Ekonomi Indonesia Bagus, Investor Besar Akan Tetap Masuk ke Startup
Publik tersentak ketika sejumlah perusahaan rintisan di Indonesia merumahkan puluhan hingga ratusan orang pegawainya. Industri startup yang beberapa tahun terakhir menjadi primadona ikut tersengat krisis ekonomi global.
Investor dan venture capital (VC) yang biasanya jor-joran menggelontorkan uang mulai terlihat lebih berhati-hati. Pendanaan terhadap startup memang masih terjadi, tetapi hanya perusahaan yang jelas dan terukur model bisnisnya yang punya kesempatan menampung dana segar.
“Saya melihat yang terjadi saat ini hal yang wajar. Semacam kalibrasi dari sebuah industri,” kata Managing Partner Impactto, Italo Gani.
Italo adalah pemain veteran di industri startup. Ia sudah malang melintang di industri ini sejak 20 tahun silam, dengan memegang posisi strategis di sejumlah institusi bisnis. Kepada Katadata, Italo banyak memberikan gambaran soal tren dunia startup, kondisi terkini, hingga nilai-nilai krusial yang harus dimiliki perusahaan rintisan agar bisa bertahan.
Berikut petikan wawancaranya:
Belakangan ini marak startup melakukan PHK besar-besaran yang disinyalir sebagai dampak fenomena bubble burst. Bagaimana Anda menilai situasi ini?
Kalau kita melihat bubble burst itu sebenarnya sudah kejadian beberapa kali di dunia. Dulu ada yang namanya dotcom crash tahun 2000. Periode 1998-2000 itu ada beberapa startup Indonesia yang kena efeknya. Dulu ada Indo.com, Asia Getway, entah apakah masih familiar atau enggak sekarang. Dalam seminggu, some of the companies are closing down.
Tapi tahun 1998-2000 dulu itu kan, apalagi untuk startup Indonesia, belum ada mobile internet. Mulai masuk Indonesia sekitar 2005-2007 dengan 3G. Jadi fundamentalnya belum kuat.
Kemudian periode 2015-2017 juga ada masa-masa banyak investasi di e-commerce, banyak yang enggak stabil juga terjadi. Di situlah muncul istilah-istilah seperti winter, unicorn, dan lain-lain.
Kalau sekarang saya rasa sangat wajar karena secara makro ekonomi di dunia sedang ada krisis akibat perang Rusia-Ukraina. Sehingga para LP (Limited Partners) dari VC (Venture Capital) juga sangat selektif untuk investasi di VC. Lalu VC sendiri juga sangat selektif untuk invest di startup.
Sebenarnya bukan hanya sekadar VC yang selektif. Akhir-akhir ini di Indonesia fenomena startup berkembang sangat cepat. Banyak VC-VC baru, banyak orang yang tiba-tiba menjadi angel investor, datang dengan good money tapi mungkin belum memiliki pendekatan untuk memilih produk yang tepat.
Perlu diperhatikan juga di Indonesia ini industri startup masih tergolong baru jika dibandingkan dengan di US market. Mungkin tertinggal 10 tahun dibanding Amerika.
Jadi, sebagai orang yang cukup lama berkecimpung di dunia startup, saya melihat apa yang terjadi sekarang ini adalah hal yang sangat wajar. Ini hanya semacam kalibrasi dari sebuah industri, naik-turunnya sebuah industri.
Karena saya sudah sering mengalami masa seperti ini, maka akan kelihatan startup yang punya real product yang mencapai sebuah market product fit yang benar-benar memberikan value ke ekosistem, baik itu B2B atau B2C, dia akan survive dan menikmati masa-masa keemasan startup.
Startup yang punya real value itu di sektor apa saja?
Sebenarnya tidak tergantung pada sektornya. startup itu adalah company yang dituntut mengeluarkan inovasi di satu existing business. Inovasinya itu ada dua: dari consumer journey atau user experience dan bussiness model.
Kita ambil contoh Gojek. Dulu sebelum ada Gojek, kita melakukan transportasi kan masih manual. Setelah ada Gojek, kita pakai aplikasi. Gojek pun tadinya tidak punya armada, makanya pakai satu bussiness model yang namanya shared economy.
Proses inovasi ini yang akhirnya menciptakan value di satu ekosistem. Ada efisiensi. Karena kita bisa lihat ada banyak banget ranah yang tidak efisien, ada bisnis yang dari hulu ke hilirnya ada gap, middle man, yang membuatnya tidak efisien.
Jadi the whole startup ecosystem itu biasanya menciptakan transparansi. Kayak kita ngomongin Gojek, ada transparansi ketika order makanan, transportasi. Traveloka juga ada transparansi dalam booking tiket pesawat. Dulu kan kita nggak bisa tahu langsung harga tiketnya berapa. Kita enggak bisa kontrol mau beli, booking, refund, segala macam. Sekarang bisa lewat aplikasi.
Ruangguru juga begitu, bagaimana kita bisa ikut bimbel. Kalau dulu kan tergantung lokasi, dekat enggak dengan bimbelnya, atau ada enggak bimbel di kota gue. Terjadi sebuah transparansi dan ini menjadi sebuah efisiensi dari prosesnya.
Apakah benar bisa mencapai efisiensi itu biasanya dilihat dari produk market fit. Ini banyak orang bilangnya sebuah jargon. Tapi para founders ketika memulai startup, mereka melihat sebuah masalah. Ada inefisiensi. Dengan masalah itu mereka membuat user experience dan bussiness model baru dan meluncurkan (produknya). Setelah launching, mereka lihat di market apakah user pakai atau tidak. Biasanya user yang punya pain point (masalah yang dihadapi) ini maka dia akan pakai terus. Apalagi kalau efeknya besar, dia akan terus pakai.
Apakah startup seperti ini sudah mencapai product market fit?
Biasanya startup butuh waktu karena pada dasarnya dia adalah sebuah proses inovasi, R&D. It takes time bagi mereka untuk melakukan iterasi pada produk mereka sehingga bisa mencapai product market fit.
Bayangkan ketika Covid-19 tidak ada Tokopedia, Halodoc, Gojek, Indonesia kayak apa? Tiga perusahaan ini kan dibangun bukan gara-gara Covid-19. Mereka bahkan enggak tahu sama sekali bakal ada Covid. Ketika ada Covid, semua yang punya jualan makanan itu bisa tetap berjualan, orang yang perlu akses kesehatan tetap bisa mengaksesnya. Mereka yang butuh ke sekolah tetap bisa belajar, dengan Ruangguru misalnya. Orang tetap bisa berjualan lewat Tokopedia.
Jadi itu sudah jelas memberikan efek efisiensi yang sangat besar. Karena perusahaan-perusahaan tradisional enggak siap di situ. Jadi ujungnya adalah bagaimana mencapai product market fit, sehingga bisa secara berkelanjutan bisnis ini bergerak.
Bagaimana dengan banyaknya sorotan terhadap masalah PHK masif dari startup?
Kalau masalah PHK menurut saya terjadi juga besar-besaran di perusahaan tradisional. Di Unilever misalnya. Menurut saya, ini terlalu dibesar-besarkan soal PHK di startup. Kalau dibandingkan jumlah PHK-nya di perusahaan tradisional bisa lebih besar.
Startup ini metafornya adalah R&D Center, menciptakan sebuah produk baru yang membuat efisiensi di sebuah line of business. Waktu penciptaan produk ini, prosesnya memakan waktu, seperti sewajarnya sebuah R&D Center di perusahaan. Waktu proses ini belum stabil dan terjadi krisis di dunia, seperti halnya R&D Center perusahaan ketika perusahaannya goyang maka dia yang akan disetop duluan. Jadi kena efek seperti itu.
Karena startup begitu banyak, maka balik lagi ke startup yang solid memberi value yang akan survive dan bergerak. Startup yang kondisinya masih belum jelas atau terlalu dini fundraising maka akan terjadi sebuah proses seleksi alam untuknya, harus mengurangi karyawan.
Yang harus dipahami adalah startup itu sebuah R&D Center. Kenapa saya begitu menekankan hal ini, karena Indonesia ini enggak pernah dikenal sebagai negara yang invest besar di sektor R&D. Perputaran uang di area R&D itu kecil banget. Lihat saja perusahaan besar, are more like trading companies.
Di era startup di mana Indonesia bisa menciptakan produk sendiri seperti Gojek, Tokopedia, Ruangguru, itu adalah saatnya kita embrace produk nasional. Ini yang harus dijaga. Apalagi pemerintah sekarang mau empowering produk nasional. Sektor mana di Indonesia ini yang heavy on R&D investment? startup ini. Karena semua investasinya itu masuk ke sebuah inovasi.
Apakah startup ini akan terus diperlakukan sebagai R&D Center?
Akan ada masa perkembangannya. Di Indonesia sangat tergantung pada sektornya. Misalnya, sekarang lagi gede startup agrikultur. Hal fundamental di sektor ini adalah literasi digital dari usernya, akses dan stabilitas internet di daerah tertentu. Banyak faktor yang membuat proses membuat product market fit ini lebih panjang dibanding negara lain. Some takes more years.
Contohnya, Gibran [Gibran Hufaizah] yang membangun startup eFishery, dia lumayan panjang melakukan bootstrapping [pendanaan mandiri untuk perusahaan rintisan]. Itu hal yang wajar karena dia masuk ke sektor peternak ikan air tawar yang agak ekstrem juga. Tapi untuk ukuran Indonesia, itu wajarlah.
Banyak investor yang sepertinya menahan diri untuk masuk lagi ke startup. Bagaimana soal pendanaan ini?
Saya tidak melihat semua investor menahan diri. Ini memang karena krisis makro ekonomi, duit investasi dari luar akan sulit didapat. Tapi bukan berarti kondisi seperti ini akan bertahan. Some of great investors akan terus maju melakukan investasi karena secara momentum ekonomi Indonesia itu sebenarnya naik terus.
Balik lagi ke seleksi investasi menjadi hal yang sangat penting. Saya percaya, fundamental of investing itu apalagi pada early stage itu kita akan investing to the person or the founder itself. Jadi business model semua bisa keluar, tapi karena negara kita masih berkembang dan sangat agile, maka diperlukan founder yang sangat agile juga, bisa melakukan approach ke pasar, konsumen yang literasi [digital] belum sebaik negara lain. Jadi ini bagaimana founder bisa menangani sebuah product building sangat penting.
Jadi ketika early stage itu investasinya ke people atau founders sebagai product builder. Karena balik lagi tadi bahwa Indonesia sendiri tidak terkenal sebagai negara yang menciptakan produk. Jadi founder-founder ini adalah orang spesial yang punya mindset membangun produk dan ini hal menarik untuk diinvestasikan. Kita sering menemukan great founders yang menciptakan hal fenomenal.
Soal adanya startup-startup besar yang akhirnya masuk ke bursa saham, bagaimana Anda melihat perkembangannya nanti?
Saya lama di industri startup ini tapi I am not a finance person jadi tidak bisa kasih analisis finansial mendalam. Tapi saya melihatnya seperti ini: Anda pernah lihat kondisi saham Amazon dari 1998 ke 2002? Itu sama dengan yang terjadi di Indonesia saat ini. Kalau dibandingkan dengan periode setelahnya sampai sekarang, [fluktuasi harga saham jatuh] ya enggak kelihatan.
Kalau kita ngomongin investasi dalam R&D atau inovasi, harus berpikirnya itu jangka panjang. Makanya negara kayak Singapura, selalu berpikir panjang. jadi kalau melihat short time hasilnya ya begitu, sementara ini kan investasi jangka panjang.
Ini startup yang listed yang masih sedikit banget. But it's a very good start. Semua investor asing juga ingin bisa tahu rencana untuk hasil akhirnya bagaimana setelah berinvestasi di Indonesia. Saya yakin hal seperti ini akan berkembang dalam hal positif ke depannya.
Di tengah tekanan saat ini, ada startup yang bisnisnya berkembang, sampai bisa merekrut karyawan baru. Selain soal mempertahankan soal R&D center, bagaimana strateginya agar startup bisa berkembang?
Biasanya yang paling penting dari startup, dan ini suka dilewatkan oleh para founders, adalah apakah sudah benar-benar menyasar problem yang tepat? Obsesi menemukan problem itulah yang paling penting. Banyak orang bikin startup tapi enggak tahu problem apa yang mau diselesaikan. Atau ada yang langsung mengajukan sebuah solusi tapi nggak jelas buat problem yang mana.
Kalau kita punya solusi atau aplikasi, itu hanya hal teknis. Sebenarnya yang paling penting itu problem apa yang mau diselesaikan. Fundamentalnya di situ.
Gampang saja melihatnya. Kalau sebuah industri kelihatan marginnya gede banget, berarti ada sesuatu yang enggak efisien. Kalau margin dari hulu ke hilir sudah tipis banget, bisa dibilang sudah efisien. Karena cost dari hulu ke hilir juga efisien. Tapi balik lagi, kita harus temukan dulu problemnya.
Banyak banget sebenarnya problem yang sebenarnya original, Indonesia banget. Itu enggak bisa diselesaikan oleh perusahaan luar. Makanya akan selalu ada startup atau founder baru datang menciptakan hal yang baru dan fantastis untuk Indonesia. Karena problemnya hanya ada di Indonesia.
Makanya ada saja ketemu founder yang membuat saya takjub dengan ide penyelesaian masalahnya yang menarik. Problem di kita itu masih banyak. Sekarang yang lagi naik itu soal agrikultur. Ada aplikasi eFishery, Aruna, banyak lagi yang masuk ke sektor chicken farming, shrimps. Jadi ada banyak industri yang perlu didisrupsi atau ditransformasi secara digital.
Jadi semakin dalam Anda memahami problemnya, semakin mudah menemukan solusinya. Kadang kan hanya mereplikasi saja, di India dan Cina ada sesuatu, kita tiru. Padahal India dan Cina saja sudah beda kondisinya. Di Amerika malah lebih jauh lagi.
Saya ambil contoh Gojek lagi. Naik ojek itu soal kebiasaan kita saja di Indonesia ya. Ini habit yang lokal banget.