Pandemi Covid-19 Bisa Berlanjut hingga 2023, Tak Bisa Andalkan Vaksin

Image title
17 Januari 2021, 09:00
Ketua Departemen Epidemiologi FKM Universitas Indonesia Dr Tri Yunis Miko Wahyono (Ilustrasi; Joshua Siringo-Ringo)
Katadata
Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Dr Tri Yunis Miko Wahyono (Ilustrasi: Joshua Siringo-Ringo)

Pemerintah telah memulai program vaksinasi Covid-19 pada Rabu (13/1) lalu. Bahkan, mereka sudah meneken kontrak dengan Sinovac dari Tiongkok untuk pembelian 125 juta dosis vaksin dengan opsi penambahan sebesar 100 juta dosis.

Meski demikian, pakar menilai vaksinasi bukan jalan keluar utama keluar dari pandemi yang telah melanda 10 bulan belakangan. Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Dr. Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan pemerintah tetap harus menegakkan disiplin protokol kesehatan, 3T, menyediakan ruangan isolasi hingga pembatasan.

"Menurut saya PSBB harus dilakukan di semua provinsi zona merah dan oranye," kata Tri Yunis dalam sebuah wawancara dengan Katadata.co.id, Jumat (14/1).

Ia juga berharap pemerintah segera memacu pengembangan vaksin Merah Putih demi mengebut program vaksinasi. Apalagi menurutnya antivirus tersebut berpotensi memiliki efikasi yang lebih tinggi dari buatan Sinovac. Berikut petikan wawancaranya dengan Ameidyo Daud dan Yuliawati dari Katadata.co.id :

Apakah vaksin akan menjadi jalan keluar dari Covid-19 dalam jangka waktu cepat ?

Tidak mungkin akan hilang dalam setahun jika memakai vaksinasi saja. Harus dilakukan tes yang banyak kemudian isolasi dan karantina yang benar.

Kira-kira perlu waktu berapa lama sampai kasus Covid-19 benar-benar berkurang signifikan ?

Menurut saya membutuhkan waktu satu tahun lebih. Tapi kita lihat apakah vaksin Merah Putih akan diproduksi pada tahun 2022. Jadi paling paling cepat 2023 baru bisa menurun atau perbaikan ke arah normal.

Mengapa bergantung vaksin Merah Putih ?

Karena vaksin Merah Putih memiliki peluang efikasi lebih besar dari 65% karena vaksin bukan dikembangkan dari virusnya tapi dari genetikanya. Jadi jika 2022 vaksin Merah Putih sudah bisa diproduksi pasti kasusnya akan menurun banyak.

Jadi ini menjadi pesan agar pemerintah lebih fokus mengembangkan vaksin Merah Putih ?

Iya. Karena kalau membeli maka kita akan berebut di pasaran. Bayangkan setahun kita akan mencari 300 juta dosis dan tidak bisa semua orang disuntik.

Berapa efikasi yang bisa didapatkan dari vaksin Merah Putih ?

Karena dia fokus pada genetika virusnya maka harapan saya di atas 90 % karena vaksin-vaksin yang dikembangkan dari genetikanya itu biasanya punya efikasi yang lebih besar.

Pemerintah memilih menggunakan Sinovac dengan tingkat efikasi 65 % apakah akan efektif nantinya ?

Bayangkan kalau 270 juta orang disuntik semua, yang masih tidak kebal adalah 35 persen atau 70 juta orang. Itu masih tinggi.

Berbicara tentang vaksinasi, mereka yang sudah disuntik pertama tetap harus jaga 3M ?

Iya karena belum ada kekebalan yang final dan melebihi level antibodi yang protektif. Kalau sudah dua kali, baru levelnya akan naik ke protektif itu sekitar 65 persen (untuk Sinovac). Yang 35 persen, tetap di bawah level protektif dan tidak bisa melindungi kita dari infeksi Covid-19.

Tapi dengan yang sekarang sudah cukup mengantisipasi varian baru virus Covid-19 ?

Menurut saya sih mutasinya tidak secepat kasus influenza. Kalau vaksin virus influenza setiap tahun harus diperbaharui. Sedangkan untuk Covid-19 paling tidak dua tahun baru diperbarui. Itupun jika dia bermutasi pada gen yang menyebabkan timbulnya antbodi atau antigenesitas. Mudah-mudahan di Indonesia tidak ada lagi varian baru virus dan sesuai dengan iklim tropis.

BPOM belum mengeluarkan izin darurat vaksin untuk lansia. Kira-kira vaksin siapa yang paling meyakinkan bagi mereka ?

Pfizer atau AstraZeneca masih bisa diberikan pada orang tua dan anak di atas lima tahun. Kita sudah beli tapi jumlahnya terbatas. Tapi ke depan, vaksin merah putih menjadi harapan begitu karena dikembangkan langsung dari genetika virusnya sehingga bisa digunakan anak-anak dan lansia.

