Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Dalam satu dekade dari sekarang, lampu gedung pencakar langit di Marina Bay Sand barangkali akan menyala berkat pembangkit listrik tenaga surya dari Kepulauan Riau. Negara Merlion menargetkan enam gigawatt listrik rendah karbon — sekitar 40 persen dari total kebutuhan dalam negerinya — diimpor dari negara tetangga pada 2035, separuhnya berasal dari Indonesia.

Sejauh ini, enam perusahaan, beberapa milik konglomerat Indonesia, telah mengantongi conditional licence alias izin bersyarat, selangkah lagi untuk mendapatkan import licence alias izin impor. Semuanya menawarkan listrik hijau dari pembangkit tenaga surya yang dibangun di wilayah Indonesia yang terdekat dengan Singapura: Kepulauan Riau dan Riau.

Singa Renewables Pte Ltd menjadi yang terbaru memeroleh izin bersyarat dengan rencana pasokan listrik hijau terbesar yaitu satu gigawatt. Singa adalah perusahaan patungan antara raksasa energi Prancis TotalEnergies dan perusahaan milik konglomerat sawit Sukanto Tanoto Royal Golden Eagle. Singa akan membangun dan mengoperasikan pembangkit listrik tenaga surya dan baterai skala besar di Pulau Rangsang, Riau.

Pemerintah Singapura mengambil langkah strategis untuk memastikan rencana impor listrik ini bisa terealisasi sesuai target. Sebuah perusahaan baru terafiliasi pemerintah Singapura, Singapore Energy Interconnections (SGEI), resmi beroperasi pada 24 April. Pemerintah Singapura menunjuk SGEI sebagai pengembang infrastruktur transmisi listrik lintas negara. SGEI akan berperan dalam pendanaan, pembangunan, pengoperasian, sekaligus memegang pemilikan infrastruktur transmisi.

Pada 30 Mei, SGEI dan Singa menandatangani kesepakatan untuk membangun kabel bawah laut Indonesia-Singapura. Targetnya, listrik dari pembangkit listrik tenaga surya di Pulau Rangsang akan mulai mengalir ke Singapura pada 2029. Perusahaan pemegang izin bersyarat lainnya ada yang punya rencana lebih awal yaitu 2027, dengan kabel bawah laut yang dibangun konsorsium berbeda.  

Pertanyaannya, kenapa Singapura demikian bernafsu? Selama ini, Singapura bergantung pada gas alam untuk menghasilkan listrik. Sekitar 94 persen pembangkit listrik berbahan bakar gas alam. Sedangkan emisi karbon dari sektor energi berkontribusi sekitar 36 persen terhadap total emisi karbon negara kota tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan energi masa depan dan mencapai komitmen pengendalian iklim yaitu emisi netral atau net zero emission pada 2050, Singapura harus bergeser ke sumber energi yang lebih bersih.

Namun, tentu bukan ini saja alasannya. Singapura melihat peluang ekonomi dengan menjadi front runner alias pelari terdepan di sektor energi hijau. Banyak yang menyebut, negara kota itu ingin mengulang sukses sebagai hub minyak Asia Tenggara tanpa ladang minyak. Dalam perdagangan minyak dunia, Singapura sukses mengembangkan industri hilir minyak dan memegang peranan penting dalam pengapalan minyak internasional.

Ambisi Besar Singapura

Dokumen Charting Energy Transition 2050 yang dirilis otoritas energi Singapura (EMA) pada Maret 2022 memuat jalur dekarbonasi Singapura dengan tiga skenario geopolitik dan kemajuan teknologi. Intinya, jalur utama yang potensial yaitu lewat impor listrik rendah karbon dan pemanfaatan hidrogen. Di luar itu, Negara Merlion terbuka pada pilihan teknologi lain seperti penangkapan karbon (CCUS) dan nuklir, sebagai alternatif.

Namun, laporan itu tak semata hanya soal dekarbonisasi. Di dalamnya terselip ambisi ekonomi dan dorongan untuk memperkuat posisi strategis. “Di tengah transformasi sektor energi, ada peluang ekonomi yang bisa direbut Singapura dengan memanfaatkan karakter uniknya,” tulis laporan tersebut. Bentuk negara-kota memudahkan Singapura mengembangkan solusi tanpa harus berhadapan dengan banyaknya kepentingan seperti di negara-negara yang lebih besar.

Kemudian, ekosistem riset yang kuat dan kemampuan menarik investasi teknologi global membuat Singapura bisa menjadi living lab atau "laboratorium hidup", tempat diujicobakannya teknologi baru untuk transisi energi sebelum diterapkan secara lebih luas, termasuk diekspor. Sebagai contoh, jaringan smart grid untuk lingkungan kota padat penduduk, teknologi membran untuk penangkapan karbon, hingga teknologi terkait bahan bakar dan distribusi hidrogen. 

