Terapi Stem Cell Bisa Jadi Jawaban untuk Penyakit-penyakit Degeneratif
Penelitian dan pengembangan stem cell atau sel punca di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Terapi sel punca memiliki potensi yang besar untuk mengobati berbagai penyakit degeneratif maupun penyakit yang melibatkan kerusakan atau perbaikan jaringan.
PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) sebagai salah satu pemain di industri farmasi menjadi salah satu pioner dalam penelitian sel punca di Indonesia. Bermula dari inisiatif dr. Boenyamin Setiawan, Phd, pendiri Kalbe Farma, untuk meriset stem cell pada 2005 lewat Stem Cell & Cancer Institute.
Penelitian dasar (basic research) mengenai sel punca ini berlangsung pada 2006 hingga 2013. Hingga akhirnya Kalbe memperoleh izin dan sertifikasi Good Manufacturing Practice (GMP) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 2013. Selanjutnya, lewat kerja sama dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), hasil penelitian sel punca ini diujicobakan kepada hewan dan manusia.
Katadata.co.id berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan Presiden Direktur PT Bifarma Adiluhung (Kalbe Regenic, anak usaha PT Kalbe Farma Tbk), dr. Sandy Qlintang, M. Biomedic, untuk mengupas lebih dalam mengenai perkembangan stem cell atau sel punca di Indonesia. Ikuti wawancaranya berikut ini.
Bisakah dokter jelaskan, apa yang dimaksud dengan stem cell atau sel punca dan sejak kapan dikembangkan oleh Kalbe Farma?
Untuk perkembangan stem cell atau sel punca ini Kalbe Farma sudah memiliki inisiatifnya dari founder-nya Kalbe, yakni dr. Boenyamin Setiawan, Phd sejak 2005. Inisiatif ini terealisasi pada 2006 dengan dibentuknya lembaga riset yang khusus melakukan penelitian di bidang sel punca, yakni Stem Cell and Cancer Institute.
Pada saat itu perkembangan sel punca di Indonesia bisa dikatakan belum ada sama sekali sehingga teknologi tersebut belum dipahami oleh masyarakat. Namun, beliau memang memiliki visi yang jauh ke depan, visioner, sehingga mendorong pengembangan ini dan investasi oleh Kalbe.
Sejak 2006 hingga 2013, Stem Cell and Cancer Institute ini melakukan penelitian di bidang sel punca secara in-vitro atau laboratorium. Sampai 2013 Kalbe membuat pabriknya yang bersertifikasi Good Manufacturing Practice (GMP) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) setelah itu baru kita ujicoba ke binatang karena untuk memastikan keamanannya.
Setelah ujicoba ke hewan dan aman, setelah itu baru ujicoba ke manusia. Waktu itu kita bekerja sama dengan RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), khususnya di bidang ortopedi. Sampai saat inilah sel punca di Indonesia semakin berkembang pesat dan banyak digunakan masyarakat untuk penyakit-penyakit degeneratif. Ini sangat menjanjikan untuk terapi pengobatan yang terbarukan di Indonesia.
Kalau terapi sel punca di Indonesia mulai populer sejak kapan, Dok? Kabarnya sejak Covid-19 pada waktu itu digunakan pada pasien yang kritis dan ternyata hasilnya bagus?
Terapi sel punca ini sebenarnya sebelum Covid-19 sudah dikenal di RS-RS pendidikan khususnya untuk penelitian. Misalnya Kalbe yang berkolaborasi dengan RSCM. Seperti saya selalu sampaikan kepada masyarakat dan pemerintah setiap kali saya presentasi, memang perkembangan sel punca ini sangat cepat dengan adanya Covid-19.
Pada waktu 2019 di Wuhan, Cina ada kematian akibat virus Covid-19 ini dan terjadi pandemi pada Maret 2020. Waktu itu di Wuhan ada sepuluh pasien kondisi Covid-19 berat dan kritis, mereka diberikan terapi sel punca. Berkat terapi ini, mereka bisa sembuh total. Ini kemudian dipakai di seluruh dunia untuk penggunaan stem cell dalam penanganan Covid-19, tidak terkecuali di Indonesia.
Kalbe bekerja sama dengan tiga rumah sakit, yakni RS Muwardi, RS Hasan Sadikin, dan RS Dr Sardjito di Jogja. Kami mendapatkan dana hibah dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk 40 pasien Covid-19 dan hasilnya sangat menjanjikan dan aman. Dari situ masyarakat mengetahui bahwa terapi sel punca ini aman setelah itu baru bicara efektivitas.
Keamanan ini harus dipastikan dari sel punca yang diproduksi dari fasilitas yang mendapatkan sertifikasi GMP dari BPOM. Itu yang paling penting. Sejak Covid-19, seluruh RS dan dokter-dokter sudah terekspos dengan terapi sel punca ini dan mereka ingin mencobanya pada penyakit degeneratif lainnya. Hingga saat ini, terapi sel punca semakin dikenal di kalangan masyarakat dan dunia medis.
Sel punca itu sebenarnya diambil dari bagian tubuh yang mana dan bagaimana cara penggunaannya?
Jadi, sel punca itu sebenarnya sudah ada di tubuh kita waktu kita diciptakan di rahim ibu (di dalam kandungan). Pertemuan sel ayah dan sel ibu di dalam rahim yang kemudian membentuk organ tubuh kita yang lengkap di dalam rahim. Setelah kita dilahirkan, pertanyaannya sel punca itu ada di mana? Sel punca itu berada di seluruh dinding-dinding pembuluh darah kita.
Setiap organ tubuh kita yang diambil itu pasti ada sel puncanya. Sel punca yang ada di dalam tubuh kita ini berfungsi sebagai apa? Berfungsi untuk memproteksi tubuh kita dari segala kerusakan. Makanya waktu kita kecil, kalau kita mengalami jatuh, demam, dan sakit lainnya itu sembuhnya cepat karena sel puncanya masih bagus sekali.
Namun, seiring bertambahnya usia, kalau kita berusia 50-60 tahun itu kalau jatuh lama sembuhnya, kenapa? Karena sel punca itu juga mengalami penuaan, tetapi yang paling berbahaya itu penuaan sel punca dipercepat dengan gaya hidup kita, faktor eksternal seperti polusi udara, makanan yang tidak sehat. Sehingga, banyak penyakit degeneratif yang dipercepat.
Makanya sekarang orang usia 30 tahun sudah ada diabetes, ada usia 25 tahun sudah kena stroke. Padahal seharusnya sel puncanya masih bagus. Kenapa? Ya, karena penuaan sel punca dipercepat dengan pola hidup yang tidak sehat tadi.
Karena itu, sel punca bisa diambil dari tubuh kita tetapi kalau dari tubuh yang usianya tua dan sudah ada sakit-sakit, tentunya kualitas sel puncanya kan juga jelek. Sel punca yang terbaik diambil dari mana, tentunya dari yang paling muda, yakni embrio. Tapi, kalau dari embrio itu kan secara agama dan etika tidak diperbolehkan. Kalau begitu yang terdekat dengan embrio apa, tentunya tali pusat atau ari-ari. Nah, tali pusat inilah yang kami gunakan untuk pengembangan sel punca di Kalbe.
Kalau untuk Kalbe, saat ini pengembangan untuk perbanyakan sel punca ini apakah semuanya dilakukan oleh Kalbe sendiri atau ada kerja sama dengan perusahaan atau institusi lain dari dalam maupun luar negeri?
Sangat membanggakan bagi Indonesia, Kalbe mengembangkannya dengan teknologi sendiri. Kami tidak mengembangkan (sel punca) ini dengan pihak luar negeri, ini karya anak bangsa. Tali pusatnya juga diambil dari orang Indonesia. Yang ada di Kalbe saat ini, dari satu donor tali pusat ini bisa diperbanyak menjadi lebih dari 5 triliun sel punca.
Waktu itu ada 10 triliun sel tetapi karena ada Covid-19, untuk penelitian dan lain-lain, sudah berkurang menjadi 6 triliun sel. Itu dipakai terus. Menurut saya, hanya dengan teknologi di Kalbe ini yang satu-satunya bisa membuat dari satu donor untuk memproduksi puluhan triliun sel. Ini yang saya kira tidak ada di mana-mana, untuk membuat satu donor menghasilkan triliunan sel itu tidak mudah.
Pengembangan sel punca ini dilakukan oleh Kalbe Regenic (anak usaha Kalbe Farma)?
Betul, jadi pabriknya ada di Pulogadung di Kalbe Business Innovation Center (KBIC). Kalbe Regenic atau PT Bifarma Adiluhung yang merupakan anak usaha Kalbe Farma ini dibangun sejak 2020 dan sudah bersertifikasi GMP dari BPOM. Sebelumnya, pabriknya ada di Stem Cell and Cancer Institute tetapi waktu itu masih kecil bangunannya. Sekarang kurang lebih 800 m2 area pabriknya.
Tadi disebutkan kalau beberapa penyakit degeneratif dan Covid-19 bisa diterapi dengan sel punca. Selain itu, penyakit apa lagi yang bisa ditangani dengan terapi sel punca ini?
Untuk menjawab ke situ, saya akan tarik mundur ke belakang. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32 Tahun 2018, terapi sel punca di Indonesia itu adalah terapi berbasis penelitian atau pelayanan berbasis penelitian. Dalam penelitian ini, setiap penggunaan sel punca ini harus dilakukan di rumah sakit-rumah sakit vertikal di bawah Kementerian Kesehatan.
Namun, di Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 itu menunjukkan bahwa terapi sel punca di Indonesia ini dibagi dua. Yang pertama adalah pelayanan berbasis penelitian. Yang kedua, standar layanan. Menjadi standar layanan ini yang menarik, dari beberapa kolegium, baik dari kolegium ortopedi dan traumatologi, kolegium penyakit dalam, kolegium bedah plastik, dermatologi estetik, dan seterusnya mengajukan ke Kementerian Kesehatan karena sudah menjadi pelayanan berbasis penelitian dan hasilnya menjanjikan.
Mereka mengajukan beberapa indikasi untuk mendapatkan persetujuan dari Kementerian Kesehatan untuk menjadi standar layanan. Yang baru-baru ini dikeluarkan dan disetujui oleh Kementerian Kesehatan adalah untuk ortopedi dan traumatologi untuk osteoartritis, spinal cord injuries atau cedera tulang belakang. Ada kurang lebih 14 indikasi. Ketika menjadi standar layanan, ini bisa digunakan di seluruh RS swasta dan klinik.
Ini menarik perkembangannya. Setelah ortopedi dan traumatologi nanti akan menyusul penyakit dalam, bidang bedah plastik, dan kulit serta bidang-bidang lainnya. Ini mengubah peta pengobatan berbasis terapi sel di Indonesia bahkan untuk support atau coverage dari asuransi swasta pun akan terjadi. Kalau di-support oleh asuransi swasta pasti banyak masyarakat yang terbantu untuk penyakit-penyakit ini. Macam-macam penyakit yang bisa teratasi. Saat ini yang sudah menjadi standar layanan adalah osteoartritis, spinal cord injury, frozen shoulders, termasuk syaraf kejepit.
Untuk penyakit dalam dan sebagainya akan segera ditandatangani, misalnya di bidang autoimun, diabetes, dan neurology seperti stroke dan parkinson, banyak sekali yang nanti bisa dimanfaatkan masyarakat.
Ke depan dengan perkembangan teknologi, tentunya akan ada temuan-temuan baru yang bisa mempercepat pengembangan terapi sel ini ya, Dok?
Ya, temuan-temuan baru akan ada. Di Kalbe, di pusatnya R&D Stem Cell and Cancer Institute kami sudah menemukan atau membuat sel punca yang disebut induce pluripotent stem cell, artinya stem cell yang berasal dari sel tua tetapi direkayasa menjadi sel muda.
Sel muda ini bisa didiferensiasi menjadi sel seluruh organ tubuh kita. Ini penelitiannya akan sangat luar biasa, karena kita bisa menciptakan sel hati, kita bisa menciptakan sel beta pankreas, sel otak dan sebagainya. Sejak saat itu, pengobatan-pengobatan yang lebih dipersonalisasi akan terjadi di masa yang akan datang.
Kalbe saat ini sedang melakukan penelitian bekerja sama dengan berbagai akademisi. Bahkan, kemarin ada kunjungan dari salah satu pemegang hak paten sel punca xeno free, Pak Rizal (Rizal Azis, Dosen Program Studi Teknik Biomedik, Fakultas Teknik Universitas Indonesia) dari Nottingham, Inggris. Kita berdiskusi mengenai perkembangan-perkembangan yang ada di Inggris, beliau ada di Indonesia saat ini. Kami mengajak beliau berkolaborasi untuk membuat teknologi-teknologi baru untuk pengembangan sel punca untuk kembali lagi demi kesehatan masyarakat.
Permintaan untuk terapi sel punca saat ini apakah dari dalam negeri saja atau ada juga permintaan untuk pasar ke luar negeri?
Permintaan ke luar negeri sebenarnya banyak yang menghubungi kami dari Malaysia, Singapura, dan Vietnam, tetapi produk ini belum bisa diekspor untuk dikomersialisasikan di luar negeri. Kenapa? Karena butuh izin edar.
Saat ini Kalbe Regenic sedang bekerja sama dengan BPOM untuk mendapatkan izin edar, khususnya untuk indikasi osteoartritis. Kalau sudah mendapatkan izin edar, Indonesia bisa mengekspor ke negara-negara tersebut karena fasilitas produksi kita diterima di seluruh negara ASEAN. Itu nanti bisa kita ekspor dan mendatangkan devisa negara.
Namun, bukan berarti sel punca kita belum pernah dipakai oleh luar negeri. Orang Singapura yang kebanyakan datang untuk mendapatkan terapi sel punca ini. Harapannya sejalan dengan program pemerintah untuk mendatangkan devisa negara, kita melakukan wellness tourism.
Apakah ada yang dibawa ke luar negeri, Dokter pernah cerita ada yang dibawa hand carry?
Ya, tetapi itu jarang sekali dan digunakan untuk terapi osteoartritis di keluarganya sendiri. Hand carry seperti itu membutuhkan regulasi yang ketat untuk ke bea cukai dan sebagainya. Lebih banyak yang datang ke Indonesia, salah satunya di Bali sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kita akan kembangkan terapi sel punca untuk orang-orang dari Australia, Singapura, Amerika Serikat.
Ada rencana Kalbe untuk membangun fasilitas khusus di KEK Kesehatan, di Sanur, Bali?
Rencana ada, tentunya kami akan berkolaborasi dengan investor lokal di Bali untuk fasilitas wellness berbasis terapi sel.
Tadi Dokter sebutkan sebenarnya terapi sel punca ini sudah ada di luar negeri dan mungkin orang-orang Indonesia juga ada yang berobat ke sana. Setelah ada standar layanan ini, kira-kira prospek ke depannya akan seperti apa?
Perkembangan terapi sel punca ini akan berkembang pesat karena satu dari regulasinya sendiri yang mendukung dengan penelitian berbasis layanan menjadi standar layanan. Dengan adanya standar layanan ini, seluruh rumah sakit swasta dan pemerintah maupun klinik utama akan lebih mudah menggunakan sel punca dan turunannya ini karena diatur dengan regulasi pemerintah. Tentunya dengan monitoring ketat untuk menjaga keamanannya dengan dilakukannya post marketing surveillance untuk dilaporkan ke BPOM jika ada efek samping.
Yang kedua, perkembangan sel punca di Indonesia tidak kalah dengan perkembangan sel punca di seluruh dunia. Ini yang menjadikan sel punca ini menjadi project yang luxury buat Indonesia karena kita berkembang bersama-sama. Kita harus terus mempertahankan momentum ini jangan sampai ketinggalan.
Selain terapi sel punca ini, Kalbe bekerja sama dengan perusahaan Korea yang bernama Green Cross atau GC Cell untuk pengembangan terapi sel imun. Terapi sel imun ini dikhususkan untuk terapi penyakit-penyakit keganasan. Bukan keganasan sel darah seperti Leukimia tetapi tumor seperti yang terjadi pada kanker hati, kanker payudara, kanker paru. Ini sedang kami kembangkan bersama perusahaan Korea untuk membuat fasilitas di gedung ini bersama dengan Regenic.
Kita tunggu, harapannya di midyear tahun depan produknya sudah jadi dan ini bisa sangat membantu pasien-pasien yang mengalami keganasan di organ-organ tubuhnya.
Indonesia ini menjadi pasar yang besar untuk sel punca?
Kalau kita lihat jumlah penduduk Indonesia tahun ini sekitar 280 juta. Kalau kita baca, yang high class itu kurang lebih 3%. Yang menariknya, untuk yang super-super kaya di Indonesia itu ada 1.000 lebih. Nah, 1.000 orang ini menjadi target dari terapi berbasis sel ini. Sel punca, terapi sel imun, dan terapi lainnya yang harganya memang mahal.
Mereka daripada ke luar negeri kenapa enggak di Indonesia saja. Pemerintah juga sedang membangun untuk rumah sakit dengan teknologi yang hebat dan ini menjadi daya tarik bagi 1.000 orang ini. Jangan ke luar negeri untuk menggunakan terapi-terapi canggih ini, untuk Indonesia ini bisa jadi potensi yang luar biasa.
Namun yang tidak kalah penting, industri sel dari luar negeri nantinya juga akan masuk ke Indonesia. Mereka akan rela melakukan investasi. Ini akan menjadi momentum yang bagus bagi pemerintah karena akan mendatangkan devisa selain itu ada proses transfer knowledge dan teknologi yang dipercepat. Oleh karena itu sangat baik sekali peluang saat ini untuk mempertahankan momentum ini.
Saat ini biaya terapi sel punca ini kan masih mahal, ke depan dengan berbagai perkembangan ini harapannya bisa menurunkan biaya juga?
Tantangannya untuk terapi sel ini selain dari kemanjuran dan keamanannya adalah juga dari sisi biaya. Kita berharap terapi sel punca ini bisa dimanfaatkan oleh banyak orang dalam asas keadilan. Semoga hal ini juga menjadi inovasi bagi Kalbe untuk menurunkan biaya produksinya.
Ini tidak mudah tetapi doakan saja semoga inovasi atau improvement di dalam produksinya bisa kita tekan dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Ke depan akan banyak penelitian yang dilakukan di Indonesia dan akan banyak hibah dari berbagai lembaga, seperti Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Kita juga sedang coba kembangkan terapi ini untuk gagal ginjal kronis. Ini targetnya sangat besar di Indonesia dan memakan biaya yang sangat besar untuk BPJS. Kalau kita bisa melakukan itu, akan menekan angka hemodialisis atau kerusakan ginjal.
Yang tidak kalah penting adalah kampanye di bidang preventif dan promotif di dalam pola hidup karena masyarakat banyak yang mengonsumsi makanan tidak sehat. Pemerintah sekarang sedang kencang untuk bikin label untuk makanan yang mengandung gula tinggi yang warna apa, termasuk juga pengendalian rokok.
Kalau kita siapkan teknlogi yang tinggi tetapi dari hulunya gaya hidupnya tidak sehat, berapa banyak yang bisa kita hadapi untuk memperbaiki kesehatan Indonesia. Program promotif dan preventif ini yang seharusnya digencarkan untuk perbaikan kesehatan Indonesia.
Untuk Kalbe, apakah pengembangan sel punca dan terapi sel lainnya ini sudah masuk ke dalam anggaran belanja modal rutin?
Setiap tahun sejak 2006 sudah kita alokasikan, itu sudah sangat tinggi untuk anggaran risetnya.
Dari diskusi dengan Pak Rizal Azis dari Inggris, itu perkembangan apa yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan sel punca di Indonesia?
Yang menarik dari Pak Rizal ini dia sudah mendapatkan paten untuk media pengembangan atau media untuk melakukan kultur sel punca dengan satu media saja. Itu bisa digunakan seluruh jenis sel apapun. Ini akan menekan biaya. Tergantung nanti yang mengambil patennya siapa. Kalau yang mengambil patennya lalu jual mahal, ya sama saja.
Kalau untuk penelitian di Indonesia itu kami bekerja sama dengan beliau. Ini digunakan dalam riset. Kalau mediumnya itu pasti nanti akan diberikan kepada yang memiliki paten atau royaltinya. Ini membuka wawasan baru bagaimana ini bisa berdampak untuk menekan cost karena medium pengembangbiakannya hanya perlu satu saja, tidak perlu banyak variasinya.
Ini juga bisa berdampak pada industri-industri yang memproduksi medium untuk pembanyakan sel punca. Penemuan ini bisa menjadi tantangan yang besar untuk menghadapi produk baru ini yang hanya satu bisa dipakai semua.
Kalau BRIN menyebut pengembangan sel punca dan turunannya ini masuk ke dalam industri kesehatan 5.0, itu sebenarnya apa maksudnya, Dok?
Sebenarnya kalau kita lihat modalitas terapi yang mendukung dunia kesehatan di Indonesia itu dimulai dengan yang pertama, small molecule. Jadi, industri obat itu seperti yang membuat penisilin, kemoterapi itu obat yang berbasis small molecule. Di Kalbe juga ada industri farmasi.
Kedua, berkembang produk-produk berbasis biologi, itu seperti monoclonal antibody, insulin, seritropoitin. Ada juga targeted therapy seperti monoclonal antibody untuk terapi kanker payudara. Yang ketiga, tidak kalah pentingnya adalah medical device seperti alat pacu jantung dan logam untuk pengganti lutut.
Terapi sel ini adalah yang keempat atau 4.0. Terapi sel ini bukan hanya stem cell. Sebenarnya, sel punca adalah bagian dari terapi sel. Selain ada sel punca, ada terapi sel imun, dan sel-sel yang lain.
Kalau di Amerika dan Eropa, terapi ini masuk ke dalam ATMP yakni singkatan dari Advance Therapy Medicinal Products. Produk-produk yang cukup canggih dari obat-obatan small molecule tadi. Di Amerika, sub class-nya adalah cell and genes therapy. Kalau di Eropa ada empat sub class. Terapi sel somatik, terapi gen, terapi tissue engineering, jadi melakukan rekayasa jaringan pun termasuk di dalam terapi sel ini.
Kalau yang 5.0 itu lebih canggih lagi, misalnya rekayasa genetika untuk terapi thalassemia. Thalassemia merupakan penyakit genetik, kita sebagai manusia terima nasib. Itu mereka harus transfusi darah sampai limpanya keracunan besi, obat-obatan yang diberikan juga ada pengikat besi. Transfusi darah itu kan menyebabkan zat besi yang banyak masuk ke tubuh. Kalau itu diubah gennya dengan crisper, bisa kembali normal anaknya. Itu teknologi 5.0.
Semoga enggak lama lagi kita berkolaborasi, doakan saja Kalbe Regenic bisa memiliki teknologi itu. Masalahnya biayanya mahal, tentunya itu akan dihitung total cost. Kalau dibandingkan dengan biaya transfusi darah seumur hidup dan obat-obatan yang harus dikonsumsi dengan satu terapi editing gen ini memang biayanya mahal tetapi seumur hidup sehat dan produktif.
Terapi rekayasa genetika ini bisa dilakukan setelah anaknya lahir atau bisa dilakukan sewaktu masih di dalam kandungan?
Tentu saja baru bisa dilakukan ketika sudah lahir, karena sudah ketahuan screening-nya. Kembali lagi sebenarnya preventif lebih tepat, dilakukan screening. Misalnya ibunya ada enggak carrier thalassemia, bapaknya ada atau enggak. Kalau ada, ya jangan menikah. Masalahnya cinta itu buta, nanti kalau sudah punya anak yang kena thalassemia baru cintanya melek.
Itu kita juga sedang membuat fasilitas laboratorium melalui Kalgen Inolab Kalbe ini dalam project kita untuk melakukan screening thalassemia. Ini sangat penting dibandingkan dengan rekayasa genetikanya yang mahal. Kalau bisa, ya preventif. Kalau sesama carrier thalassemia, dilarang menikah. Ini bisa menimbulkan thalassemia mayor, yang kasihan anaknya.
Harapan dari industri farmasi terhadap pemerintah untuk pengembangan terapi sel ke depannya seperti apa?
Dukungan pemerintah saat ini sangat luar biasa dari sisi regulasi, dari Permenkes dan PP dari penelitian berbasis layanan diubah menjadi standar layanan ini sudah luar biasa dampaknya. Dari BPOM juga mendorong percepatan izin registrasi atau izin edar dari produk-produk ini. Ini akan mendorong industri untuk ekspor ke negara-negara sekitar.
Kemudian, peran pemerintah untuk mendukung wellness tourism atau medical tourism. Saat ini juga dari Kementerian Keuangan ada insentif pajak untuk riset berupa double tax deduction, ini juga sangat mendukung. Jadi, pemerintah saat ini sangat mendukung untuk menciptakan environment perkembangan dari terapi sel ini.
Dari sisi yang lain harus dimonitor secara ketat aspek keamanannya. Tentunya dari para pemain atau pelaku industri sel yang dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Industri dalam negeri yang tumbuh menjamur dalam gelombang momentum ini juga harus dimonitor untuk dikawal proses pasca produksinya.
Kalbe tidak jemu-jemu melakukan edukasi kepada masyarakat akan risiko dari terapi ini bila tidak ada sertifikasi fasilitasnya dari BPOM. Jadi selain dukungan dari pemerintah, kita juga harus mewaspadai keamanannya. Kita kembali lagi pada fasilitas yang memproduksi sel ini harus kredibel dan harusnya industri obat karena ini adalah obat yang next generation. Kalau yang membuat bukan industri obat, masyarakat harus tahu juga risikonya.