Daerah Migas Jangan Terjangkit Mental Pesta
Penurunan harga minyak dunia turut memukul pemerintah daerah. Transfer dana bagi hasil (DBH), yang menjadi tulang punggung anggaran daerah penghasil minyak dan gas bumi (migas), menyusut bahkan hingga 98 persen tahun lalu. Akibatnya, banyak daerah mengalami defisit anggaran, menunda proyek pembangunan, hingga kesulitan membayar gaji pegawainya.
Namun, nasib naas itu tidak dialami Bojonegoro. Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi sempat memuji, keberhasilan pemerintah daerah di Jawa Timur itu memanfaatkan aset migasnya untuk menciptakan efek berantai bagi perekonomian dan masyarakat di daerahnya melalui pengoperasian Blok Cepu. Alhasil, pertumbuhan ekonomi kabupaten itu tahun lalu sebesar 19,87 persen, melonjak signifikan dibanding 2014 yang hanya 2,36 persen.
Suyoto, Bupati Bojonegoro, mengatakan kekayaan sumber daya alam tidak akan mendatangkan manfaat optimal bagi daerah kalau tidak dikelola secara baik dan terencana. Bekas dosen dan rektor yang menjadi Bupati Bojonegoro selama dua periode (2008-2013 dan 2013-2018) ini mengaku punya berbagai terobosan.
“Kami belajar cara menghindari kutukan sumber daya alam,” kata pria yang akrab disapa Kang Yoto dan tengah digadang-gadang bersaing dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam pilkada DKI Jakarta tahun depan ini, kepada wartawan Katadata, Metta Dharmasaputra, di sela-sela forum “The 40th IPA Convention and Exhibition” di Jakarta, Jumat (27/5). Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Bojonegoro mengoptimalkan manfaat dana bagi hasil migas?
Kami belajar dari semua pengalaman negara lain dan juga daerah lain. Apa yang disebut ancaman kutukan sumber daya alam itu nyata adanya karena setiap ekstraktif, sesuatu yang diekstrak itu, dibentuk dalam jangka panjang. Ketika diambil, dia mempunyai kutukan. (Baca: Bojonegoro Sukses Kelola Dana Migas Siasati Kejatuhan Harga)
Karena itu, kami belajar cara menghindarinya. Pertama, yang harus dilakukan adalah saat eksplorasi terjadi itu peluang bisnis semaksimal mungkin harus melibatkan warga lokal. Kami menyebutnya human approach, pendekatan kemanusiaan, atau social security approach. Jadi bukan pendekatan pengamanan tapi sosial. sehingga dengan melibatkan masyarakat terjadilah proses tersebut.
Bagaimana pendekatan lainnya yang secara teknis?
Pendekatan kedua, ketika kita sudah dapat duitnya maka belanja itu jangan sampai dikorupsi. Perlu adanya transparansi. Kemudian, jangan sampai terjangkit mental pesta. Uangnya dihambur-hamburkan, itu sama bahayanya.
Karena itu, kami harus memfokuskan pada tiga hal yang sudah teruji membawa pada pembangunan berkelanjutan. Pertama harus belanja semaksimal mungkin untuk pengembangan sumb er daya manusia. Sebab, lingkungannya akan berkurang, kemakan oleh industri. Jadi, akal, hati dan tangannya harus lebih hebat. Kuncinya sumber daya manusia (SDM). Di Bojonegoro ada dokter spesialis karena kami mengizinkan kalau mau sekolah spesialis. Pertimbangannya, transformasi ekonomi Bojonegoro adalah industri dan jasa pariwisata harus didukung SDM yang kuat.
Kedua, memaksimalkan seluruh belanja infrastruktur yang relevan dengan pertumbuhan ekonomi. Kalau tidak ada (relevansinya) jangan. Harus ada pertumbuhan sosial-ekonominya.
Ketiga, harus disadari uang itu akan habis sehingga harus dikelola secara baik. Uang itu diinvestasikan, termasuk membentuk dana abadi. Uang ini akan menjadi faktor pembangunan berkelanjutan.
Dalam hal pendidikan, bagaimana konkritnya pemanfaatan dana migas?
Kami membelanjakan, misalnya tahun ini anak-anak yang mau sekolah menegah atas (SMA) di Bojonegoro itu per anak dapat Rp 2 juta. Karena kami ingin membawa semua anak Bojonegoro mau sekolah SMA. Jadi kami harus bawa dan efek sosial demonstratifnya harus kelihatan.
Selain itu, anggaran pelatihan guru dinaikkan. Lalu, anak-anak yang mau sekolah diploma dibangunkan akademi. Setelah bangunannya jadi akan diserahkan ke (pemerintah) pusat. Jadi, bukan kami yang meminta kepada pemerintah pusat. Kami bangun dulu, baru kemudian diserahkan ke pemerintah pusat. Kan efeknya di Bojonegoro. Kami membangun pusat pembangunan guru bersama alumni Institut Teknologi Bandung (ITB).