Ambisi untuk mendahului negara lain dalam pengembangan teknologi transisi energi ini berpijak pada strategi klasik: menjadi pusat distribusi dan perantara global, serta menjadi pelaku di industri pengolahan. Periset dari Asia Competitiveness Institute, Lee Kuan Yew School of Public Policy, Quah Say Jye dan Tan Kway Guan, melihat di balik dekarbonasi ini adalah upaya untuk menjadikan Singapura bukan hanya negara hijau, tetapi hub energi terbarukan.

Mereka melihat rencana dekarbonasi ini sebagai upaya mengulang sejarah sukses Singapura dalam perdagangan minyak. Meski tak punya sumber daya minyak sendiri, Singapura menjadi simpul penting dalam perdagangan global. Singapura berperan dalam menyediakan layanan bunkering, penetapan harga, dan logistik pelayaran di kawasan Selat Malaka. Singapura juga membangun industri pengolahan migas dan Indonesia jadi salah satu pasar ekspornya. 

Kini, formula serupa dicoba kembali di era energi baru. “Dengan memanfaatkan lokasi strategis dan infrastruktur canggih, Singapura bisa memosisikan diri sebagai pusat distribusi energi untuk pasar Asia Tenggara dan bahkan lebih luas,” tulis keduanya dalam sebuah artikel opini berjudul “Singapore: Asia-Pacific’s Renewable Energy Hub?” yang terbit di The Business Times, tahun lalu.

 

Di bisnis hidrogen, Singapura telah menyusun strategi rapi. Pada Oktober 2022, Singapura meluncurkan National Hydrogen Strategy. Ini peta jalan untuk menjadikan hidrogen sebagai jalur utama dekarbonisasi sekaligus mempersiapkan Singapura menjadi pemain penting dalam rantai pasok hidrogen global.

Hidrogen hijau potensial sebagai bahan bakar rendah emisi untuk pembangkit listrik hingga kapal laut dan pesawat. Hidrogen hijau diproduksi melalui proses elektrolisis, yakni pemisahan molekul air menjadi hidrogen dan oksigen dengan bantuan listrik dari sumber energi terbarukan. Impor listrik hijau akan mendukung  Singapura menjadi produsen hidrogen, bukan hanya importir dan penyedia jasa penyimpanan maupun distribusi hidrogen.  

Sejauh ini, Singapura tercatat sudah melakukan sejumlah langkah konkrit untuk mendukung pemanfaatan hidrogen. Di Pulau Jurong, Singapura mengembangkan proyek percontohan yang mengubah amonia — bahan kimia yang berfungsi sebagai penyimpan hidrogen — menjadi listrik dan bahan bakar kapal. Dua konsorsium sudah masuk tahap pre-FEED (front-end engineering design), tahap awal yang penting sebelum konstruksi.

Singapura juga membentuk Centre for Hydrogen Innovations (CHI) di Universitas Nasional Singapura (NUS), sebagai pusat riset dan validasi teknologi hidrogen. Ada juga Directed Hydrogen Programme yang mendanai proyek riset keamanan dan efisiensi impor hidrogen. 

Negeri Merlion juga bergabung dalam International Partnership for Hydrogen and Fuel Cells in the Economy (IPHE) pada 2023. Keikutsertaan ini memungkinkan Singapura terlibat langsung dalam pembentukan standar global dan menyiapkan diri sebagai penyedia Guarantee of Origin (GoO) yaitu sertifikasi yang menjamin hidrogen yang diperjualbelikan benar-benar rendah emisi.

Integrasi Jaringan Listrik ASEAN: Dari Tarik-Ulur Pasok Singapura ke Ambisi Baru

Meski Singapura tampak mulus dalam mempercepat rencana impor listrik, proyek lintas negara seperti ini bukan tanpa tantangan geopolitik. Contoh paling nyata datang dari jalur integrasi listrik di daratan Asia Tenggara, LTMS-PIP, yang menjadi proyek pertama integrasi jaringan listrik ASEAN atau ASEAN Power Grid. 

Diluncurkan pada 2022, proyek ini berhasil menyalurkan listrik lintas empat negara: Laos, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Proyek ini memungkinkan Singapura mengimpor listrik dari Laos sejauh lebih dari 1.000 kilometer, melalui jaringan transmisi milik Thailand dan Malaysia. Namun, sejak tahap awal pelaksanaan, Thailand dan Malaysia menunjukkan keberatan untuk meningkatkan kapasitas ekspor ke Singapura.

