Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Presiden Prabowo Subianto berpidato pada sesi Debat Umum di Sidang Majelis Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di New York, Amerika Serikat, pada 23 September 2025. "Dalam sidang ini, saya mendapat kehormatan untuk berbicara sebagai pembicara ketiga setelah Presiden Brasil dan Presiden Amerika Serikat," ujar Prabowo, dalam akun X-nya, pekan lalu.

Presiden Prabowo merupakan kepala negara Indonesia keenam yang akan berbicara dalam debat majelis umum PBB.

Sebelumnya, Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, Presiden Megawati, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pernah tampil di forum debat yang sama.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga pernah menghadiri acara yang sama, tetapi secara daring karena saat itu dunia sedang menghadapi wabah Covid-19. (lihat grafik: Tradisi Presiden RI di Majelis Umum PBB).

Pidato Presiden Prabowo di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 2025 diyakini akan menjadi momentum penting diplomasi Indonesia setelah satu dekade absen dari podium dunia.

Dari mimbar yang pernah digunakan Soekarno pada 1960, Prabowo membawa pesan politik, ekonomi, dan moral di tengah dunia yang diguncang perang, krisis iklim, dan rivalitas kekuatan besar.

Sebuah pidato di Sidang Majelis Umum PBB mungkin terdengar sederhana, tetapi gema kata-katanya bisa menentukan posisi Indonesia dalam sejarah.

Kehadiran Indonesia kali ini bukan sekadar simbol, melainkan ujian; mampukah negeri ini memanfaatkan peluang sebagai jembatan diplomasi negara-negara Utara-Selatan dan menjadi penyeimbang kekuatan-kekuatan global, sekaligus mengatasi rupa-rupa tantangan domestik?

Dari Soekarno ke Prabowo
Udara hangat musim gugur kota New York menyambut delegasi Presiden Indonesia Soekarno di kantor pusat PBB pada 65 tahun silam. Pada Jumat sore, 30 September 1960 itu, Presiden Soekarno saat itu akan menyampaikan pidato berjudul "To Build the World Anew".

Untuk pertama kalinya, setelah 10 tahun menjadi anggota PBB, Presiden Indonesia mendapat kesempatan menyampaikan pidato di depan para pemimpin dunia yang hadir dalam Sidang Majelis Umum PBB.

Tradisi Presiden RI di Majelis Umum PBB
Tradisi Presiden RI di Majelis Umum PBB (Katadata)

Didampingi oleh ajudan kepercayaannya, Letnan Kolonel (CPM) M. Sabur Suryadinata, Presiden Soekarno berpidato dengan sangat percaya diri.

Dia menyerukan tatanan global yang lebih adil bagi negara-negara yang baru merdeka di Asia dan Afrika. Di tengah mulainya perlombaan pengembangan senjata nuklir dan bom hidrogen, Presiden Soekarno menekankan perlunya pembatasan dan pelucutan senjata.

Build the world anew. Build it solid and strong and sane. Build that world in which all nations exist in peace and brotherhood. Build the world fit for the dreams and the ideals of humanity. Break now with the past, for the day is at its dawning,” Presiden Soekarno berpidato.

Pidato Presiden Soekarno itu tercatat sebagai salah satu orasi paling monumental dalam sejarah Sidang Majelis Umum PBB, disejajarkan dengan pidato Nelson Mandela atau John F. Kennedy. Dua tahun lalu, Organisasi PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO) menetapkan naskah pidato To Build the World Anew sebagai arsip Warisan Dunia (Memory of the World).

Setiap bulan September, kota New York menjadi panggung politik terbesar dunia. Di Markas Besar PBB, Sidang Majelis Umum PBB mempertemukan 193 negara anggota, dari kekuatan super hingga negara-negara kecil yang jarang terdengar suaranya.

Podium Sidang Majelis Umum PBB sederhana bentuknya, mikrofon hitam di atas meja kayu, tetapi bobotnya luar biasa. Dari podium itulah arah politik global kerap diubah, persepsi publik dunia dibentuk, dan legitimasi internasional dipertaruhkan.

