Mahfud MD: PDIP dengan Saya Tidak Ada Kata-kata Petugas Partai
Musim kampanye tengah berlangsung. Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden berlomba untuk menaikkan elektabilitas. Tak terkecuali Mahfud MD, cawapres dari nomor urut tiga.
Ia fokus pada daerah yang masih sedikit suara untuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). “Saya masuk ke jalur hijaunya. PDIP kan merah,” ucap Mahfud dalam episode 7 acara Pergulatan Politik (Gultik) bersama pembawa acara Wahyu Muryadi beberapa waktu lalu.
Bersama Ganjar Pranowo sebagai capres, Mahfud yakin memiliki modal yang kuat untuk memenangkan Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024. Menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan itu juga bicara soal potensi kecurangan pada Pemilu dan siapa rivalitas terkuatnya.
Seperti apa jawabannya? Berikut isi wawancara tersebut:
Bagaimana strategi mengejar ketertinggalan suara Nahdlatul Ulama dan bagaimana mempertahankan dukungan Muhammadiyah?
Kalau warga Muhammadiyah itu relatif rasional. Artinya, kelas menengah ke atas. Pilihannya sudah final berdasarkan pertimbangan sendiri. Kalau warga Nahdliyin biasanya manut dan tawadhu kepada guru-gurunya.
Sebab itu, untuk kalangan Nahdliyin saya tidak banyak membuat acara yang masif tapi silaturahmi dengan kyai-kyainya saja. Strategi saya adalah menemui tokoh-tokoh loyal di second layer dari pesantren-pesantren.
Artinya, mendekati kyai-kyai itu efektif?
Menurut saya, efektif. Lebih efektif daripada ramai-ramai. Kalau saya ke pesantren, saya bilang Pemilu itu tanggung jawab agama, bukan hanya tanggung jawab kita sebagai warga negara Indonesia. Agama juga mengajarkan untuk menjaga dan memelihara negara itu wajib hukumnya. Karena itu, ikut pemilu adalah wajib.
Tapi hubungan antara kyai dan santri sekarang berbeda dengan zaman dulu.
Sekarang santri memang belum tentu ikut kyainya. Kyai sudah deklarasi dukung si A, ternyata santrinya tidak ikut. Banyak sekarang. Karena itu, strategi saya tidak pada pucuknya, biar tidak ewuh pekewuh.
Kyai-kyai didekati, apakah pilihannya di Jawa saja, khusus Jawa Tengah dan Timur?
Kalau saya datangi dan ajak diskusi di Jawa Barat, Jawa Timur, lalu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh.
Anda mendatangi daerah yang mungkin suara Ganjar-Mahfud lemah?
Iya, mungkin PDIP lemah. Lalu, saya masuk ke jalur hijaunya. PDIP kan merah.
Bagaimana dengan soal gagasan?
Untuk kelas menengah ke atas, saya selalu bicara korupsi dan penegakan hukum. Korupsi itu menyebabkan kemiskinan menjadi lebih besar. Jadi menghambat pemerintah untuk memberantas kemiskinan.
Lalu, penegakan hukum ada dua lapis. Di masyarakat bawah terjadi kesewenang-wenangan. Rakyat kecil diinjak-injak, hartanya dirampas, tidak mendapat perlindungan hukum.
Jadi benar, hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah?
Iya, kalau mau dikatakan begitu. Nah ke atas kami akan ada penegakan hukum, di bawah ada perlindungan hukum.
Terkait elektabilitas, Ganjar-Mahfud konsisten menurun. Sedangkan keterpilihan Anies-Muhaimin dan Prabowo-Ganjar konsisten naik. Bagaimana cara mengatasinya?
Kami kejar nanti. Menurut saya, survei bisa berubah, dipengaruhi situasi. Saya percaya pada teori yang mengatakan, ini ada PDIP, Bu Mega (Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri), dan Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo). Ketika Bu Mega dan Pak Jokowi ada konflik, ini yang naik-turun. Tapi selalu yang di tengah ini konsisten, sudah ada angka maksimalnya, sudah dihitung.
Jadi, tidak apa-apa. Nanti kami buat suatu cara yang simpatik. Kami menghargai apa yang sudah dilakukan pemerintah. Apapun yang dilakukan Pak Jokowi dan saya di dalam pemerintahan, itu kemajuannya besar. Meskipun saya kritik penegakan hukum bermasalah tapi indeks persepsinya naik.
Maksudnya, yang bermasalah itu birokrasi atau lembaga negara yang korup. Tapi persepsi penegakan hukum di survei Litbang KOMPAS terakhir itu 63. Lalu, politik dan keamanan 79 dan kepercayaan rata-rata terhadap pemerintah 73. Berarti kalau dilihat angkanya tinggi.
Tapi harus diakui di beberapa sektor dan manajemen aparatur penegak hukum masih harus diperbaiki. Menurut saya, tidak terlalu susah. Yang penting kita mau atau tidak.
Artinya tidak terlalu susah Anda menjadi menteri koordinator bidang politik, hukum, dan keamanan?
Ya. Selama saya menjadi Menkopolhukam, Anda tahu saya masuk ke kasus-kasus besar yang tidak pernah dimasuki oleh Menkopolhukam lain. Saya masuk meskipun itu kewenangan kejaksaan, kepolisian, atau pengadilan. Saya masuk dalam batas-batas yang ditentukan.
Jadi, intervensi?
Bukan intervensi. Tapi mengarahkan atau mengkoordinir. Misalnya, ini macet. Nah, saya punya data, terbongkar kasus-kasus besar. Seperti kasus Indosurya atau yang paling fenomenal kasus pencucian uang Ferdy Sambo. Saya masuk di situ. Karena saya punya data dan wewenang untuk mengkoordinir semua. Dikawal terus.
Artinya, selama ini orang yang mengkritik salah paham dengan Anda?
Anda tahu sudah 16 Menkopolhukam, mulai dari Panggabean (Jenderal TNI Maraden Panggabean), tidak ada satu pun yang ngomong bahwa pemerintah jorok. Baru saya yang ngomong dan bertindak.
Mereka sudah enggak ngomong, enggak bertindak. Tidak ada tuh Menkopolhukam yang menyelesaikan kasus atau melempar isu. Menurut saya, ini suatu kemajuan.
Saya sudah eksekusi kasus yang besar-besar. Dan saya beritahu ini juga bahwa aparat ini jorok sehingga harus diperbaiki.
Ketika terpilih menjadi wakil presiden, Anda menyampaikan ke Bu Mega agar dapat akses ke Menkopolhukam. Apa pentingnya?
Selama ini Menkopolhukam terlepas dari wakil presiden. Padahal bisa ditangani wakil presiden. Kalau Pak Harto (Presiden ke-2 RI Suharto) dulu ada wakilnya. Tugas wakil presiden di bidang pengawasan pembangunan.
Saya minta penegakan hukum, tapi tetap di bawah tanggung jawab presiden. Saya hanya akan membantu dan memberi solusi, kemudian presiden yang harus memutuskan.
Anda meminta itu ke Bu Mega. Jadi, beliau sebagai ketua umum partai posisinya sangat penting?
Enggak. Ketika saya diminta oleh Bu Mega mengurusi penegakan hukum, pemberantasan korupsi, pelanggaran HAM (hak asasi manusia), dan lainnya, saya bilang oke. Kalau Ibu tugaskan saya, saya minta akses nanti presiden menugaskan secara khusus kepada saya ini. Tetapi tetap di bawah hak prerogatif dan di bawah kendali presiden.
Itu saya sampaikan ke Bu Mega, bukan untuk minta izin. Terus beliau bilang iya itu harus dilakukan. Lalu, saya bilang ke Mas Ganjar. Dia bilang iya, berarti malah bagus. Ini tidak melanggar kewenangan, tinggal presiden yang memerintahkan. Soal manajemen saja.
Berkali-kali Bu Mega menyebut Pak Jokowi adalah petugas partai. Mungkin juga ini terjadi kepada Pak Ganjar. Anda bisa lebih rendah lagi posisinya?
Enggak juga. Di dalam surat pernyataan yang saya buat itu tidak ada petugas partai. Mungkin di internal PDIP.
Partai kan tugasnya melaksanakan konstitusi sesuai AD/ART (anggaran dasar dan anggaran rumah tangga) partai. Tapi dengan saya tidak ada kata-kata petugas partai. Saya hanya disuruh menangani itu dan saya minta akses tersebut dan saya setuju.
Itu dalam bentuk akad atau kontrak politik?
Saya mengatakan bersedia menjadi calon wakil presiden dan melaksanakan tugas sesuai konstitusi. Jadi saya tanda tangan bahwa saya bersedia. Sesudah itu, Bu Mega memberi tugas-tugas yang itu tadi, lebih spesifik.
Modal yang membuat Anda yakin menemani Ganjar Pranowo memenangi Pilpres?
Modalnya ya track record saya. Saya sudah 24 tahun di pemerintahan. Saya bekerja di bidang itu dan selalu bisa enggak ada masalah, enggak ada catatan jelek. Itu sudah modal utama karena kalau orang cacat itu pasti tersandar.
Anda dikenal sebagai orang yang sederhana, apa adanya, dan lugas.
Itu modal saya. Lugas dan sederhana itu tidak dibuat-buat. Jadi alamiah.
LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) Anda berapa?
LHKPN saya Rp 28 miliar. Itu memang gede karena saya selama 24 tahun bekerja dan gajinya di atas Rp 100 juta setiap bulan.
Kalau saya tidak mau masuk komisaris. Saya sudah ditawari. Bahkan saat menjadi menteri, saya bekerja sebagai konsultan hukum di sebuah perusahaan energi di Singapura. Gaji saya lebih besar dari menteri dan saya boleh duduk di situ meskipun menjadi menteri. Tapi saya akhirnya mengundurkan diri karena saya menteri.
Jadi, kalau orang bilang menteri kok miskin. Saya bilang, enggak juga karena gaji saya besar. Tapi (LHKPN) sampai ratusan miliar itu ya sambil usaha.
Rivalitas terberat Anda siapa di antara dua pasangan calon lainnya?
Sama saja saya kira. Cuma harus diakui mungkin kalau dari sudut jaringan dan struktur, mau-tak mau memang pasangan nomor dua, karena ini ada putra presiden. Secara psikologis itu ada pengaruhnya. Tapi kami jalan saja, asal tidak melanggar hukum.
Paslon nomor dua ini jaringannya kuat. Lalu, struktur birokrasi juga kami pantau memang ada gejala-gejala itu.
Ada potensi pemihakan dari aparat?
Iya, potensinya besar dong. Kalau dari laporan-laporan media memang ada. Kemudian informasi yang masuk ke saya juga ada potensi itu. Tetapi harus dibuktikan.
Potensi kecurangan ini dikhawatirkan orang-orang?
Begini, sepanjang Pemilu kecurangan pasti selalu terjadi. Kecurangan selalu ada tapi supaya diingat, itu bukan dari pemerintah. Itu dari kontestan yang punya pengaruh ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau ke tempat pemungutan suara (TPS).
Kalau zaman Pak Harto yang curang pemerintah, lembaga pemilihan umum, dan Kementerian Dalam Negeri. Nah, sekarang itu antar partai politik dan kontestan sehingga sifatnya horizontal. Itu pasti terjadi. Saya jamin itu terjadi di dalam Pemilu.