Alasannya tak hanya soal teknis. Volume listrik yang diekspor relatif kecil yaitu hanya sekitar 100 megawatt, tidak sebanding dengan biaya tinggi operasional dan pemeliharaan sistem transmisi lintas negara. Selain itu, baik Thailand maupun Malaysia menghadapi tantangan pasokan domestik, sehingga enggan mengambil risiko pasokan listrik ke luar negeri.

Laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) serta kajian oleh lembaga riset regional menunjukkan bahwa negara-negara transit seperti Thailand dan Malaysia merasa menanggung beban lebih besar dibandingkan manfaat yang diterima. Mereka harus menjamin keandalan jaringan, menyesuaikan sistem kelistrikan lintas batas, hingga menanggung potensi ketidakseimbangan pasokan, sementara pendapatan yang diperoleh relatif kecil.

Namun situasi terkini tampaknya telah menciptakan momentum bagi perdagangan listrik lintas negara semacam ini. Permintaan energi hijau dari kalangan pelaku usaha dilaporkan meningkat. IEFFA melaporkan, dalam sebuah survei baru-baru ini terhadap pelaku industri di Indonesia, mayoritas menginginkan pasokan energi dari pembangkit listrik energi terbarukan. Banyak di antaranya yang mempertimbangkan relokasi jika Indonesia tidak bisa menyediakan energi terbarukan yang cukup.

Selain itu, ketegangan geopolitik membuat negara-negara mencari solusi untuk memastikan ketahanan energi termasuk keterjangkauan harganya. Dalam beberapa tahun belakangan, perang telah berulang kali menyebabkan gangguan pada pasokan minyak dan gas dunia, dan melambungkan harganya. Energi terbarukan bisa jadi alternatif solusi.

Pada Konferensi Energy Asia di Kuala Lumpur, pertengahan Juni 2025, Malaysia yang menjabat Ketua ASEAN, mendorong percepatan proyek ASEAN Power Grid. Langkah ini meliputi penyusunan MoU yang diperbarui akhir tahun ini, untuk menyelaraskan regulasi, standar teknis, dan struktur pembiayaan bersama. Malaysia menargetkan semua negara anggota menyetujui peta jalan tunggal untuk mewujudkan jaringan listrik terintegrasi penuh di ASEAN pada 2045.

Dalam pemetaan yang ada saat ini, terdapat 18 proyek interkoneksi jaringan listrik (grid-to-grid) di bawah ASEAN Power Grid. Mengacu pada presentasi Sekretariat ASEAN pada ASEAN Clean Energy Forum 2025 di Manila, Filipina, delapan di antaranya sudah selesai dibangun dan beroperasi secara komersial.

Namun, dengan Singapura membuka lebar-lebar keran untuk impor energi hijau, peta interkoneksi bisa berkembang. Sebagai contoh, ada rencana kabel listrik bawah laut sepanjang 4.300 kilometer dari Australia ke Singapura dan 1.000 kilometer dari Kamboja ke Singapura.  Dua proyek ini telah mendapatkan restu awal yaitu persetujuan bersyarat atau conditional approval dari otoritas energi Singapura (EMA). 

Perkembangan Proyek Integrasi Jaringan Listrik Asean atau ASEAN Power Grid

Indonesia Cari Strategi Agar Tidak Jadi "Halaman Belakang" Singapura

Pemerintah Indonesia sempat maju mundur dalam menyetujui proyek ekspor listrik hijau ke Singapura. Meski potensinya besar, baik dari sisi investasi maupun devisa, kekhawatiran bahwa Indonesia hanya akan menjadi penyedia lahan dan sinar matahari tanpa memiliki posisi strategis dalam nilai tambah proyek ini membayangi proses perundingan.

Ketika Singapura mengumumkan rencananya mengimpor listrik rendah karbon dari negara-negara tetangga, Indonesia bisa dibilang menjadi kandidat paling siap. Dekat secara geografis, Indonesia punya potensi energi terbarukan yang masif dari surya, air, hingga panas bumi. Namun, di Indonesia, pasokan listrik hijau masih minim.

Dengan situasi dalam negeri ini, ada kekhawatiran bahwa proyek ini akan lebih menguntungkan Singapura sebagai pusat ekonomi hijau ASEAN, sementara Indonesia hanya menjadi “halaman belakang”.

Dalam konferensi pers di Jakarta pada Mei lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa proyek ekspor ini harus dibangun atas dasar prinsip timbal balik. “Jangan kita gadaikan negara ini hanya karena urusan satu-dua perusahaan atau kelompok orang,” ujarnya.