Tapi keandalan vaksin Merah Putih ini kan belum kita ketahui?

Kalau tidak ketahuan, berarti kita harus membeli lagi vaksin yang sama. Ini akan terus berulang kecuali satu, pemerintah meningkatkan tes di semua provinsi dan kabupaten, kemudian isolasi dan karantina diperkuat. Selain itu daerah juga harus serius melakukan PSBB.

Jadi apa yang perlu dilakukan pemerintah selain vaksinasi ?

Pertama, tesnya harus cukup dan sesuai standar WHO. Kedua, karantina dan isolasi begitu kasus ditemukan, begitu juga semua yang kontak harus dikarantina dengan baik. Kalau kasus masih sedikit, kedua ini sudah cukup. Tapi begitu kasusnya sudah pandemi, maka harus dilakukan kontrol dengan lockdown atau social distancing.

Harus dilakukan PSBB. Nah saat ini di Indonesia sudah masuk pada wabah dan positivity rate-nya juga terus meningkat. Jadi menurut saya di semua provinsi yang (zona) oranye dan merah harus dilakukan PSBB dan dilihat apakah bisa dilakukan mulai dari RW hingga kecamatan.

Berarti pembatasan harus dilakukan dengan ketat walaupun sudah ada vaksin ?

Karena pemerintah belum bisa vaksinasi semua orang, kita baru akan pakai 3 juta dosis vaksin dan itu harusnya untuk petugas kesehatan saja. Kemudian hingga akhir tahun itu vaksin seharusnya diprioritaskan pada daerah wabah saja. Sedangkan isolasi dan tes bisa dilakukan pada pada daerah yang jumlah kasusnya sedikit. Itu sudah cukup. Bahkan harusnya PSBB jangan diturunkan sebelum terjadinya (penurunan) endemis. Kita baru sadar sekarang.

Dengan kata lain, pembatasan harus terus diperketat sampai dengan seluruh imunisasi rampung dikerjakan ?

Kalau masih wabah, seharusnya tetap dilakukan PSBB atau PPKM. Jadi bukan alasannya ada vaksin, tapi karena kasus masih bertambah sehingga jangan dicabut.

Berbicara tentang kasus Covid-19 saat ini. Posisi kurva epidemiologi kita ada dimana ?

Saya menjadi ahli dari beberapa kota seperti di Jabodetabek, kalau saya lihat kurvanya memang beragam, ada yang tetap bertahan atau bisa diturunkan. Jadi kalau ada yang (kasusnya) masih naik disetop dengan PSBB, protokol kesehatan, dan karantina isolasi deteksi.

Dengan lonjakan kasus yang terus terjadi, apakah puncak pandemi sudah terlihat ?

Jadi kalau wabah yang sifatnya profegetik atau satu sumber, dia hanya membentuk segitiga dengan puncak di atas. Jadi puncaknya akan ketahuan. Kalau wabah Covid-19 ini menular dari orang ke orang, kurva mingguannya bisa naik, turun, habis itu naik lagi. Jadi mau puncak yang mana?

Dari permodelan yang anda bikin seperti apa ?

Ada banyak puncak di kurva wabah Covid-19, jadi bisa dibayangkan. Jadi kalau lihat kumulatifnya akan meningkat terus dan mulai melandai pada waktu ada penyuntikan (kumulatif) 100 juta dosis di bulan Juni. Tapi itu baru sedikit turun. Kemudian bulan desember 2021, juga sedikit turun. Jadi kalau sekarang lonjakannya masih sekitar 8.000 per hari, kalau bulan Desember ada 4.000 atau 3.000 (per hari). Memang sudah turun, tapi masih ada ribuan.

Apa dampaknya dalam dua tahun kalau Indonesia masih tak melakukan langkah untuk memutus rantai penularan ?

Mungkin negara lain untuk sementara akan melarang warganya pergi ke Indonesia tahun 2022 apalagi kalau mereka bisa lebih cepat keluar dari pandemi dibanding kita. Malaysia sempat 3 bulan lebih melakukan lockdown, kita baru dua minggu PSBB sudah teriak-teriak.

Dengan kata lain, Indonesia bisa terisolasi jika kasus tak juga turun ?

Iya betul. Saya pikir pemerintah akan serius melibatkan banyak ahli.

Dari segi tes, berapa angka ideal yang perlu dipacu saat ini ?

Satu per seribu. Contoh, kalau 160 juta penduduk di Pulau Jawa, maka tes harus 160 ribu per hari.

Berarti saat ini masih belum ideal ?

Betul. Di india saja ditemukan kasus 50 ribu sehari. Bayangkan tes yang dilakukan berapa.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...