Sekjen PAN: Kami Jauh Lebih Matang Ketimbang Tahun 2019
Bagaimana PAN melihat beban biaya pemilu yang mahal bagi partai politik?
Salah satu ekses dari demokrasi langsung itu yaitu memang adanya beban pemilu yang tinggi. Negara seperti Indonesia mungkin berbeda dengan Thailand, Malaysia atau Vietnam karena populasi Indonesia sangat besar. Dalam satu dapil saja mungkin ada 2,5 sampai 3 juta warga yang tinggal, mungkin itu separuh dari negara di tempat-tempat yang lain.
Makanya biaya mengumpulkan massa tidak murah. Masyarakat itu harus ada uang transportasi untuk datang. Harus kami berikan dan itu dibolehkan oleh peraturan KPU. Kami bisa memberikan sampai dengan kalau tidak salah Rp 60 ribu per kepala.
Katakan saja, kami satu minggu melakukan pertemuan lima kali. Satu kali pertemuan 200 orang kami undang, jadi 1.000 orang kali Rp 60 ribu berapa coba. Itu tidak bisa satu kali. Kalau kami menargetkan 5% suara dari 2,5 juta orang, itu sudah 125 ribu. Dihitung saja 125 ribu orang dikali Rp 60 ribu. Jadi memang itu salah satu tantangan terbesar kami.
Lalu bagaimana strategi mengatasi beban biaya tersebut?
Ada juga di antara anggota-anggota dewan kami mengeluarkan dana yang minim karena dilakukan secara gotong royong. Ini karena pemilih memiliki harapan besar untuk bisa mengusung putra daerah dari dapil yang bersangkutan. Tetapi saya tidak menutupi kenyataan bahwa memang ongkos politik itu relatif cukup tinggi.
Bagaimana pula PAN memastikan biaya politik itu tidak menjadi transaksional dan mempengaruhi kualitas dari anggota dewan yang terpilih?
Kalau kita lihat politik di luar negeri, sesorang itu menjadi politikus ketika dia sudah independen secara ekonomi. Kedua, dia mendapatkan pembiayaan penuh dari partainya, dan partainya mendapatkan pembiayaan penuh dari negara. Jadi di sana politikus adalah sebuah profesi.
Idealnya bisa berlaku juga di Indonesia. Makanya pernah ada sebuah wacana agar biaya politik parpol itu ditanggung oleh negara dan anggarannya Rp 10 ribu per suara yang diperoleh oleh partai tersebut. Karena itu ada biaya agar partai bisa bisa melakukan pendidikan, pembekalan, termasuk juga pembiayaan. Ujungnya menghasilkan pemimpin yang baik dan tidak punya hutang budi kecuali pada partainya.
Ada contoh mekanisme pembiayaan yang tak memberatkan kader PAN dalam Pemilu?
Gaji saya sebagai anggota dewan sudah dipotong, kemudian saya punya potongan tunjangan-tunjangan tertentu yang ada di dewan. Itu dijadikan tabungan milik saya, tapi dikelola oleh partai. Menjelang pemilu, tabungan itu dikembalikan ke saya untuk modal maju. Maka saya tidak perlu susah-susah lagi untuk mencari atau mendapatkan dari sumber-sumber yang mungkin tidak bisa dipertanggungjawabkan di kemudian hari.
Di samping itu ada bantuan dukungan dari partai, tapi dukungan dari partai lebih bersifat atribut, bendera, kaus, spanduk, dan lain-lain.
Bagaimana PAN melihat demokrasi saat ini? Apa saja tantangan demokrasi di Indonesia?
Kami harus melihat bahwa demokrasi itu harus dikuatkan. Masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa one vote one value dan one man itu adalah kedaulatan yang dimiliki seseorang. Jadi kedaulatan itu jangan digadaikan hanya dengan misalnya sembako dua bungkus, amplop Rp 100 ribu misalnya.
Jika memiliki kedaulatan maka kita bisa pilih siapapun karena tahu orangnya, tahu misinya, tahu apa yang telah dikerjakan. Tapi, kalau sistemnya berubah jadi partai yang memilih siapa yang layak menjadi anggota dewan, akan menjadi membeli kucing dalam karung. Dia tidak mempunyai tanggung jawab ke masyarakat tapi ke partai.
Lalu yang harus kita kedepankan adalah demokrasi substansial, demokrasi gagasan, demokrasi ide. Bukan demokrasi yang sifatnya hanya mencari jalan pintas untuk mencari suara, tetapi ujung-ujungnya membelah masyarakat. Seperti yang sekarang kita lihat, ada politik identitas, itu bagian dari demokrasi yang buruk. Lebih buruk lagi kalau pengalaman 2019 kita ulang lagi di 2024.
Apa yang akan dilakukan PAN untuk mencegah hal-hal buruk itu terjadi?
Dalam sekolah politik kami ada salah satu kurikulum yang kami sampaikan kepada peserta. Isinya memajukan demokrasi gagasan. Jadi kami harus sifatnya problem solving masyarakat. Makanya kami minta agar seluruh caleg dan anggota dewan PAN mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Dari situ kami kemudian bicara bahwa kami sebagai anggota dewan dan kader mampu melakukan sesuatu. Misalnya saya sebagai anggota dewan mampu memberikan undang-undang yang misalnya menguatkan perempuan terhadap kekerasan seksual. Mungkin juga membela asisten rumah tangga dengan adanya undang-undang PRT, dan lain-lain.
Jadi yang kami kedepankan adalah apa yang bisa dibuat secara riil dan langsung berdampak pada masyarakat. Bukan justru jualannya agama, hal-hal yang sifatnya membelah masyarakat.
Apa yang menjadi fokus PAN dalam legislasi 5 tahun ke depan?
Kami ingin memperjuangkan agenda reformasi yang belum tuntas misalnya pematangan demokrasi. Kami juga menghendaki adanya ekonomi yang lebih digerakkan oleh UMKM. Kami juga ingin agar proses hilirisasi dari industri itu berjalan, dan berbagai agenda lainnya.
PAN berupaya untuk menjadi bagian dari pemerintahan tapi juga menjadi bagian yang mampu memberikan kritikan kepada pemerintahan. Jangan hanya sekadar duduk dan kemudian mengabaikan hal-hal yang masih dianggap belum pas. Jadi kami ingin menjadi mitra kritis pemerintah.
Menurut PAN apa yang harus jadi fokus pemerintahan selanjutnya?
Tantangannya besar. Dunia berubah secara drastis pasca Covid-19, jadi masalah kesehatan menjadi prioritas. Menjaga rantai pasok itu juga menjadi prioritas. Prioritas lain adalah bagaimana kita bisa mengembangkan energi hijau, energi terbarukan. Karena sekarang ini kita lihat dampak terhadap lingkungan terutama cuaca, musim, itu besar sekali. Sekarang musim tidak bisa diprediksi, sering ekstrem, itu adalah dampak climate change.
Tapi tantangan terbesar yang perlu kita fokuskan untuk pemerintahan ke depan adalah mengenai kemandirian khususnya di bidang pangan dan energi. Selama Covid-19 kita diajarkan bahwa ketika negara lain mempertahankan bahan baku, kita tidak punya apa-apa. BBM, kita masih impor, begitu pula pangan, beras, gula, terigu, masih kita impor. Jadi masalah kemandirian saya kira menjadi hal yang penting ke depannya.
Kesenjangan masih menjadi masalah di Indonesia. Terlihat dari unggahan di media sosial Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dengan Presiden Joko Widodo ketika blusukan ke Lampung. Bagaimana pemerintahan selanjutnya mengatasi ini?
Kalau menganalogikan karena infrastruktur, itu tidak mutlak disparitas. Itu karena penyalahgunaan jalan yang tidak boleh dilalui oleh kendaraan dengan muatan yang overload, itu masalah hukum.
Tapi kalau kita bicara mengenai disparitas, tolok ukurnya dengan gini ratio, bisa diturunkan. Bagi PAN, kuncinya bagaimana bisa memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga negara. Sekolah, kesehatan, akses untuk bisa mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri itu harus difasilitasi oleh negara.
Malaysia sekarang sudah bisa berpikir untuk mengirimkan astronot ke ruang angkasa, karena pendidikan dibiayai oleh negara. Begitu pula Cina. Jadi kesempatan yang sama itu menurut saya itu sangat penting untuk ke depannya.