Setelah Bung Karno, para presiden Indonesia juga pernah tampil di podium PBB. Presiden kedua Indonesia, Soeharto, misalnya, tampil di Sidang Majelis Umum PBB ke-47 pada 1992. Pidatonya saat itu secara tegas menekankan peran sentral Indonesia dalam Gerakan Non-Blok.

Presiden Soeharto menggarisbawahi pentingnya kemandirian negara-negara berkembang dan menyerukan kerja sama pembangunan global yang lebih adil di tengah ketegangan Perang Dingin.

Presiden Megawati Soekarnoputri hadir di Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 2003. Fokus utama pidatonya adalah reformasi PBB dan isu pemberantasan terorisme, terutama setelah tragedi 9/11 yang mengguncang dunia.

Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar, memiliki peran penting dalam menyuarakan perdamaian dan menentang ekstremisme.

Di era Presiden SBY, kehadiran Indonesia di Sidang Majelis Umum PBB semakin konsisten dan aktif. SBY berbicara hampir setiap tahun, mengaitkan posisi Indonesia di Sidang Majelis Umum PBB dengan agenda global seperti perubahan iklim, demokrasi, serta kerja sama pembangunan melalui forum G20.

Namun, pada era kepemimpinan Jokowi, terjadi pergeseran signifikan dalam prioritas diplomasi. Presiden Indonesia absen selama 10 tahun penuh dari podium Sidang Majelis Umum PBB.

Jokowi memilih untuk fokus pada forum bilateral, ASEAN, dan G20, arena yang dianggapnya lebih langsung berkaitan dengan kepentingan ekonomi dan pembangunan domestik Indonesia.

Kini, 65 tahun setelah pidato legendaris Bung Karno, Presiden Prabowo berdiri di podium yang sama. Kehadirannya bukan hanya mengakhiri absensi panjang itu, tetapi juga menandai kembalinya Indonesia ke forum multilateral terbesar dunia.

Menurut Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Presiden Prabowo dijadwalkan menyampaikan pidato pada dalam sesi Debat Umum setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Sesuai tradisi, pidato Presiden Brasil dan Presiden Amerika Serikat menempati urutan pertama dan kedua.

“Sidang Majelis Umum tahun ini menjadi momentum penting bagi Indonesia, tidak hanya untuk kembali tampil di level tertinggi pada forum PBB, namun juga untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai pemimpin Global South yang konsisten menyuarakan agenda reformasi tata kelola dunia yang lebih adil dan inklusif,” kata Teddy.

Lebih dari Sekadar Seremoni
Sidang Majelis Umum PBB sering dipandang sebelah mata. Banyak pihak menilai forum ini seremonial belaka karena resolusinya tidak mengikat. Sementara keputusan substantif kerap macet di Dewan Keamanan akibat hak veto negara besar.

Kritik makin tajam setelah PBB gagal menghentikan perang Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung sejak 2022, dan tidak berdaya menghadapi tragedi kemanusiaan di Gaza yang menewaskan lebih dari 60.000 orang sejak 2023, menurut data Kementerian Kesehatan Palestina.

Namun, di balik semua keterbatasannya, Sidang Majelis Umum PBB tetaplah satu-satunya forum global di mana semua negara duduk sejajar tanpa hak veto. Dari 193 kursi, suara negara besar dan negara kecil sama bobotnya. Di sinilah negara berkembang bisa mengajukan isu, membentuk koalisi, dan merebut perhatian dunia.

Pidato di Sidang Majelis Umum PBB bukan sekadar formalitas, melainkan etalase global. Pernyataan yang disampaikan di podium itu disiarkan ke seluruh dunia, dikutip media internasional, dan dianalisis investor maupun lembaga keuangan global.

Narasi yang dibangun bisa membentuk citra jangka panjang; apakah sebuah negara dilihat sebagai pemimpin moral, mitra ekonomi yang menjanjikan, atau sekadar pengikut.

Sejarah membuktikan hal ini. Pada 1974, Yasser Arafat berbicara di Sidang Majelis Umum PBB mewakili Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Beberapa minggu kemudian, PBB mengesahkan resolusi yang memberi PLO status pengamat resmi. Ini merupakan sebuah pengakuan politik penting bagi perjuangan Palestina.