Indonesia diketahui mengajukan sejumlah syarat. Pertama, panel surya yang digunakan dalam proyek ekspor ini harus diproduksi di dalam negeri. Pemerintah ingin proyek ekspor listrik ini menjadi pemantik bagi kelahiran industri manufaktur solar PV nasional, yang selama ini terseok karena minimnya permintaan domestik.

Kedua, sebagian listrik hijau dari proyek ekspor harus dialirkan ke dalam negeri. Alasannya strategis: Indonesia tengah bersaing memperebutkan investasi pusat data atau data center dan industri hijau lainnya, yang membutuhkan jaminan pasokan listrik rendah karbon. Bila seluruh pasokan energi bersih dialirkan ke Singapura, Indonesia bisa kehilangan peluang investasi miliaran dolar.

Ketiga, peran negara dalam kepemilikan infrastruktur kabel bawah laut. Sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, usaha penyediaan listrik mencakup pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik kepada konsumen dikuasai oleh negara. Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2023 mengukuhkan bahwa jaringan transmisi ketenagalistrikan harus dikuasai negara melalui BUMN, yaitu PLN. Artinya, kabel bawah laut yang menghubungkan pembangkit listrik di Indonesia ke Singapura tak bisa dikuasai perusahaan swasta atau asing. “Undang-undangnya menyatakan begitu,” kata pejabat di lingkaran pemerintahan kepada Katadata.

Sejauh ini, proyek pembangunan kabel transmisi, seperti yang direncanakan konsorsium Singapore Energy Interconnection (SGEI) dan Singa Renewables, belum menyertakan peran BUMN energi seperti PLN. Pemerintah dikabarkan tengah mengkaji jalan tengah berupa skema kerja sama. Misalnya, dengan memberi ruang bagi PLN atau anak usahanya untuk menjadi pemegang saham, atau menguasai aset jaringan yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.

Bila proyek perdagangan listrik lintas negara ini terealisasi dengan kapasitas 3,4 GW dan tarif ekspor 14 sampai 20 sen dolar AS per kilowatt-jam, IEEFA memperkirakan Indonesia bisa meraup devisa hingga US$6 miliar per tahun dan pajak penghasilan sebesar US$ 600 juta. Agar negara langsung memeroleh manfaat, IEEFA mendorong skema royalti per kilowatt-jam yang masuk ke kas negara.

Manfaat lain datang dari sisi industri. Target ekspor 2 GW diperkirakan menciptakan permintaan 11 GWp panel surya dan 21 GWh baterai penyimpanan. Ini bisa menghidupkan rantai industri manufaktur yang saat ini stagnan. Dengan kapasitas sebesar itu, proyek ini diproyeksikan menyerap hingga 80 ribu tenaga kerja, jauh lebih besar dibanding PLTS Cirata yang menyerap 1.400 pekerja dengan kapasitas hanya 192 MWp.

Namun, semua potensi ini bergantung pada kekuatan posisi tawar Indonesia dalam merancang kebijakan ekspor. IEEFA menekankan ada tiga prasyarat utama, yaitu penetapan kuota ekspor agar kebutuhan domestik tetap terpenuhi, tarif ekspor yang mencerminkan nilai keekonomian riil, dan pembagian manfaat kredit karbon yang adil. “Meski Singapura yang membeli listriknya, pembangkitnya berdiri di tanah Indonesia. Maka Indonesia berhak atas nilai emisi yang berhasil dikurangi,” kata Analis IEEFA Mutya Yustika.

Sebagai catatan, potensi keuntungan juga datang bersama sejumlah risiko. Salah satunya adalah dampak lingkungan dari limbah energi terbarukan. Laporan International Renewable Energy Agency (IRENA) tahun 2021 memperkirakan limbah panel surya global bisa mencapai 78 juta ton pada 2050. Proses daur ulangnya tak murah dan masih memerlukan investasi serta regulasi yang memadai. “Daur ulang panel surya dan baterai merupakan tantangan utama dalam menjaga keberlanjutan energi terbarukan, karena prosesnya kompleks dan mahal,” tulis IRENA dalam laporan End-of-Life Management: Solar Photovoltaic Panels yang dirilis pada 2021.

Proyek ekspor listrik ke Singapura bukan semata soal memasok energi hijau, tapi juga menyangkut siapa yang akan memegang kendali atas keuntungan dan siapa yang menanggung risikonya. Jika Indonesia tak hati-hati merancang skema kerja sama ini, bukan tidak mungkin negeri ini bisa terjebak menjadi lumbung surya semata—menyediakan lahan, tenaga kerja, dan menanggung limbah, sementara teknologi, industri bernilai tambah, dan aliran investasi justru berseliweran di negeri seberang.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini