Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Di antara hamparan lahan gambut sejauh mata memandang, sebuah pabrik albumin berdiri tak jauh di tepian Sungai Katingan di Kalimantan tengah. Bangunan itu tampak sederhana. Tiang-tiang kayu menopang atapnya yang dilapisi lembaran panel surya. Tak jauh dari pabrik, sebuah aula juga dibangun sebagai tempat berlindung ketika air Sungai Katingan meluap.

“Desa Tampelas itu memang langganan banjir. Aula ini akan jadi tempat berlindung warga,” kata Rezal Kusumaatmadja, COO PT Rimba Makmur Utama (RMU), pemilik pabrik itu saat berkunjung ke Katadata, September silam. 

Tidak seperti pabrik pada umumnya yang mentereng dan beroperasi di kawasan industri, pabrik milik RMU itu dibangun di desa terpencil bernama Tampelas. Desa ini terletak di tepian Taman Nasional Sebangau di Kabupaten Katingan, dengan akses listrik dari genset komunal yang hanya beroperasi mulai pukul 17.00 hingga 00.00.

Membangun pabrik di tempat semacam ini tentu bukan hal mudah. Lembaran panel surya yang kini menghiasi Desa Tampelas merupakan hasil kolaborasi RMU dengan PT Arya Watala Capital. Selain untuk kebutuhan listrik warga, pembangkit surya ini juga akan menjadi tulang punggung pabrik anyar itu.

Di Tempalas, ikan gabus serupa berkah. Spesies lokal ini sudah lama menjadi mata pencarian favorit warga untuk dibudidaya. Ikan ini hidup bebas di sungai, kanal, dan rawa yang membelah lahan gambut di Katingan. Dalam tradisi masyarakat, ikan gabus tidak hanya dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan perut semata. Ikan ini juga dipercaya punya khasiat menyembuhkan luka pasca operasi.

Kearifan lokal ini ada benarnya. Ikan gabus mengandung albumin, satu jenis protein unik yang punya segudang manfaat. Albumin sejatinya diproduksi oleh hati manusia. Namun, kondisi tertentu seperti pasca-operasi produksinya merosot, membuat tubuh membutuhkan suplai albumin lewat konsumsi obat dan makanan.

Albumin adalah primadona baru di kancah farmasi, dan ikan gabus adalah cara terbaik untuk menghasilkannya. Rezal menuturkan pabrik albumin di Tampelas memiliki kapasitas 500 ton gabus setiap bulan. Saat ini, perusahaan sedang mengajukan perizinan untuk bisa beroperasi.

Menurut Rezal, Tampelas merupakan satu dari 35 desa yang menjadi mitra RMU di proyek konservasi Katingan-Mentaya. Ini adalah upaya restorasi dan konservasi lahan gambut seluas 149.800 hektare, salah satu yang terluas di dunia. Selama bertahun-tahun, RMU memulihkan lahan kritis gambut di jantung Borneo dengan imbalan berupa kredit karbon. Perusahaan multinasional seperti Shell lantas memberi kredit karbon ini kepada RMU dengan harga US$5 per ton CO2 ekuivalen. Hasil penjualan kredit karbon inilah yang dipakai oleh RMU untuk melanjutkan upaya konservasi.

Model bisnis semacam ini kian umum dijalankan di banyak tempat. Di Bujang Raba, Jambi, Yayasan KKI Warsi melakukan upaya serupa. Mereka berhasil mengubah penduduk sekitar yang sebelumnya mencari nafkah sebagai pembalak, kini menjadi penjaga hutan. 

Hingga pada 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan moratorium perdagangan karbon. Ini membuat proyek–proyek konservasi seperti Katingan-Mentaya dan Bujang Raba kehilangan pemasukan untuk melanjutkan upaya pemulihan.

“Selama ini kami mantab,” kata Rezal tertawa. “Makan tabungan,”.

Pabrik albumin akan menjadi salah satu upaya PT RMU untuk melanjutkan upaya konservasi dan pemberdayaan masyarakat, meskipun hingga saat ini belum ada kejelasan soal nasib pasar karbon sukarela. 

Hal senada juga diungkapkan oleh Emmy Primadona, Koordinator KKI Warsi di Bujang Raba mengatakan moratorium perdagangan karbon sukarela membuat pemasukan masyarakat menurun. Padahal sebelumnya, Bujang Raba bisa memperoleh hingga US$1 juta dari hasil perdagangan karbon. 

“Cenderung stuck pasca pilpres,” kata Emmy, Koordinator KKI Warsi di Bujang Raba, Jambi kepada Katadata beberapa waktu lalu. 

Pabrik albumin di Desa Tampelas milik PT RMU
Pabrik albumin di Desa Tampelas milik PT RMU (PT Rimba Makmur Utama)
 
 

Bursa Karbon Lesu

Indonesia sebetulnya sudah mengembangkan bursa karbon melalui Indonesia Carbon Exchange. Namun, sejak diluncurkan pada September 2023 baru delapan proyek karbon yang terdaftar di IDX dengan nilai transaksi Rp78 miliar yang melibatkan 1,6 juta CO2 ekuivalen. Sebagian besar berupa proyek energi efisiensi, energi terbarukan dan pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit

Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono, menyebut ada kesenjangan antara permintaan kredit karbon dengan ketersediaannya di Indonesia. Salah satu tantangan ini adalah belum adanya produk removal carbon credit di IDX Carbon.  Ini adalah mekanisme mitigasi perubahan iklim yang bertujuan menghilangkan CO2 di atmosfer dan menyimpannya melalui proyek restorasi hutan atau Carbon Capture and Storage (CCS). 

Denny mengatakan perusahaan-perusahaan besar cenderung berani membayar mahal kredit karbon selama tergolong berintegritas tinggi. Dalam perdagangan karbon, proyek removal cenderung bernilai lebih tinggi ketimbang proyek energi terbarukan. 

“Removal carbon credit belum ada di kita (IDX Carbon). Sebenarnya itu salah satu yang demand-nya besar,” kata Denny kepada Katadata, September silam. 

 saat ditemui usai diskusi di Katadata Sustainable Action for the Future Economy (SAFE) 2025 di Jakarta, Rabu (10/9). Meski sekarang masih menjadi tantangan, Denny optimistis jenis karbon ini akan banyak diminati ketika terbit nanti.  

Potensi karbon biru Indonesia
Potensi karbon biru Indonesia (ANTARA FOTO/Makna Zaezar)

Revisi Perpres NEK

Sementara itu di Jakarta, pemerintah saat ini sedang menyusun revisi Peraturan Presiden No.98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Salah satu isu yang mengemuka berupa pembentukan Badan Pengelola Ekonomi Karbon. Ini serupa lembaga negara non-kementerian bertugas mengelola perdagangan termasuk offset emisi dan Pembayaran Berbasis Kinerja (Result Based-Payment/RBP). Lembaga baru ini juga akan mengelola carbon registry yang disebut Sistem Registrasi Unit Karbon (SRUK).

Deputi Bidang Keterjangkauan dan Keamanan Pangan Kemenko Pangan Nani Hendiarti mengatakan aspek-aspek penting revisi sudah dibahas selama setahun terakhir. Revisi beleid ini akan memasukkan beberapa poin krusial seperti perdagangan internasional hingga perdagangan sukarela seperti model bisnis PT Rimba Makmur Utama.

“Masih finalisasi. Targetnya sebelum COP30 di Brasil [10-21 November 2025],” katanya kepada Katadata.

Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup juga sudah mulai menyiapkan sejumlah langkah penting. Salah satunya berupa penandatanganan Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan lembaga standarisasi internasional seperti Verra, Gold Standard, Plan Vivo, dan Global Carbon Council.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyatakan potensi volume perdagangan karbon Indonesia semakin besar setelah penandatanganan MRA dengan Verra. Kementerian telah mengidentifikasi sejumlah pengembang proyek di bawah skema Verra yang berpotensi menjadi mitra dalam implementasi multi-skema perdagangan karbon.  

Beberapa proyek yang disiapkan adalah PT Nusantara Raya Solusi, PT Global Alam Nusantara, PT The Best One Unitimber, PT Gemilang Cipta Nusantara, PT Sinar Mutiara Nusantara, PT Rimba Makmur Raya (Unit I & II), PT Mohairson Pawan Khatulistiwa, PT Menggala Rambu Utama, dan PT Annisa Surya Kencana. 

“Dari daftar tersebut, rata-rata potensi unit karbon tahunan mencapai 17,27 juta ton CO2 ekuivalen dengan target penerbitan hingga pertengahan 2026. Bahkan sebagian pengembang sudah menjalin perjanjian komersial dengan Shell,” ujar Hanif dalam peresmian MRA dengan Verra Jumat (3/10). 

Selain itu, berdasarkan data Gold Standard, tercatat ada 29 proyek dengan 19 proyek telah memperoleh sertifikasi desain, yang secara kumulatif telah menerbitkan sekitar 4,6 juta ton kredit karbon CO2 ekuivalen.

Sementara itu, Chairman Indonesian Trade Association (IDCTA) Riza Suarga mengatakan pasar karbon sukarela tidak diatur dalam Perpres No.98/2021. Selain itu meskipun Kementerian LH sudah menekan MRA dengan sejumlah lembaga, ia menilai hal tersebut belum mencukupi untuk mendorong pasar karbon seperti sebelum moratorium.

“MRA itu kan konteksnya bukan voluntary, tapi compliance,” katanya kepada Katadata.

Riza berharap pemerintah segera membuka kembali perdagangan karbon sukarela yang selama ini dihentikan. Ia menyebut proyek-proyek karbon berbasis konservasi hutan sebetulnya masih terus berjalan meskipun belum ada pemasukan. Ia mengakui semenjak moratorium, sudah banyak mengeluarkan investasi untuk biaya operasional dan upaya konservasi. 

“Masih puasa. Tapi kita jalan terus karena yakin akan beres,” katanya. 

Riza juga menepis kekhawatiran beberapa pihak bahwa perdagangan sukarela akan membuat Indonesia kesulitan mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) karena menjual kredit karbon ke perusahaan asing. Ia menyebut kredit karbon yang dijual ke Shell dan didaftarkan di Verra misalnya, tidak bisa diklaim oleh negara pembeli. Pasalnya, kredit karbon dalam NDC hanya bisa berpindah ke negara lain jika ada perjanjian bilateral dan letter of authorization. 

“Pasar karbon sukarela itu justru menguntungkan kita. Kredit karbonnya kita jual, tapi sebenarnya masih punya kita. Bisa dicatat untuk capaian NDC,” kata Rezal Kusumaatmadja, bersepakat dengan pernyataan Riza. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas, Nuzulia Nur Rahmah

Cek juga data ini