Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Proyek listrik dari sampah atau Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) memasuki babak baru. Awal bulan ini, Badan Pengelola Investasi Danantara mengumumkan 24 perusahaan yang lolos sebagai Badan Usaha Pengembang dan Pengelola Sampah Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan Menjadi Energi Listrik (BUPP PSEL).

Perusahaan-perusahaan itu terpilih dari lebih dari 200 peminat dari berbagai negara. “Banyak yang melihat ini sebagai opportunity yang bagus, dan juga impact social-nya besar,” ujar Stefanus Ade Hadiwidjaja, Managing Director Investment Danantara, Senin, 3 November.

Seleksi itu merupakan bagian dari proses pembentukan Daftar Penyedia Terseleksi (DPT). Perusahaan-perusahaan yang lolos nantinya akan berperan dalam proyek PSEL tahap pertama di tujuh wilayah aglomerasi. Ini mencakup Bali; Yogyakarta dan sekitarnya; Bogor Raya; Tangerang Raya; Kota Semarang; Bekasi Raya; serta Medan Raya yang meliputi Kota Medan dan sekitarnya.

Perusahaan yang lolos seluruhnya berasal dari Cina dan Jepang. Stefanus menjelaskan, kedua negara tersebut dinilai punya rekam jejak serta teknologi paling kuat dalam konversi sampah menjadi listrik.

Ia menambahkan, perusahaan-perusahaan ini dapat  bermitra dengan pihak lokal, baik BUMN, BUMD, maupun swasta. Mereka juga diberikan pilihan untuk mengikuti tender di seluruh aglomerasi atau hanya memilih satu wilayah saja. Pemerintah berharap pengalaman ini bakal mendorong pengelolaan sampah beralih dari beban lingkungan menjadi sumber energi yang lebih berkelanjutan.

Sebelumnya, pada 10 Oktober, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025. Aturan itu menjadi landasan utama percepatan proyek PSEL. Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq menyebut Perpres tersebut menandai langkah transformatif pengelolaan sampah.

“Kami ingin memastikan timbulan sampah dapat diolah sesuai dengan kaidah lingkungan yang baik dan energi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan,” kata Hanif, 15 Oktober.

Perpres PSEL pun memberikan dukungan berupa percepatan perizinan, kewajiban pemerintah daerah menyediakan lokasi dan pasokan sampah minimal, serta dukungan investasi lewat Danantara.

Timbulan Sampah Menggunung

PSEL menjadi salah satu proyek strategis nasional untuk mengatasi krisis sampah sekaligus memperkuat bauran energi bersih. Pada tahap selanjutnya, pemerintah menargetkan pembangunan 33 unit PSEL di berbagai daerah, dengan kebutuhan investasi nasional ditaksir mencapai Rp91 triliun.

Landasan PSEL muncul dari kondisi darurat sampah yang dihadapi banyak daerah di negara ini. Dalam Rakornas Pengolah Sampah Menjadi Energi, 30 September lalu, CEO Danantara Rosan Roeslani menyebut Indonesia menghasilkan 35 juta ton sampah per tahun.

Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), pada 2024, Indonesia menghasilkan sekitar 36,8 juta timbulan sampah. Dari jumlah itu, hanya 32,3% sampah yang berhasil dikelola. Sampah yang tersisa, sekitar 25 juta ton (67,7%), tidak terkelola.

Sampah yang tak terkelola itu mau tak mau berakhir menjadi masalah. Dalam laporan Katadata sebelumnya, sampah tak terkelola menjadi biang kerok pencemaran mikroplastik di atmosfer.

Jika semua unit PSEL mampu mengelola 33.000 ton sampah per hari, berarti bakal ada tambahan sekitar 12 juta ton sampah terkelola. Jika dibentangkan trennya sejak 2019, negara ini rata-rata mencetak timbulan sampah sekira 33,7 juta ton per tahun. Artinya, kalau berhasil, PSEL bisa menyerap sekitar 35% timbulan untuk dikelola menjadi listrik.

Nah, setiap unit PSEL diperkirakan bisa mengolah sekitar 1.000 ton sampah per hari. Pemerintah menaksir ini akan menghasilkan hingga 15 megawatt listrik per hari per unit. Jika diakumulasi total, proyek ini bisa menghasilkan 4,34 TWh per tahun dari seluruh unit terbentuk.

Rosan mengatakan program Waste-to-Energy (WtE) ini bisa menjadi solusi menggunungnya sampah sekaligus upaya pengembangan EBT. “Darurat sampah ini sudah semakin luar biasa,” katanya.

Selain modal investasi, pendapatan unit PSEL juga berasal dari penjualan listrik ke PLN, yang diwajibkan membeli listrik dari PSEL dengan tarif US$0,20 per kWh, setara Rp3.350. Ini sebetulnya jauh lebih mahal dari harga jual listrik PLN selama ini. Sepanjang kuartal-IV 2025, misalnya, tarif listrik yang dikenakan PLN kepada konsumen hanya berkisar Rp1.352-1.644 per kWh.  

Menurut Rosan, skema mahal ini tak lepas dari dihapusnya tipping fee bagi pemerintah daerah. Tipping fee adalah biaya layanan yang dibayarkan pemda kepada pengelola fasilitas untuk setiap ton sampah yang diolah. Beban itu kini dimasukkan ke dalam harga listrik yang harus dibayar PLN.

“Itu semua akan di-absorb langsung oleh PLN dan kemudian PLN akan menerapkan subsidi dari pemerintah pusat,” kata Rosan.