Empat dekade berlalu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menggunakan pidato di Sidang Majelis Umum PBB 2023 untuk menggalang dukungan internasional melawan invasi Rusia. Meski resolusi tidak mengikat, namun dampaknya nyata. Lebih dari 140 negara mendukung resolusi mengecam agresi Rusia.

Bagi Indonesia, tampil di podium Sidang Majelis Umum PBB bukan sekadar tradisi, melainkan sebagai sarana mempertegas identitas, yaitu bangsa anti-kolonialisme, pro-keadilan, dan penyeimbang geopolitik.

Menanggapi peristiwa bersejarah ini, Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal menilai pidato Presiden Prabowo di Sidang Majelis Umum PBB 2025 merupakan big deal dalam perjalanan diplomasi Indonesia. Hal itu disampaikan Dino melalui akun X @dinopattidjalal pada 23 Agustus 2025.

Dino menekankan, momen ini adalah kesempatan emas untuk mengemukakan visi tentang “tatanan dunia baru” yang lebih relevan, menggantikan sistem lama yang semakin rapuh. Ia juga mengingatkan pentingnya menyusun pesan yang konstruktif, membumi, dan sesuai isu global terkini, mulai dari geopolitik, perubahan iklim, hingga masa depan multilateralisme.

Menurut Dino, pidato Presiden Prabowo bisa disejajarkan bobotnya dengan orasi legendaris Bung Karno tahun 1960, terutama bila ia mampu menunjukkan arah kepemimpinan Indonesia sebagai kekuatan menengah yang mampu menjembatani kepentingan antara negara-negara Utara dan Selatan.

Pandangan senada datang dari Prof. Dr. Makarim Wibisono, Duta Besar RI untuk PBB periode 2004–2007. Dalam wawancaranya dengan TV One pada 12 September 2025, Prof. Makarim menyebut kehadiran Presiden Prabowo di New York sebagai momentum bersejarah.

Dia mengatakan, Sidang Majelis Umum PBB kali ini diselenggarakan pada saat dunia berada dalam kondisi tidak stabil dengan ketegangan global yang meningkat, sementara multilateralisme justru melemah.

Menurutnya, pidato ini adalah kesempatan berharga untuk menegaskan peran Indonesia dalam memperjuangkan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sesuai amanat konstitusi. Ia menekankan bahwa nilai-nilai Asta Cita dan semangat Bandung 1955 perlu diangkat untuk membangkitkan kembali peran Global South.

Jejak Soemitro di Panggung PBB
Perjalanan Presiden Prabowo ke Sidang Majelis Umum PBB mengingatkan kembali pada peran diplomasi sang ayah, Soemitro Djojohadikusumo, setelah Indonesia merdeka. Sebagai ekonom sekaligus diplomat, Soemitro menghadapi jalan berliku untuk memastikan suara Indonesia terdengar di forum dunia dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Buku Sumitro Djojohadikusumo Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (Hendra Esmara & Heru Cahyono, 2000) menceritakan bahwa pada awal 1946, Soemitro bersama diplomat Zairin Zain hanya bisa masuk ke Sidang Dewan Keamanan PBB dengan status “penasihat ahli” dalam delegasi Belanda.

Posisi yang kontradiktif itu ia manfaatkan untuk mengamati jalannya perdebatan mengenai Indonesia, sekaligus melaporkan langsung dinamika sidang kepada Perdana Menteri Sutan Sjahrir di Jakarta.

Ia menyadari bahwa ketiadaan wakil resmi Republik membuat posisi Indonesia rapuh, sehingga sejak saat itu ia bertekad memperjuangkan agar suara Indonesia terdengar di forum dunia.

Soemitro Djojohadikusumo, ayah Presiden Prabowo.
Soemitro Djojohadikusumo, ayah Presiden Prabowo. (ISTIMEWA)

Menurut catatan Dirgayuza Setiawan, Staf Khusus Presiden Prabowo yang juga seorang penulis, saat usia Soemitro baru 31 tahun, ia tampil sebagai Acting Head of the Indonesian Delegation to the United Nations (Wakil Ketua Delegasi Indonesia di PBB) pada Desember 1948.

Saat itu, Belanda tengah melancarkan Agresi Militer II di Indonesia, padahal ekonomi dalam negerinya sendiri masih sangat rapuh. Belum pulih dari kehancuran akibat Perang Dunia II. Perekonomian Belanda bertahan berkat kucuran dana Marshall Plan dari Amerika Serikat, yang ironisnya diselewengkan untuk membiayai operasi militer di Indonesia.

Menyadari situasi itu, Presiden Soekarno menugaskan Soemitro untuk melobi Washington D.C. dan PBB. Dalam sebuah pledoi yang dimuat The New York Times pada 21 Desember 1948, Soemitro menegaskan bahwa satu-satunya jalan bagi Republik Indonesia adalah hidup sebagai negara merdeka, dan meminta agar pemerintah AS segera menghentikan aliran dolar bantuan kepada Belanda.

Tekanan diplomatik ini berhasil. Menteri Luar Negeri AS Robert A. Lovett akhirnya memutus aliran dana ke Belanda. Tanpa dana itu, Belanda dipaksa berunding, hingga lahir Konferensi Meja Bundar pada 1949 yang menandai pengakuan kedaulatan Indonesia.

Keberhasilan Soemitro menunjukkan kekuatan narasi dan diplomasi dalam politik luar negeri Indonesia. Dengan kecerdikan bernegosiasi, ia mampu membalikkan situasi internasional yang semula tidak berpihak pada Republik Indonesia yang masih sangat muda.

Inilah warisan diplomasi yang kini melekat pada Presiden Prabowo. Jika sang ayah dulu memperjuangkan pengakuan kemerdekaan, maka putranya kini berupaya memperjuangkan pengakuan Indonesia sebagai kekuatan global yang relevan.

Presiden Prabowo Pidato di Sidang Majelis Umum PBB, Apa Pentingnya?
Dalam dokumen visi dan misi Asta Cita, Presiden Prabowo telah menetapkan arah diplomasi Indonesia. Di antaranya, memantapkan supremasi dan kepemimpinan Indonesia di tingkat global di tengah dinamika geopolitik internasional melalui diplomasi yang berdasarkan atas asas bebas-aktif dan memperkuat dukungan diplomasi terhadap upaya kemerdekaan dan kedaulatan Palestina.

Hari ini, situasi di Palestina sedang gawat. Sidang Majelis Umum PBB akan menjadi ‘ujian’ bagi PBB bagaimana mengatasi krisis kemanusiaan di Gaza, Palestina, yang sedang menjadi sorotan seluruh dunia. Tri Tharyat, Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri mengatakan materi pidato Presiden Prabowo belum bisa diungkap semua.

Selain krisis di Palestina dan masalah di Timur Tengah, menurut Tri Tharyat, Presiden Prabowo akan mendorong peran yang lebih besar bagi negara-negara global south. Duta Besar RI untuk PBB Umar Hadi mengatakan kehadiran Prabowo di New York juga menegaskan kembali komitmen Indonesia terhadap multilateralisme.

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato pada Konferensi Internasional Tingkat Tinggi untuk Penyelesaian Damai Masalah Palestina dan Implementasi
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato pada Konferensi Internasional Tingkat Tinggi untuk Penyelesaian Damai Masalah Palestina dan Implementasi (UN Photo)

Fokus Indonesia pada isu Palestina dan perdamaian di Sidang Majelis Umum PBB bukan hanya sikap moral, melainkan strategi menjaga stabilitas energi dan logistik global, ujar Rezki Sri Wibowo, Managing Director Arghajata Consulting, pada Katadata, 20 September 2025.

Ia menilai, Timur Tengah adalah simpul utama geoekonomi dunia. Kawasan ini menguasai pasokan minyak dan gas sekaligus jalur pelayaran vital dari Suez hingga Selat Hormuz.

"Setiap ketegangan di kawasan segera tercermin pada harga energi dan biaya logistik. Bagi Indonesia, importir migas besar, implikasinya langsung terasa pada inflasi, ongkos transportasi, dan neraca perdagangan,” ia menambahkan. Menurutnya, di titik ini, politik luar negeri bebas aktif diterjemahkan lebih asertif.

