Harus Masuk 5G, tapi Tidak Perlu Terburu-buru
Terkait bisnis digital, Smartfren masuk di bisnis data center atau cloud?
Smartfren ini kan bagian dari grup besar Sinar Mas. Jadi, Sinar Mas yang kemudian mempunyai strategi dan memikirkan pilar-pilar mana yang paling cocok. Ada pilar yang menangani infrasstruktur pasif. Pilar yang menangani seluler seperti Smartfren. Ada juga pilar yang memang nanti menangani digital bisnis. Banyak sekali di sana.
Soal merger Tri dan Indosat, akan sejauh mana berdampak ke bisnis dan persaingan operator?
Pertama, dengan aksi ini Smartfren melihat satu kompetitor hilang [Merza lantas tertawa]. Kedua, Smartfren naik peringkat dari operator nomor 5, jadi nomor empat.
Tapi artinya kompetitor akan semakin kuat?
Filosofi kompetisi sekarang bukan lagi sekedar perang-perangan, tapi juga adu cepat. Jadi ‘perang’ yang sifatnya kekuatan ini belum tentu bisa dijalankan. Berapa banyak model produk paketnya Smartfren yang setelah kita launcing kelihatan sukses di pasar, akhirnya dicontoh sama yang lain. Walaupun tidak 100% sama tetapi nyawanya sama.
Hal seperti itu membuktikan bahwa yang masuk pasar duluan pasti akan jauh lebih disukai oleh masyarakat. Inilah yang membutuhkan kreativitas dari tim kita.
Smartfren ada niat merger?
Kalau niat sih tergantung, siapa dulu yang ngelamar? Sebetulnya kita melihat dari segi efisiensi. Ke depan ini tantangan kita adalah sumber daya. Apa perubahan 5G dibanding sebelumnya? 5G dari kacamata operator, yaitu dibutuhkan sumber daya yang jauh lebih besar. Yang paling utama tentu saja spektrum frekuensi. Yang kedua adalah jaringan. Jaringan ini baik jaringan pasif seperti tower
Untuk ke depan ini menjadi satu syarat utama agar kita tetap bisa leading dalam bisnis ini. Kalau bicara spekrum, itu sumberdaya yang terbatas. Jadi pemerintah yang punya spektrum harus berpikir bagaimana agar bisa dimanfaatkan secara optimal
Sekarang ada empat operator. Dampaknya penguasaan spektrum tiap operator jadi kecil. Padahal kita tahu sumber daya yang dibutuhkan 5G harus lebih besar. Tapi tidak bisa juga dimonopoli satu orang.
Apakah dua operator bisa dibilang monopoli? Atau harus tiga? Nah, ini yang dipikirkan pemerintah. Dulu Chief RA [eks Menkominfo Rudiantara] memberikan ide konsolidasi. Tapi beliau sendiri tidak bisa memastikan harus berapa. Antara tiga atau empat. Kalau dijadikan tiga operator pasti akan lebih baik. Dari segi sumber daya lebih efisien. Tapi kembali lagi ada aspek lain yang harus dipertimbangkan.
Kalau menurut Pak Merza idealnya berapa?
Ya tinggal selangkah lagi tiga.
Artinya nanti Smartfren yang akan konsolidasi?Belum tahu, bisa jadi Indosat Hutchison dan XL [merger] gimana?
Terkait 5G, bagaimana rencana Smartfren?
[Masuk 5G] itu harus. Sebuah operator enggak bisa ketinggalan teknologi. Tapi sebetulnya 5G itu butuh resources yang cukup besar. Kalau mau jujur nih, kalo secara resources hari ini belum ada yang siap
Semua operator?
Semua operator. Terutama dari segi spektrum. Kecepatan 5G yang dicita-citakan secara teori itu bisa menghasilkan kecepatan 8 Gbps. Itu spektrum yang dibutuhkan paling tidak 400 MHz dan itu sangat besar. Operator terbesar saat ini, Telkomsel, saja cuma punya 155 MHz.
Pemerintah mendorong untuk menghapus 2G dan 3G. Tapi artinya [spektrum] masih harus dibagi-bagi lagi untuk 4G dan 5G.
Ada gambaran berapa Pak nilai investasi 5G?
Bukan seperti itu mikirnya. 5G tidak akan di gelar secara blanket seperti 3G atau 4G. Jaringan 5G tetap akan berdampingan dengan 4G. Kenapa? Karena mobility yang sekarang sudah kita nikmati hanya untuk main sosial media atau nonton film, itu sebetulnya 4G sudah cukup.
5G itu untuk aplikasi yang sifatnya mission critical. Ini yang harus kita definisikan. Hari ini yang sudah sangat butuh adalah teman-teman di industri manufaktur. Otomatisasi industri ini sekarang sudah banyak sekali aplikasi-aplikasi yang membutuhkan kecepatan sekelas 5G. Maka 5G akan di gelar secara spot di mana pabrik itu membutuhkan
Kedua ini, mungkin yang butuh juga adalah MICE untuk nantinya bisa live reporting. Apalagi yang sudah critical? Mungkin di Jakarta belum ada, tapi di beberapa kota besar di dunia sudah banyak sekarang mobil tanpa sopir. Kalau sampai Jakarta atau IKN nantinya mulai mengenalkan itu, tidak ada solusi lain kecuali 5G.
Artinya ada kaitan sama Internet of Things juga ya?
IoT. Mau tidak mau memang nanti yang men-drive 5G adalah IoT. Teman-teman di agrikultur juga mulai butuh IoT dengan kecepatan 5G. Virtual tourism nantinya juga butuh 5G karena orang nantinya akan pakai VR.
Maka inilah kenapa kita tidak perlu buru-buru kalau memang ke depan itu belum terlalu terdefinisi soal kebutuhan 5G. Handphone kita sudah cukup untuk kehidupan sehari-hari. Mungkin sudah ada yang butuh 5G, tapi kalau pemakaiannya hanya nonton video, nonton drakor, nonton layangan putus, ya enggak perlu 5G.
Tahun lalu Smartfren meluncurkan solusi IoT ThingSpark, seperti apa perkembangannya?
Saya belum bisa cerita banyak soal itu karena masih dalam proses untuk berkembang. Pasar IoT ini belum jadi bidikan utama Smartfren. Kita memang meluncurkan dan ada pelanggan. Namun kita belum mentargetkan pelanggan IoT sebagai revenue stream. IoT ini digadang-gadang sebagai user terbanyak dari 5G. Nanti pabrik-pabrik itu nanti isinya IoT semua.
Perilaku konsumen selama pandemi terlihat berubah, bagaimana Smartfren melihatnya?
Pandemi memang membawa banyak perubahan bagi pola hidup manusia. Orang cenderung menetap di satu tempat, sehingga kebutuhannya adalah layanan fixed broadband. Kalau saya bicara ideal, entah berapa tahun ke depan, semua rumah harus terjangkau fiber optik. Ini pertanyaan yang sampai sekarang sulit untuk dijawab.
Bukan karena tidak ada yang mau investasi, tapi lihat di Indonesia ini banyak satu kelurahan atau desa yang isinya cuman ratusan orang. Selain itu rumahnya mencar-mencar. Untuk menjangkau titik itu saja narik fiber optiknya setengah mati.
Belum lagi kalau banyak kerusuhan kayak kemarin di Papua. Jadi untuk ideal seperti itu mungkin butuh waktu.
Smartfren mengakuisis 20% saham Moratellindo pada Mei 2021 silam, seperti apa tujuannya?
Smartfren ingin menyiapkan jangka panjang karena saya melihat fixed broadband merupakan salah satu tujuan yang paling ideal. Jadi kita harus mulai membiasakan pelanggan bahwa ketergantungan dia terhadap selular ini secara lambat laun akan berubah dan bergantung kepada yang layanan fixed.
Sekarang sudah mulai terasa. Misalnya kalau ke kafe kita selalu cari wifi meskipun sudah punya paket data seluler. Karena itulah Smartfren mulai siap-siap. Nah, Moratellindo itu salah satu pemain fixed broadband di Indonesia yang lumayan andal.
Artinya semua bisnis mengarah ke penguasaan jaringan tetap atau fiber optic?
Trennya akan ke sana, tapi mobility atau seluler tidak bisa ditinggal karena orang tetap ingin terhubung di manapun. Nah, penggunaan seluler ini sifatnya yang normal-normal saja seperti komunikasi, cek email, atau nonton film.
Aplikasi-aplikasi yang butuh data besar itu akan ada di fixed. Salah satu contohnya IoT. Jadi mungkin handphone orang itu enggak sepenuhnya harus 5G.
Kalau secara bisnis Smartfren akan tetep di seluler atau bagaimana?
Sekarang kita udah nyuntik modal Moratelindo 20,5% persen itu salah satu contoh. Kita akan mengembangkan area yang belum dimasuki Moratelindo.
Bagaimana kondisi average revenue per user (ARPU) saat ini?
ARPU stabil. Stabil di bawah [Merza tertawa]. Jadi begini, dulu ARPU itu memang menjadi salah satu indikator, bahwa operator yang sukses itu kalau ARPU-nya tinggi. Nah, dalam 5 tahun terakhir orang-orang mulai ninggalin ARPU.
Sebagai contoh merger Indosat dan Tri, konsultannya enggak liat ARPU lagi. Yang diliat adalah revenue gross-nya kayak apa, kemudian laba operasionalnya seperti apa. Nah, tapi demikian mudahnya orang pakai buang [kartu SIM]. Makanya yang penting berapa banyak yang didapat itu lebih penting daripada ARPU.