Kendati begitu, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyebut skema itu sebagai “subsidi semu” berpotensi menguras hingga puluhan triliun rupiah uang negara selama 30 tahun ke depan. Setiap unit PSEL, menurut AZWI, dapat membebani PLN hingga Rp600 miliar per tahun. Ini berpotensi menciptakan risiko jebakan fiskal melalui kontrak panjang.

“Perpres ini perpanjangan Perpres 35/2018 yang terbukti kurang layak secara bisnis dan teknis,” ujar Atha Rasyadi, Urban Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia. “Versi baru ini justru meningkatkan tarif dan memperpanjang kontrak sehingga terkesan menguntungkan, padahal sebenarnya membebani PLN dan APBN serta menimbulkan risiko signifikan bagi lingkungan.”

Ancaman Insinerator

Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang Walhi Eksekutif Nasional, Dwi Sawung, menilai persoalan PSEL bukan hanya mahalnya investasi, melainkan potensi pengubahan polusi ke dalam bentuk lain. Proyek PSEL akan mengandalkan teknologi insinerator, yaitu pembakaran sampah pada suhu tinggi untuk menghasilkan uap bertekanan yang menggerakkan turbin dan menghasilkan listrik.

Emisi dari insinerator tersebut juga menghasilkan limbah fly ash dan bottom ash (FABA), residu hasil pembakaran ini termasuk limbah B3 yang membutuhkan penanganan khusus lebih lanjut.

Selain itu, Sawung menjelaskan adanya persoalan kondisi sampah yang masih campur aduk dari hulu. Padahal, tanpa pemilahan yang benar, material-material berbahaya yang seharusnya tak boleh terbakar bisa ikut terolah dan menghasilkan polusi berbahaya ke udara.

Polivinil Klorida (PVC), misalnya, salah satu jenis plastik termoplastik yang paling banyak diproduksi dan digunakan di dunia. PVC bisa menghasilkan senyawa klorin berbahaya jika terbakar karena dapat menghasilkan senyawa dioksin dan furan.

Dioksin termasuk dalam golongan Persistent Organic Pollutant (POP), yakni polutan beracun yang memiliki sifat yang tidak bisa diurai. Karena itu dioksin bersifat akumulatif. Jumlahnya akan terus bertambah di udara jika sumber limpahannya tak dihentikan. Dioksin juga mudah menempel di lemak, misalnya kuning telur.

“Terus ada bahan-bahan lain yang enggak boleh dibakar. Yang lebih parah kalau misalnya ditemukan karakteristik aneh, misalnya mengandung radioaktif. Selama manajemen hulunya enggak diperbaiki, ini risikonya tinggi banget,” kata Sawung kepada Katadata.co.id, Sabtu, 15 November.

SIPSN pada 2024 pun mencatat sekitar 67% sampah nasional adalah organik. Sisa makanan menjadi penyumbang terbesar dengan angka mencapai 38,29%. Sampah organik lainnya meliputi kayu/ranting, kertas/karton, kain, serta karet/kulit. Implikasinya, timbulan sampah total tersebut punya kalor yang rendah dan tidak efisien untuk dibakar secara termal.

Selain itu, jika sampahnya tidak dipilah, insinerator akan menerima sampah campuran organik, plastik, dan jenis lain, yang mungkin meningkatkan risiko emisi berbahaya dan residu abu.

Di sisi lain dunia, riset Zero Waste Europe mengungkap bahwa insinerator di sejumlah kota di Eropa menghasilkan polutan berbahaya yang terakumulasi di lingkungan sekitar.

Pemantauan biomaterial di dekat fasilitas insinerasi di Slovakia, Belanda, Spanyol, dan Prancis menemukan kandungan tinggi dioksin, furan, PFAS, serta logam berat. Adapun biomaterial yang diuji mencakup telur ayam kampung, lumut, daun pinus, dan tanah. Di beberapa lokasi, kadar dioksin di dalam telur ayam melebihi batas aman Uni Eropa.

Temuan ini menunjukkan bahwa emisi insinerator, terutama fly ash dan partikel halus, juga meresap ke vegetasi hingga rantai makanan lokal. Zero Waste Europe menyarankan agar biomonitoring menjadi kewajiban dan mendesak penghentian bertahap penggunaan insinerator.

Ada Alternatif Lain

Yobel Novian Putra, Climate Policy Office, Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), menilai bahwa pengelolaan sampah tidak harus dijawab dengan pembangunan insinerator. Dengan komposisi sampah Indonesia yang mayoritas berupa sampah organik, pemerintah sebenarnya memiliki banyak alternatif yang lebih murah dan lebih berkelanjutan.

Ngompos, Black Soldier Flies (lalat BSF), anaerobic digester untuk membuat biogas, bahkan vermicompost yang di India cukup populer dan terintegrasi dengan sektor pertanian. Semuanya jauh lebih murah,” ujar Yobel kepada Katadata.co.id, 17 November lalu.

Menurut dia, biaya pengomposan bisa sepuluh kali lebih hemat dibanding insinerator. Selain itu, metode ini mampu menangani hingga 60% total timbulan sampah. Ini jauh lebih besar dibanding insinerator yang menurut GAIA hanya menyasar sekitar 10-20%.

“Kalau 60% sampah sudah terserap lewat composting, sisanya bisa menjadi sumber penghidupan di sektor daur ulang. Kita punya sekitar dua juta pemulung yang selama ini menyelamatkan sistem daur ulang dan membuat ekonominya tetap bergerak,” kata Yobel.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Puja Pratama

Cek juga data ini