang kemudian dicicil pemerintah dari alokasi Dana Desa dalam APBN. Ini setidaknya yang diketahui hingga sekarang.

Walau secara gagasan seakan sejalan dengan pemikiran Sumitro, Prabowo kelihatannya memiliki strategi yang berbeda.

Kini, ide besar Sumitro menandingi kekuatan para pengusaha kakap dan konglomerat untuk pembangunan dan pemerataan ekonomi diwujudkan dalam rupa Danantara dan Koperasi Merah Putih.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo ini didukung oleh:

Logo Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami