Tidak Ada Istilah #KaburAjaDulu Bagi Perusahaan Amerika
Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) Donna Priadi baru-baru ini mengukir prestasi sebagai orang Indonesia pertama yang menjadi Managing Director American Chamber of Commerce atau AmCham. Selama 30 tahun terakhir, Donna telah malang melintang di dunia korporat seperti General Electric, BP Indonesia, hingga PT Pertamina Hulu Energi.
Sebagai orang Indonesia yang mengurus salah satu kamar dagang paling berpengaruh, Donna ingin menjembatani perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang berbisnis di Indonesia. Di tengah ketidakpastian perekonomian global, Donna memastikan perusahaan-perusahaan asing itu tetap berkomitmen bertahan dan meningkatkan investasinya di Tanah Air.
“Buat perusahaan Amerika, enggak ada itu #KaburAjaDulu,” katanya kepada Katadata.
Katadata melakukan wawancara dengan Donna Priadi pada akhir Maret silam. Selama hampir 1,5 jam, kami mendiskusikan berbagai isu terkini. Mulai dari iklim investasi di Indonesia, kebijakan Presiden Prabowo Subianto, hingga manuver-manuver Donald Trump di Amerika Serikat.
“Kebijakan tarif Donald Trump dan perang dagang akan merugikan kita semua,” ia menambahkan.
Berikut petikan wawancaranya:
Anda menjadi orang Indonesia pertama menjadi Managing Director American Chamber of Commerce di Indonesia. Apa yang Anda rasakan?
Saya bersyukur diberi kepercayaan oleh AmCham. Sejak pertama kali AmCham berdiri, MD-nya [Managing Director] selalu Americans, karena memang mewakili dan merepresentasikan perusahaan-perusahaan Amerika yang berada di Indonesia. Dengan penunjukan saya ini, saya berharap bisa memberikan perspektif yang berbeda terhadap pemerintah Indonesia dan juga terhadap bisnis Amerika di Indonesia.
AmCham tidak hanya ingin menjadi wadah platform untuk advokasi ke pemerintah Indonesia, terutama untuk mengenai aturan dan kebijakan, tetapi juga jadi jembatan antara pelaku bisnis Amerika dengan pemerintah Indonesia maupun stakeholder lainnya.
Apakah Anda membawa misi pribadi?
Misi pribadi yang paling kuat adalah berusaha meyakinkan perusahaan Amerika untuk bertahan di Indonesia. Itu misi pribadi saya.
Apakah ada keraguan dari perusahaan-perusahaan Amerika di Indonesia?
Bukan keraguan. Investasi itu kan harus didukung oleh iklim yang baik. Sudah ada beberapa investor asing yang mempertimbangkan untuk keluar dari Indonesia. Contohnya, menutup pabrik seperti Yamaha Music dari Jepang. Jadi kita berusaha meyakinkan pelaku bisnis Amerika bahwa Indonesia masih pasar yang baik. Sudah tahu lah kita semua, dari segi penduduk yang banyak, middle class yang besar juga, bonus demografi, dan sebagainya. Jadi memang masih bisa dianggap pasar yang baik untuk investasi.
Akan tetapi pemerintahan Indonesia juga tidak bisa take it for granted. Harus ada iklim investasi yang mencakup segala hal. Saya ingin perusahaan Amerika tetap berusaha di Indonesia dan menambah investasi, sehingga pekerjaan-pekerjaan juga tidak berkurang. Dan juga yang paling penting adalah inovasi, teknologi, dan digital juga dibawa oleh perusahaan-perusahaan Amerika.
Jadi lebih ingin meyakinkan perusahaan Amerika bahwa Indonesia itu adalah tempat yang masih menarik untuk berinvestasi, tentu saja dengan beberapa perbaikan.
Terkait dengan iklim investasi, Pemerintah sudah memiliki kebijakan Omnibus Law. Apakah itu sudah mencukupi?
Sebenarnya masih banyak tantangannya untuk iklim investasi. Salah satunya adalah reformasi aturan-aturan yang sudah ada dan beberapa perbaikan. Itu harus tetap dilaksanakan walaupun tidak cukup ya.
Aturan seperti apa misalnya?
Misalnya adalah kepastian hukum. Itu penting sekali buat investasi bagi para investor. Kepastian hukum itu mencakup aturan-aturan yang tidak berubah-ubah dan tidak overlap. Omnibus Law juga sudah merupakan usaha untuk itu. Tapi pada dasarnya kita semua juga masih bisa merasakan bahwa aturan-aturan itu banyak perubahan. Perlu kepastian hukum karena bisnis-bisnis itu kan jangka panjang.
Terus kita semua juga kan pasti terkaget-kaget karena akhir-akhir ini ada saja aturan dan manuver-manuver. Saya tidak bisa bilang itu baik atau buruk karena masih terlalu awal, tapi menimbulkan tanda tanya.
Jadi memang masih banyak sih PR-nya. Kemudian birokrasi yang juga perlu diperbaiki yang terlalu berbelit-belit. Dari segi izin misalnya, di negara-negara tetangga, hanya dalam hitungan hari, di kita masih bulan ataupun tahun.
Kemudian corruption risk yang juga banyak disorot ya. Apakah nanti akan pungutan-pungutan baik di pemerintah pusat maupun di daerah. Itu masih banyak ditanyakan juga oleh anggota kami.
Salah satu kebijakan Presiden Prabowo adalah penempatan Dana Hasil Ekspor di dalam negeri. Bagaimana menurut Anda?
Itu masih banyak yang perlu diklarifikasi, karena memang implementing regulation-nya belum keluar secara detail. Karena memang untuk bisa ditaruh di Indonesia selama 12 bulan 100% itu kan juga menimbulkan perhitungan yang besar. Jadi memang masih perlu diskusi dan klarifikasi sih untuk masalah itu. Karena kan dari segi besarnya perusahaan kan beda-beda juga dan operation cost juga sometimes perlu diambil dari situ.
Kemarin sempat juga ngobrol dengan Kemenko Perekonomian. Pemerintah yang sekarang cukup terbuka dengan AmCham dan pelaku bisnis yang lain. Kalau buat AmCham terbuka, pasti buat pelaku bisnis yang lain juga terbuka untuk at least kita bisa berdiskusi masalah itu.
Sebenarnya itu yang diminta oleh pengusaha-pengusaha Amerika, bisa mendapatkan klarifikasi dan juga ruang untuk berdiskusi dengan pemerintah Indonesia. Apapun aturannya, apapun kebijakannya.
Karena biar bagaimanapun pelaku bisnis ini, seperti saya bilang, they wanna stay in the business. Saya bisa menjamin kalau perusahaan-perusahaan Amerika tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak comply dengan aturan di Indonesia. Mereka yang berada disini banyak sekali yang sudah sampai 100 tahun berinvestasi di sini.
Sudah banyak sekali perusahaan Amerika yang berinvestasi di Indonesia. Sudah lama sekali dan mereka tidak serta-merta kalau begini, kita mau kabur? Gak ada. Gak ada ‘Kabur Aja Dulu’. Mereka mau diskusi, mereka mau dibuka peluang untuk berdiskusi.
Bagaimana kontribusi perusahaan Amerika di Indonesia?
Ini kami melakukan research sendiri, jadi angkanya beda dengan angka Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Selama 10 tahun terakhir, investasi perusahaan Amerika di Indonesia sudah mencapai US$67 miliar dengan impact-nya sekitar US$130 miliar dari ekonominya. Bisa dilihat di sini tantangan-tantangannya juga ada. Jadi memang berusaha di Indonesia itu ingin terus dilakukan oleh member AmCham ini.
Pemerintah Donald Trump memulai genderang perang dagang dengan mengenakan tarif impor tinggi, bahkan kepada Kanada. Bagaimana AmCham melihatnya?
Saat ini ributnya memang dengan tiga negara: Cina, Kanada, dan Meksiko. Ini terus kita monitor karena trade war itu akan menyebabkan ketidakseimbangan di globalnya. Ada tarifnya yang kemudian dijadikan isu juga. Terus terang itu pasti akan ada impact-nya dari segi global supply chain dan logistik. Jadi wait and see, tapi sambil terus melihat, memonitor. Karena itu impact-nya udah pasti ada dari segi yang tadi itu, ketidakseimbangan di dalam global supply chain dan global trade.
Apakah pelaku usaha sudah mulai usaha mitigasi?
Kalau dari masing-masing perusahaan sih, saya yakin sudah mulai dilihat-lihat. Mungkin ini merupakan kesempatan buat Indonesia. Ada kemungkinan juga kalau pabrik-pabrik ataupun fasilitas yang ada di Cina untuk diekspor ke Amerika, mungkin bisa dipindahkan ke Indonesia. Jadi Indonesia juga harus bisa melihat ini sebagai opportunity nih nanti ke depannya, tentu saja dengan iklim investasi yang baik itu.
Kita sering berharap mendapatkan limpahan investasi dari Cina, tetapi justru masuknya ke negara lain. Bagaimana Anda melihatnya?
Jadi yang saya bilang tadi, pemerintah Indonesia termasuk kita semua tidak boleh take it for granted. Karena kalau Vietnam sih selama ini mungkin akan terlihat lebih dekat ke China. Nah Indonesia ini cukup peluang yang bagus sekali, tapi PR-nya banyak juga. Infrastruktur juga, kalau orang pindahin di sini, ya kalau di Jakarta infrastrukturnya ada. Kalau di daerah-daerah yang lain itu masih banyak tantangannya.
Kemudian juga human resource-nya. Apakah buruh kita bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan dari bisnis-bisnis ataupun industri-industri dari limpahan? Terus birokrasi yang lebih disederhanakan, dialog yang lebih dibuka dengan pelaku bisnis, hingga infrastruktur yang bagus. Terus terang, logistik-logistik dari Indonesia Itu masih cukup mahal. Bahkan ekspor-ekspor Indonesia ke negara-negara seluruh dunia Itu cukup mahal.
Sempat ramai juga soal Apple yang terhalang masuk Indonesia karena masalah TKDN. Bagaimana anggota-anggota AmCham menanggapi ini?
Pengusaha AS itu mengerti dengan sistem proteksi pemerintah atau support local. Mereka mengerti idenya. Yang mereka ingin itu ruang diskusi untuk apa yang bisa dilakukan dan apa flexibility-nya? Not only fisik tapi ada hal-hal lain yang juga dibutuhkan Indonesia. Mereka mengharapkan diskusi itu.
Bagaimana relasi AmCham dengan Kadin? Apa yang ingin dikejar bersama?
Relasinya cukup baik, inginnya kejar dialog ya, apalagi kalau ada advokasi soal kebijakan. Kami juga open for discussion. Beberapa kali kami bertemu dengan Kadin, they’re very open. Kami juga kerjasama dengan Kadin soal ASEAN BAC. Kami terbuka soal kerjasama pembahasan dan advocacy.
Donald Trump keluar dari Kesepakatan Paris dan juga mencabut dana-dana hibah iklim, termasuk USAID. Bagaimana Anda melihatnya?
Kalau saya masih percaya bahwa company-company Amerika yang berinvestasi di sini, mereka mempunyai standar sendiri yang tidak bisa diobrak-abrik dalam waktu singkat. Saya masih yakin. Mungkin enggak 100%, tapi kebanyakan masih mempunyai standar sendiri yang company itu cukup tinggi dari segi ESG. Mereka punya standar sendiri di dunia, jadi bukan standar pemerintah Amerika saja.
Jadi saya masih yakin, ini sampai sekarang gak akan gampang berubah. Karena mereka juga punya tanggung jawab sendiri dan mereka juga bertanggung jawab kepada pemegang saham, bukan kepada pemerintah. Jadi itu yang membuat saya masih percaya, mereka tidak dengan gampangnya, kalau misalnya Trump keluar dari Paris Agreement yaudah kita gak usah mikirin sustainability, I don't think so.
Nama-nama besar perusahaan Amerika, reputasinya akan habis kalau mereka langsung mencemarkan lingkungan. Apapun lah ya yang tiba-tiba langsung ikuti pemerintahnya.
Dan juga investasi mereka di sini, bisnis agenda, dan value-value nya kan jangka panjang. Dan pemerintahan ini kan ada term-nya. Jadi gak selamanya. Mungkin mereka juga pikir sedangkan value yang sudah mereka bangun dari perusahaan itu berdiri, bahkan banyak yang sudah tua sekali perusahaan-perusahaan Amerika yang beroperasi di Indonesia.
Apakah perusahaan-perusahaan Amerika bisa leluasa mengambil jalan yang berbeda dengan pemerintah Donald Trump?
Case by case ya, enggak bisa disamaratakan. Untuk sesuatu yang kira-kira menyangkut kemaslahatan masyarakat, pemerintah mau ngapain? Pasti perlu juga dia bantuan dari swasta. Jadi gak bisa dilihat semuanya gitu. Kalau Ternyata swasta itu bisa membuktikan bahwa mereka itu memberikan kontribusi yang bagus terhadap komunitas.
“Kita gak mau tahu soal sustainability,” tapi ternyata masa mau jadi nyampah ke sungai? Kayaknya gak mungkin terjadi. Kemunduran loh buat mereka gitu. Jadi ini makanya perlu dilihat apa sih di pikirannya pemerintah yang sekarang.
Apakah kebijakan Donald Trump ini sudah diperkirakan pelaku usaha? Atau pebisnis juga terkaget-kaget?
Ya dua-duanya sih. Ada yang expected, sudah ketahuan orangnya seperti itu, pasti akan seperti itu lagi, tapi ada juga yang bikin terkaget-kaget. Kalau misalnya kredonya dia yang MAGA itu (Make America Great Again), orang sudah tahu ya. Tapi cara-caranya seekstrem apa kan orang gak tahu.
Kalau soal Paris Agreement itu udah expected ya?
Sudah expected. Selama ini kan kelihatan condongnya kemana. Tapi yang sehari-hari yang misalnya dia nge-cut kayak USAID, duitnya mesti dibalikin ke Amerika semua, itu cukup kaget juga.
Sekarang hampir setiap pekan ada saja gebrakan Donald Trump. Apa bedanya dengan masa pemerintahan dia yang pertama?
Sekarang kan ada pembisik tetangga sebelah yakni DOGE [Department of Government Efficiency/Elon Musk]. itu kan sangat amat influential keputusannya. Itu yang di Trump version 1 dulu gak ada tuh
Dengan dibekukannya USAID dan dana-dana hibah lain dunia usaha mengantisipasinya seperti apa? Apakah cukup ada pengaruhnya?
Pasti nanti akan ada pengaruhnya, sooner or later. Banyak juga dari project-project itu yang dilaksanakan bersama-sama partner dengan perusahaan Amerika. Banyak juga yang penting buat Indonesia. Banyak yang di bidang kesehatan kayak tuberculosis, HIV. Ya pasti pengaruh lah itu Kalau gak ada dananya kan. Berarti kan kalau perusahaan mau menjalankan itu harus mencari dana dari tempat-tempat lain. Pasti akan ada impact-nya.
Itu kan seluruh dunia. Di Afrika dan negara-negara berkembang pasti ada program USAID untuk sanitasi air bersih, kelaparan, kemiskinan. Banyak banget. Tapi kalau memang cost-nya perlu dan proyeknya bagus, saya yakin mereka akan mengantisipasinya. Tapi ya itu menurut saya sangat disayangkan.
Narasinya kan ini sedang direview. Mana program-program yang impactnya besar dan mana yang dananya justru dimakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Mungkin ada juga dari daerah lain. Saya enggak tahu kalau di Indonesia, tapi saya dengar juga memang ada juga yang implementasinya tidak transparan.
Selain sebagai Managing Director AmCham, Anda juga punya bisnis denim. Boleh diceritakan soal itu?
Iya betul, saya punya usaha namanya Kind Denim. Jadi ini adalah eco-friendly denim, karena saya juga senang pakai denim. Kebetulan dulu sekolahnya arsitektur, jadi tersalurkanlah seninya. Kita juga udah pernah collab dengan beberapa designer lokal dari sisa denim kita, upcycle istilahnya, dan laku terjual.
Siapa target pasarnya siapa?
Ini usahanya masih kecil-kecilan kalau dibanding perusahaan besar. Kita lebih ke pengen share bigger value ke bigger community. Karena saya sering pake denim tapi not to kind to environment jadi saya ingin yang environment friendly, dari perusahaan yang lokal dan bertanggungjawab atas limbahnya.
