Y20 Menawarkan Perspektif Indonesia Diadopsi Negara G20
Rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi tingkat generasi muda dari 20 negara yang tergabung dalam Youth 20 atau KTT Y20 resmi berakhir, Minggu (24/7). Hal itu ditandai dengan penyerahan dokumen rekomendasi kebijakan (Communiqué) kepada pemerintah RI pada Closing Ceremony di Intercontinental Bandung Dago Pakar.
Dalam gelaran KTT Y20 yang berlangsung pada 17-24 Juli tersebut, para generasi muda fokus membahas isu-isu global. Melalui working group, Delegasi Y20 menghasilkan komunike untuk direkomendasikan kepada para pemimpin G20.
Adapun dari delegasi Y20 Indonesia memiliki empat isu prioritas: transformasi digital, ketenagakerjaan pemuda, keragaman dan inklusi, serta keberlanjutan planet dan layak huni. Delegasi Y20 Indonesia juga mengajak para pemimpin G20 untuk memikirkan cara agar ketimpangan antar negara lebih ter-address, sehingga bisa saling merangkul untuk maju.
"Kita ingin perspektif Indonesia bisa diadopsi oleh negara-negara lain, dengan kebijakan atau proposal-proposal yang kita tulis," kata Delegasi Y20, Muhammad Abdullah Syukri dalam wawancara kepada Katadata.co.id beberapa waktu lalu.
Lalu, seperti apa pandangan pria yang akrab disapa Abe dan sempat melanjutkan kuliah di Jerman, hingga aktif di Forum Perdamaian Dunia, dalam memandang kondisi dan masalah diversity and inclusion di Indonesia saat ini? Berikut rangkuman wawancaranya:
Kondisi keberagaman dan inklusi Indonesia seperti apa?
Pada dasarnya, kita punya future yang luar biasa kaya, seperti kekayaan kultur, adat dan budaya yang sudah berabad-abad turun, dan menjadi kekayaan luar biasa. Tapi, di satu sisi ini menjadi tantangan, bagaimana mengelola keberagaman itu di berbagai macam sektor, seperti pendidikan, ekonomi, politik, sosial, dan lain-lain. Di satu sisi itu potensi yang luar biasa, di satu sisi menjadi tantangan.
Inklusivitas, kita berbicara bagaimana kita terbuka dengan berbagai macam kelompok masyarakat yang berbeda-beda tadi. Dengan berbagai macam kebutuhan berbeda, baik kebutuhan secara fisik, kebudayaan, kelas sosial, dan sebagainya. Sehingga, mereka bisa terbuka dan masuk ke dalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat secara normal.
Bagaimana Y20 melihat perubahan keberagaman antara masyarakat zaman dulu dengan sekarang? Apakah harmonis atau ada ketimpangan?
Secara umum berjalan harmonis, tetapi pada satu, dua titik ada ketimpangan dan permasalahan. Ketimpangan semisal, melihat keberagaman dari sudut pandang kewilayahan. Bagaimana wilayah-wilayah yang berada di pulau-pulau, bukan pulau utama di Indonesia masih sulit. Bagaimana mereka bisa memberikan akses pendidikan yang layak dan baik untuk warga dan masyarakat. Begitu juga di tempat-tempat yang lain, seperti pulau terpencil, perbatasan, atau daerah-daerah yang kategorinya kurang terbangun, itu menjadi permasalahan sendiri.
Jadi, perbedaan yang ada, kemudian ditimpa dengan kesenjangan sosial dan ekonomi. Sehingga, itu seolah-olah menjadi hal yang menumpuk. Tentunya, kita tidak ingin ini terjadi.
Dari sisi harmoni, kita bisa belajar di satu universitas yang sama, sekolah yang sama, dengan latar belakang berbeda, kesukuan berbeda, bahasa berbeda. Saya kira, ini hal yang luar biasa yang bisa Indonesia lakukan hari ini, dan kemudian perlu di-promote, diperkenalkan ke luar negeri melalui forum G20.
Pergeseran zaman terkait digitalisasi, itu bagaimana?
Satu sisi ini menjadi kelebihan, satu sisi ada tantangannya. Kelebihannya, adanya media sosial kita bisa mempromosikan kebudayaan dan campaigne nilai-nilai keberagaman, serta memberitakan hal-hal baik, bagaimana terjadi harmonisasi di banyak tempat.
Di satu sisi lain, ketika ada kelompok yang membuat narasi-narasi kurang baik di media sosial dan tidak semua masyarakat Indonesia memiliki wawasan literasi digital yang baik, tentu ini menjadi hal yang perlu diwaspadai dan diperhatikan.
Maka di salah satu proposal kebijakan yang saya tulis di Y20 pada gelaran G20 tahun ini, adalah harus ada kegiatan literasi digital yang membuka wawasan dan membuka skill, kemudian membuat konten-konten di media sosial bisa mengharmonisasi keberagaman itu. Jadi memberikan knowledge, experience, bagaimana bisa menjadi narasi utama di media sosial. Alih-alih ini diambil kelompok yang tidak bertanggung jawab dan membuat narasi-narasi lain, padahal kita baik-baik saja. Maka wawasan literasi digital itu juga menjadi satu benang lurus yang harus dikerjakan bersama-sama, agar ini terharmonisasi dengan baik.
Digitalisasi jadi tantangan dan solusi?
Iya, di Y20 banyak sekali cross cutting proposal dengan isu-isu transformasi digital. Kita bicara ketenagakerjaan, pasti ada isu digitalisasi, bicara livable planet juga ada isu digitalisasi, education juga. Nah ini bisa memotong gap yang ada di Indonesia.
Contoh, secara pembangunan fisik untuk infrastruktur pendidikan, belum bisa dijangkau sepenuhnya di berbagai macam wilayah. Dengan infrastruktur internet, setidaknya teman-teman (pemuda) di daerah bisa mengakses berbagai macam resources, pendidikan yang bisa mereka konsumsi dengan baik di daerah masing-masing. Ini bisa memotong gap, dan percepatan ekonomi.
Hal-hal yang lebih besar lagi, bagaimana literasi digital mampu membuat institusi manajemen pendidikan lebih baik. Kemudian, staf pengajar, dosen dan sebagainya juga bisa mengakses pendidikan dengan baik.
Iya (digitalisasi) tantangan, sekaligus solusi. Solusinya, kita bisa membuat narasi-narasi yang baik, tapi kemudian kita juga masih banyak yang perlu ditangani secara pengelolaan hukum, penegakan hukum yang ada di dalam media sosial dan sebagainya.
Y20 akan membawa Bhineka Tunggal Ika ke skala global? Poin apa yang ingin Y20 capai?
Indonesia merupakan contoh negara yang bisa mengelola keberagaman dengan baik. Ada bahasa, suku, hingga agama berbeda, tetapi kita bisa mengelola dengan baik di berbagai macam sektor ekonomi, pendidikan, sosial, kebudayaan, politik, dan sebagainya. Contoh ini ingin kita angkat ke forum-forum seperti G20, karena faktanya masih banyak negara yang belum selesai konflik, belum selesai permasalahan di wilayah masing-masing, bahkan peperangan.
Bagi saya, itu dikarenakan gagap mengelola perbedaan, gagap dalam mengelola keberagaman yang ada di negara masing-masing. Padahal, ketika keberagaman bisa dikelola dengan baik, itu bisa menjadi hal yang luar biasa, harmonisasi dan culture bisa hidup bersama-sama, tanpa kemudian menganggap satu kebudayaan lebih baik dari kebudayaan lain.
Apa yang mau dilakukan untuk kaum minoritas Tanah Air dan Global?
Tentunya, hak-hak human rise, hak-hak asasi manusia, bagaimana mereka mendapatkan akses pendidikan yang sama, pekerjaan yang sama, pelayanan publik yang sama, dan juga kehidupan normal bersama dengan masyarakat yang lain. Tentunya, (dicapai) dengan kesepakatan model pengelolaan keberagaman seperti apa yang dimaksud, dan juga dengan penegakan hukum yang juga sesuai. Sehingga nanti, kita semua bisa hidup harmonis.
Sebagai anggota Pergerakan Mahasiswa Islam, ada misi khusus di Y20?
Kita ingin perspektif Indonesia bisa diadopsi oleh negara-negara lain, dengan kebijakan atau proposal-proposal yang kita tulis. Saya kira, mereka cukup respect dan cukup senang, karena ketika melihat gelaran Y20 maupun G20 di Indonesia, mereka sudah research bagaimana keberagaman yang ada di Indonesia.
Tentunya pengalaman organisasi saya di PMI, giat membumikan Pancasila, nilai-nilai keberagaman, kemudian tentang Bhineka Tunggal Ika, ini bisa menjadi spirit tersendiri bagi teman-teman yang terlibat. Kita juga selama ini punya kelompok namanya Cipayung, itu terdiri dari teman2 Kristen, Hindu dan Budha, Katolik dan kelompok Muslim yang biasa melakukan kegiatan bersama-sama.
Itu contoh, bahwa kita dengan berbagai latar belakang berbeda, tapi untuk kepentingan misi sosial dan kemanusiaan yang sama, kita bekerja bersama-sama. Juga untuk hal-hal lain, bakti sosial, dialog-dialog keberagaman sampai ke tingkat provinsi dan kota-kota.
Diversity and inclusion lebih fokus ke pendidikan dan ekonomi kreatif?
Selain menjadi Ketua Umum PMI, saya juga mengelola pondok pesantren dengan keluarga besar saya. Bagi saya, pendidikan merupakan salah satu kunci untuk semua permasalahan yang ada di negara manapun. Ini inti, makannya saya tertarik membawa pengalaman saya, dalam kehidupan sehari-hari saya di bawa ke forum Y20.
Pondok pesantren juga salah satu corong Islam di Indonesia yang berbicara tentang keberagaman, tentang keyakinan, tentang harmonisasi keberagaman, itu juga menjadi aktor utama di Indonesia. Belakangan pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan, tapi juga pusat pemberdayaan. Untuk itu 5-10 tahun terakhir, pesantren sudah banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat ekonomi dengan kelompok-kelompok kecil. Saya rasa ini akan berdampak langsung pada masyarakat. Biasanya pesantren yang menjadi center, kita mengelola semisal bank mikro syariah, kita memberikan pinjaman, jaminan untuk masyarakat ekonomi dengan skema sederhana, tapi bisa langsung menyasar ke masyarakat.
Hari ini, santri enggak hanya bisa mengaji secara kultur, tradisional, tapi juga banyak pesantren-pesantren punya studio, kegiatan kelas multimedia, otomotif dan sebagainya. Itu juga bisa mempromosikan nilai-nilai ekonomi yang langsung menyentuh masyarakat. Bisa membuka skill, komunitas dan wawasan. Pondok pesantren relatif berada di berbagai daerah non urban, sehingga bisa menjadi partner utama stakeholders, baik pemerintah maupun sektor swasta dalam memutus ketimpangan sumber daya manusia yang ada, karena pondok pesantren menyediakan pendidikan bagi masyarakat di level manapun.
Dengan begitu, keberagaman dalam sudut pandang wilayah, ketimpangan wilayah, kota besar, kota kecil, akses pendidikannya berbeda. Tapi, pondok pesantren di manapun, dengan kemandiriannnya bisa memberikan akses pendidikan kepada masyarakat.
Implementasi pesantren di Indonesia familiar, bagaimana membawanya ke global?
Ini hal yang unik, terutama pondok pesantren tradisional. Saya selalu memperkenalkan kepada mereka, bahwa ada sistem pendidikan tradisional, living together, dan pembelajaran enggak hanya ada di kelas, ketika guru dan murid masuk ke dalam ruangan yang sama, setelah itu tidak ada pendidikan lagi.
Full day school itu istilah saja, tapi di pondok pesantren itu sudah ratusan tahun dijalankan. Bagaimana santri hidup bersama masyarakat, gurunya dan mereka bisa berinteraksi dengan teman yang beda wilayah. Itu pendidikan karakter yang ditanamkan, bagaimana dedikasi mereka pada pendidikan dan masyarakat melebihi sistem pendidikan lain, tapi kembali tergantung masing-masing individu.
Konsep pesantren sudah pernah tersampaikan dan seperti apa responsnya?
Secara langsung tidak, karena kalau disguise detail, tentu akan banyak yang berbeda dengan negara lain. Tapi kita mencari Common sense, mencari prinsip-prinsip yang bisa menyatukan kita semua. Jadi ketika bicara policy proposal, kita enggak detail turunannya, jadi kita bicara prinsipal, asas, pondasi pokok, apa yang harus dilakukan.
Ajakan pemuda balik kampung?
Ini yang sedang saya bicarakan dimana-mana, karena kalau semua orang muda yang potensinya pintar dan semuanya tinggal di Jakarta, Surabaya, Semarang, lalu siapa yang akan membangun desa? Sekarang lagi tren wisata berbasis desa, saya kira itu akan sangat potensial beberapa tahun mendatang, ketika itu bisa dikelola dengan baik. Akan sangat banyak wisata-wisata yang berbasis desa, komunitas yang bisa di dorong anak muda di daerah. Daripada yang membangun (wisata) justru investor yang memiliki kekuatan kapital, justru keuntungannya tidak ada untuk masyarakat lokal.
Sementara, kita champagne di banyak daerah, dan harus ada komitmen dari pemerintah lokal dan juga dari private sector local, bagaimana mereka me-support anak-anak muda yang punya komitmen untuk membangun daerah. Bisa dengan insentif, fasilitas, asalkan bisa dipertanggungjawabkan. Itu sangat penting dan sudah ada program-program tersebut.