Yang tidak kalah menarik adalah, setelah lulus mereka tidak langsung bekerja. Harus mengikuti pelatihan yang diperlukan terlebih dahulu. Untuk itu, kami menggandeng pengusaha agar membuka usahanya di Bojonegoro yang biaya pelatihannya dari pemerintah kabupaten. Jadi tidak ada training for training, tapi training for job. (Ekonografik: Harga Minyak Rontok, Dana Daerah Anjlok)
Bagaimana skema untuk mengadopsi sistem keuangan pemerintah pusat ke daerah?
Ini kan otonomi, tidak boleh melakukan penyeragaman. Jadi, kami sedikit melakukan diskresi. Misalnya, kalau rezim anggaran pemerintah (pusat) itu kan ada ketentuan pemasukan tersebut harus dibelanjakan semua. Tapi, di Bojonegoro tidak seperti itu. Kami tahu harga minyak naik-turun. Begitu harga minyak tinggi, kami hanya masukkan (estimasi pendapatan DBH dalam APBD) di bawah 50 persen. Kalau minyak turun, kami taruh jadi 70 persen. Tapi tidak pernah kami masukkan 100 persen.
Kedua, kami belum punya mekanisme dana abadi. Jadi, dana yang ditaruh di sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) harus lebih tinggi sehingga pada Januari atau Februari bisa langsung belanja. Sebab, kalau menunggu DBH lama.Rekonstruksinya bisa terakhir.
Ketiga, yang tidak kalah pentingnya adalah pemerintah daerah harus berpikir seperti negara. Acuannya tidak boleh karena harga minyak turun maka subsidi berkurang. Tapi dari sisi pendapatan dan belanja ikut berkurang. Kami belajar dari kasus negara-negara lain. Misalnya Nigeria dan Rusia, yang 80 persen pendapatannya dari migas.
Apakah tidak khawatir terobosan itu akan dikriminalisasi kaena dianggap melanggar peraturan?
Jadi yang dianggap kriminalisasi itu adalah niat jahat. Kedua, merugikan negara. Ketiga, mengambil keuntungan untuk itu. Kalau ini clear soal aturan. Kriminalisasi itu berbeda dengan aturan. Bangsa kita masuk ke legalize era. Jangan lupa, dalam strategi pengelolaan negara itu ada enam level. Level pertama itu niat. Karena itu means rea dalam bahasa hukum. Level dua itu visi, yang diturunkan menjadi strategi. Strategi itu baru governance, aturan. Setelah itu manajemen operasional.
Menurut saya, kita itu salah kaprah. Menempatkan aturan menjadi nomor satu. Padahal, aturan itu kita yang bikin. Dulu dibikin untuk merumuskan visi. Visi-misi sudah berubah tapi peraturan tetap. Ini yang membelenggu kita semua. Kalau boleh saya bilang, kita ini pintar apa bodoh ya. Kalau pintar kan cepat kita. Kenapa kok tidak sama-sama cepat. Ini meurut saya adalah problem kita semua, bukan problem satu-dua orang.
Tapi bagaimana kalau diaudit BPK akan jadi masalah?
Saya selalu begini caranya. Aturan yang bikin siapa. Jadi kalau tidak ada aturannya, saya kirim ke Pak Menter. Jangan konsultasi pada birokrat karena birokrat belum tentu keluar dari itu (aturan). Kita kirim surat ke menteri.
Misalnya, soal dana abadi. Kalau tanya semua orang, tidak ada aturannya. Kita bilang ke Kementerian Keuangan dan Menteri Dalam Negeri bahwa kita akan membentuk begini (dana abadi). Karena belum ada regulasinya, kami minta izin untuk mengatur regulasinya. Apakah kira-kira ada yang kami langgar atau tidak? Kami kirim (surat) resmi ke menteri. Kalau cuma koordinasi dengan level bawah biasanya sulit karena akan dibilang tidak ada nomenklaturnya. Karena itu, saya melambung ke menteri karena menteri itu politik.
Tanggapan menteri seperti apa?
Sudah menggapi. Kementerian Keuangan sudah memberikan tanggapan akan go ahead. Yang dimungkinkan kemudian pembentukan dana abadi model LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan). Itu sudah sangat baik untuk kami sehingga kami tinggal bikin peraturan daerahnya. Jadi, jangan juga kita tidak bikin aturannya. Tapi tidak bisa juga, tidak usah aturan tapi yang penting niat baik. Sebab, prinsip good governance adalah membuat itu semua berkepastian, bisa dicek dan prosesnya bisa menjadi benar juga.