Rezki mengatakan bahwa usulan pengiriman pasukan perdamaian ke Gaza dan dukungan solusi dua negara di Palestina adalah instrumen diplomasi dengan makna ganda, yaitu menjaga perdamaian sekaligus meredam gejolak pasar energi.

“Stabilitas politik menurunkan premi risiko energi. Sementara, eskalasi justru membuat harga minyak melonjak, apalagi menjelang musim dingin ketika permintaan global meningkat,” ia melanjutkan.

Namun, menjaga kepentingan nasional saja tidak cukup. Rezki menekankan bahwa Indonesia perlu memastikan national interest bisa berjalan seiring dengan tatanan dunia.

"Konsep ini sejalan dengan teori two-level game Robert Putnam, yang menjelaskan bagaimana kebijakan luar negeri selalu merupakan hasil tawar-menawar di dua arena, yaitu domestik dan internasional,” kata dia.

Bagi Indonesia, hal ini berarti setiap langkah diplomasi, mulai dari isu Palestina, energi, hingga perubahan iklim, harus sekaligus memperkuat stabilitas ekonomi dalam negeri dan meningkatkan posisi di percaturan global.

Dalam dunia yang semakin terhubung, krisis energi di Timur Tengah atau kebijakan iklim di Eropa bisa segera berdampak pada harga pangan, ongkos produksi, dan neraca perdagangan di Indonesia.

“Karena itu, politik bebas aktif di era sekarang tidak lagi cukup dimaknai sebagai sikap netral, melainkan harus diwujudkan dalam keterlibatan aktif yang mampu menyinergikan kepentingan domestik dengan agenda global,” ujar Rezki.

Jika dijalankan secara konsisten, Indonesia berpotensi tampil sebagai middle power yang bukan hanya menjembatani jurang diplomasi antara Utara dan Selatan, tetapi juga memperkuat posisinya di tengah rivalitas dan dominasi kekuatan-kekuatan besar dunia.

Tantangan dan Peluang
Kembalinya Indonesia ke panggung Sidang Majelis Umum PBB melalui pidato Presiden Prabowo membuka ruang harapan, tetapi sekaligus menyingkap jalan terjal yang harus dilalui.

Peran lebih menonjol di level global menuntut keseimbangan antara ambisi besar dan kapasitas nyata, antara kepentingan domestik dan tatanan internasional.

Tantangan pertama adalah geopolitik. Rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik semakin tajam. Indonesia harus cermat menjaga posisi netral tanpa kehilangan peluang ekonomi dan keamanan.

Krisis global, mulai dari perang Rusia-Ukraina hingga konflik Gaza, juga menuntut Indonesia untuk bersuara lebih lantang, meski pengaruh nyata kerap terbatas.

Geopolitik semakin rumit dengan meningkatnya peran Rusia dalam percaturan global, terutama melalui perang di Ukraina dan keterlibatannya dalam blok ekonomi-politik BRICS.

“Hari ini kita tidak lagi mendayung di antara dua “pulau”, tapi tiga, yaitu Amerika, Tiongkok, dan Rusia. Kompleksitasnya jauh lebih tinggi,” ujar Rezki.

Ia menambahkan bahwa di tengah dinamika itu semua, Indonesia tetap punya keunggulan karena pasarnya besar dan relatif terbuka. “Inilah daya tarik utama yang membuat kita relevan di mata kekuatan global.”

Menurut Rezki, Indonesia juga dihadapkan pada pilihan strategis untuk menyeimbangkan peran dalam forum multilateral seperti PBB dan BRICS guna memperoleh legitimasi politik serta akses pendanaan.

Pada saat yang sama, Indonesia perlu memperkuat diplomasi bilateral yang lebih konkret dalam perdagangan dan investasi dengan mitra utama seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa.

Tantangan kedua adalah domestik. Bonus demografi, kebutuhan infrastruktur, dan ketahanan pangan masih menjadi pekerjaan rumah. Jika masalah internal ini tak ditangani, kredibilitas Indonesia di dunia bisa tergerus.

Meskipun begitu, peluang yang terbuka juga besar.

Rezki mengatakan, secara geografis, Indonesia terletak di jantung Indo-Pasifik, menguasai jalur laut vital yang menjadi urat nadi perdagangan global karena sekitar 40% perdagangan dunia melewati Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. “Hal ini menjadikan Indonesia pemain kunci dalam perdagangan global,” lanjutnya.

Secara politik, Indonesia adalah anggota G20, pemimpin ASEAN, dan demokrasi terbesar ketiga di dunia.  Secara ekonomi, dengan PDB US$1,43 triliun dan bonus demografi lebih dari 190 juta penduduk usia produktif, Indonesia memiliki potensi luar biasa.

Modal ini memberi peluang bagi Indonesia untuk memainkan tiga peran sekaligus, yaitu sebagai jembatan Utara–Selatan, penyeimbang rivalitas global, dan suara moral dunia.

Selain itu, peran Indonesia dalam isu perubahan iklim semakin menonjol berkat hutan tropis yang berfungsi sebagai paru-paru dunia serta cadangan nikel yang menjadi kunci transisi energi.

Potensi ini memberi Indonesia nilai strategis dalam diplomasi hijau dan membuka peluang untuk terlibat lebih besar dalam agenda energi bersih global.

Namun, tantangan transisi energi global tidak sederhana. “Sekarang Eropa ingin semua mobil beralih ke listrik, tapi produsen terbesar justru datang dari Tiongkok seperti BYD,” kata Rezki. Ia menambahkan, ”Itu menunjukkan transisi energi global penuh persaingan teknologi dan rantai pasok yang ketat.”

Bagi Indonesia, kondisi ini sekaligus menjadi peluang. Dengan cadangan nikel yang melimpah dan pasar domestik yang besar, Indonesia bisa memposisikan diri sebagai bagian penting dari solusi rantai pasok kendaraan listrik dunia.

Rezki mengatakan, “Ketika isu global seperti perubahan iklim atau transisi energi dibahas, Indonesia sebenarnya tidak berada di pinggiran. Kita punya posisi tawar karena menyimpan sumber daya yang dibutuhkan dunia.”

Kombinasi antara tantangan dan peluang inilah yang memberikan konteks baru bagi diplomasi Indonesia.

Semakin kompleks dunia, semakin besar pula ruang bagi Indonesia untuk tampil sebagai penengah dan suara moral bagi negara berkembang.

Namun, seberapa jauh visi tersebut dapat diwujudkan akan sangat ditentukan oleh konsistensi kebijakan luar negeri Indonesia ke depan. Ini adalah sebuah ujian yang akan membuka babak baru dalam diplomasi Indonesia.

Menuju Babak Baru Diplomasi
Pidato Presiden Prabowo di PBB bukan sekadar menandai kembalinya Indonesia setelah satu dekade absen, melainkan membuka babak baru diplomasi di era dunia multipolar.

Dengan segala modal yang dimiliki Indonesia, mulai dari posisi geografis yang strategis, keanggotaan G20, hingga kepemimpinan di ASEAN, negara ini kini diharapkan bukan hanya hadir, tetapi juga menentukan arah percakapan global.

Tantangan terbesar bukan lagi soal apakah Indonesia mampu berbicara, melainkan apakah ucapannya bisa diterjemahkan menjadi tindakan nyata. Dengan demikian, podium PBB hanyalah awal.

Pekerjaan sesungguhnya ada di luar gedung Markas Besar PBB; di ruang negosiasi perdagangan, forum energi, meja perdamaian, hingga proyek pembangunan di kawasan.

Inilah ujian bagi Presiden Prabowo dan Indonesia. Mampukah pidato bertransformasi menjadi arah kebijakan luar negeri yang konsisten, kredibel, dan diakui dunia?

Pada akhirnya, gema mikrofon PBB akan memudar setelah sorotan kamera padam.

Tetapi bila kata-kata di podium itu menjelma aksi nyata, Indonesia bukan hanya menjadi pengisi daftar pidato tahunan, melainkan benar-benar bagian dari arsitek tatanan dunia baru.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini