Perwakilan FAO: Kami Membawa Praktik Baik dari Indonesia ke Tingkat Global

Rezza Aji Pratama
9 Juli 2025, 15:51
Rajendra Aryal
Katadata/Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Hanya tiga tahun setelah merdeka, Indonesia bergabung menjadi anggota Food Agricultural Organization (FAO) pada 1948. Lima dekade kemudian, FAO masih menjadi mitra penting pemerintah Indonesia dalam isu pangan dan pembangunan berkelanjutan. Tidak hanya memberikan dukungan teknis di level kebijakan, FAO juga menginisiasi sejumlah program di level tapak. 

“Saya pernah bekerja di 30 negara, dan saya merasa bekerja di Indonesia itu kompleks, karena birokrasinya, tapi juga sangat positif,” kata Rajendra Arwal, Kepala Representatif FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, kepada Katadata

Dalam suasana santai, Rajendra menerima Tim Redaksi Katadata di kantor FAO pada Juni silam. Selama hampir 90 menit kami berdiskusi tentang banyak hal. Mulai dari program-program FAO di Indonesia, pertanian organik, kondisi geopolitik global, hingga program unggulan pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis. Berikut petikan wawancaranya:

FAO sudah puluhan tahun ada di Indonesia, apa saja cakupan kerja FAO?

Indonesia telah menjadi anggota FAO sejak 1948, tidak lama setelah merdeka. Lalu tahun 1978 FAO membuka kantor perwakilan. Jadi kalau kita hitung, hampir 47 tahun kami bekerja di sini. Kami telah bekerja sama dengan begitu banyak pemerintahan yang berbeda, dan hubungan antara FAO dan Indonesia sangat kuat.

Indonesia juga sangat aktif di tingkat global bersama FAO, dan FAO telah terlibat dalam berbagai sektor seperti pertanian, perikanan, peternakan, dan kehutanan. Bukan hanya mendukung pemerintah Indonesia di tingkat kebijakan, tetapi juga melaksanakan kegiatan proyek di tingkat akar rumput untuk mendukung masyarakat. Tentu saja, semua ini dilakukan di bawah kepemimpinan pemerintah Indonesia. Kami selalu bekerja sama dengan pemerintah.

Sebagai lembaga teknis yang berspesialisasi, FAO juga terlibat dalam berbagai hal yang berkaitan dengan mutu pangan, isu keamanan pangan, sistem pangan, ketahanan pangan—atau seperti isu penangkapan ikan ilegal, atau port state measures agreement.

Kami juga memiliki berbagai komite di tingkat global. Misalnya, COFI—Committee for Fisheries atau Komite Perikanan, Committee for Agriculture, atau COAG, kami menyebutnya. Indonesia selalu aktif dalam komite-komite ini di tingkat global. 

Kami bekerja di tingkat kebijakan. FAO menyebutnya dengan four betters atau "empat lebih baik": produksi yang lebih baik, nutrisi yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih baik. Artinya, produksi memang penting, tapi pada saat yang sama kita juga harus menjaga lingkungan. Jadi kerja kami dibingkai dalam empat prinsip ini, dan dituangkan dalam dokumen yang kami sebut Country Programming Framework (CPF), yang kami susun juga di bawah kepemimpinan pemerintah Indonesia, dengan Kementerian Pertanian sebagai kementerian yang menjadi titik fokus.

CPF yang saat ini berjalan akan berakhir tahun ini. Kerangka tersebut mencakup periode lima tahun dan memiliki empat pilar strategis. Sekarang kami mulai menyusun CPF baru untuk periode 2026 hingga 2030, yang juga diarahkan untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals). Jadi begitulah cara kami menyelaraskan pekerjaan kami di Indonesia.

Salah satu fokus utama FAO yaitu mentransformasi sistem pangan. Seperti apa implementasinya?

Sistem pangan itu sebenarnya dalam bahasa sederhana bisa dikatakan sebagai perjalanan makanan dari ladang ke meja makan. Jadi ada proses distribusi, konsumsi, dan kemudian limbah makanan juga. Kita melihat dua hal: pemborosan makanan oleh konsumen dan juga food loss, yaitu kerugian makanan saat transportasi atau setelah panen. Seluruh rantai nilai ini disebut sebagai sistem pangan.

Jadi yang kami lakukan di FAO adalah memberikan dukungan dan keahlian teknis untuk membantu Indonesia mentransformasi sistem pangan yang ada menjadi lebih baik, kita sebut transformasi sistem agrifood. Transformasi ini terjadi di berbagai level—baik di tingkat kebijakan, perencanaan, maupun di tingkat akar rumput. Karena kita harus ingat, pertanian di sini masih didominasi oleh petani kecil.

Sekitar 90% produsen pangan di Indonesia adalah petani skala kecil. Jadi kita bekerja langsung dengan mereka. Tapi di saat yang sama, di tingkat kebijakan dan perencanaan, kami juga membawa praktik-praktik baik dari Indonesia. Karena Indonesia punya peran penting. Indonesia adalah negara G20, punya ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Banyak hal baik yang terjadi di Indonesia. 

Jadi ada sisi keunikan dari Indonesia?

Ya, benar. Indonesia sangat progresif dan terbuka terhadap ide-ide baru. Misalnya dalam kebijakan, ketika kami membawa model global, Indonesia sangat terbuka. Tidak semua negara memiliki keterbukaan seperti itu. Saya pernah bekerja di 30 negara, dan saya merasa bekerja di Indonesia itu kompleks, karena birokrasinya, tapi juga sangat positif. Energi dan keterbukaannya itu sangat unik.

Apa tantangan terbesar di isu pangan saat ini?

Tantangan terbesar saat ini adalah apa yang disebut triple planetary crisis yaitu hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan polusi. Kejadian cuaca ekstrem sangat mempengaruhi petani kecil dalam hal produksi. Bayangkan kalau karena El Niño terjadi kekeringan dan hasil panen gagal. Karena sebagian besar produsen pangan adalah petani kecil, tidak semua punya akses ke benih yang berkualitas, pupuk yang baik, atau pembiayaan. 

Tantangan lainnya, petani sudah produksi, tapi apakah mereka mendapatkan harga yang adil? Kadang memang pemerintah menetapkan harga dasar, misalnya untuk beras dibeli oleh Bulog, itu bagus. Tapi kadang, karena rantai distribusi yang panjang, banyak middleman, akhirnya petani tidak dapat harga yang layak.

Saat ini kita juga menghadapi masalah food waste, seberapa mendesak menyelesaikan masalah tersebut?

Ini adalah kombinasi antara food loss dan waste. Food loss adalah jumlah makanan yang hilang dari produksi hingga distribusi. Food waste terjadi setelah makanan sampai di dapur. Sekitar 30% makanan hilang saat distribusi, sementara 70% hilang sebagai sampah (waste). 

Ada sebuah studi yang dilakukan oleh Bappenas yang menunjukkan Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah food loss dan waste yang tinggi. Ini adalah tantangan besar. Jadi studi Bappenas pada 2021 mengatakan kalau secara ajaib food loss dan waste di Indonesia bisa menjadi nol, kita bisa memberi makan 50 juta orang lebih.

Jadi Anda bisa membayangkan jumlah food loss dan waste-nya. Anda tidak bisa menunggu. Ini bukan jangka panjang. Ini harus terjadi sekarang.

Anda menyebut dampak perubahan iklim terhadap agrikultur. Dari sisi kebijakan, apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah terkait ketahanan pangan?

Ada banyak praktik baik di Indonesia. Misalnya di NTT dan NTB, kami bekerja sama dengan Kementerian Pertanian memperkenalkan pertanian konservasi. Di sana wilayahnya kering. Pertanian konservasi menggunakan teknologi sederhana: jarak tanam diatur, lubang tanam dibuat dan dijaga tetap lembab, benih jagung ditanam, dan pupuk organik yang diproduksi sendiri digunakan.

Ketika saya kunjungi mereka pada 2022, mereka bilang, sebelumnya hasil panen hanya cukup untuk 9 bulan. Sekarang, mereka punya surplus—cukup untuk 12 bulan dan bahkan bisa dijual. Artinya teknologi seperti ini bisa diterapkan. Teknologi sederhana. Kami sebut “adapted technology”, bukan teknologi rumit.

Jadi solusinya adalah bagaimana membawa teknologi sederhana ini sampai ke petani? Itu berarti kita harus bekerja di tingkat kebijakan dan praktik. Makanya kami sebut “produksi yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik”. 

Diversifikasi pangan juga penting. Indonesia punya banyak varietas pangan. Di Timur ada sorgum. Di Papua ada sagu. Bagaimana kita promosikan ini? Kebiasaan makan masyarakat sudah berubah. Semua ingin makan nasi. Tapi waktu saya ke Papua, petani bilang COVID-19 jadi wake-up call. Ada pembatasan pergerakan. Beras datang dari Jawa. Persediaan berkurang, harga naik.”

Lalu apa alternatifnya? Bisa pakai pangan lokal. Menariknya, diversifikasi pangan ini juga membuka peluang. Perempuan yang dulu kerja dua hari untuk produksi sagu, sekarang dengan sedikit teknologi, hanya butuh dua jam, dan hasilnya lebih banyak. 

Bagaimana menyakinkan komunitas lokal untuk mencoba teknologi baru?

Kita harus bekerja bersama mereka, melihat praktik-praktik yang sudah mereka lakukan selama berpuluh-puluh tahun. Sekarang kita menyadari bahwa praktik itu perlu ditingkatkan, karena mereka mulai terkena penyakit tanaman. Ada banyak penyakit baru yang sebelumnya tidak dikenal. Nah, itu sebabnya produksinya menurun.

Jadi, yang perlu kita lakukan adalah bukan dengan memberikan mereka ceramah “lakukan ini, lakukan itu,” tapi lihat dulu apa yang sudah mereka lakukan. Apa yang berhasil, apa yang tidak, dan apa yang bisa ditingkatkan. Jadi bukan pendekatan dari atas ke bawah, tapi dari bawah ke atas.

Dan itu sudah kami lakukan. Di Riau, masyarakat adat punya sistem perikanan yang disebut Lubuk Larangan. Tapi sistem itu tidak sepenuhnya berjalan baik, karena mereka menangkap semua ikan dan langsung dikonsumsi. Tidak ada ikan yang dilepas kembali ke sungai. Akibatnya, spesies ikan tertentu, khususnya sidat, jadi terancam punah. Maka yang kami lakukan, Lubuk Larangan itu sendiri sudah ada, ada banyak unsur baik di dalamnya, tapi perlu sedikit perbaikan.

Hal serupa terjadi di Kalimantan, di Barito Selatan dan Kapuas, komunitas Dayak. Mereka juga punya cara tradisional dalam menangkap ikan. Tapi itu juga membahayakan, karena menjadikan spesies ikan Arwana terancam punah. Padahal Arwana adalah ikan hias bernilai tinggi. Maka kami bantu mereka memahami, “Hei, kalau kamu konservasi, kamu bisa dapat uang lebih banyak.” Dan sekarang mereka benar-benar menghasilkan uang lebih banyak.

Petambak memanen ikan secara tradisional menggunakan sistem Beje di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah
Petambak memanen ikan secara tradisional menggunakan sistem Beje di Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah (FAO).
 

FAO juga mempromosikan pertanian organik, apakah itu juga program utama?

Ya. Sebenarnya, pertanian konservasi itu sendiri sangat dekat dengan pertanian organik. Jadi, tidak ada pupuk kimia dari luar yang digunakan. Kami bekerja sama dengan seorang ibu bernama Nissa Wargadipura. Ibu Nissa tinggal di Garut. Ia mengelola pesantren dan memperkenalkan pertanian kepada para santri—bertani di halaman belakang sekolah. Pertanian organik, menanam sayur, dan hasilnya dikonsumsi di sekolah untuk anak-anak yang tinggal di sana.

Tapi ternyata hal ini berdampak lebih luas. Efek riaknya melampaui batas lingkup pesantren itu sendiri. Bahkan, saat World Food Forum, beliau terpilih sebagai salah satu Pahlawan Pangan Dunia. Beliau diundang ke Roma dan dianugerahi sebagai salah satu Global Food Heroes. Bayangkan, seorang perempuan dari Garut, berdiri di hadapan orang-orang dari seluruh dunia, dan berbicara tentang pekerjaannya.

Mengapa pertanian organik jadi penting sekarang?

Pertanian saat ini adalah salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar. Pertanian menggunakan banyak pupuk kimia, yang memang baik untuk produksi, tapi punya efek samping. Kemudian ada hidden cost (biaya tersembunyi). Biaya tersembunyi dari sistem pangan global itu sangat besar. Secara global, mencapai US$12 triliun. Biaya ini mencakup kerusakan lingkungan dan kerusakan kesehatan.

Maka, pertanian organik jadi semakin penting. Kemudian ada yang disebut resistensi antimikroba. Ini disebut pandemi senyap karena penggunaan antibiotik sangat merajalela di sektor peternakan dan tanaman pangan. Dengan itu, kita mengonsumsi makanan yang di dalamnya antibiotik digunakan secara masif. Jadi, perlahan-lahan, sangat perlahan, kekebalan tubuh kita juga menurun.  Jadi, jika AMR ini tidak ditangani dengan benar, pada 2050, akan ada setidaknya 10 juta kematian per tahun. 

Pertanian organik juga banyak tantangan, harga yang tinggi misalnya?

Ya. Memang tidak murah. Saya rasa tidak ada yang menyangkal pentingnya pertanian atau makanan organik. Tapi sekarang ini hanya bisa dinikmati oleh kelas tertentu saja. FAO sendiri bekerja sama dengan Kementerian Pertanian soal kesehatan hewan. Di industri unggas, kami memperkenalkan sistem biosekuriti. Tapi para petani awalnya enggan menerapkan karena biayanya mahal.

Mereka minta jaminan, setidaknya kompensasi. Mereka bilang, “Kenapa kami harus lakukan ini? Harus investasi lebih?” Lalu kami tawarkan: oke, kami setuju. Kita mulai dari peternakan unggas percontohan. Kita terapkan sistem biosekuriti dulu. Nanti lihat hasilnya.

Langkahnya sederhana: jaga kebersihan, cuci tangan, rendam sepatu di larutan disinfektan, atur vaksinasi, dan sebagainya.

Pemerintah punya salah satu program utama yakni Makan Bergizi Gratis. Bagaimana Anda melihatnya?

Program makan bergizi gratis ini bukanlah program baru. Negara seperti Brasil telah berhasil melaksanakannya. Jepang, Korea, kita punya contoh yang bagus. Saya pikir ini adalah program yang sangat baik, karena kita harus berinvestasi pada generasi berikutnya, kan? Jadi, kecuali anak-anak mendapatkan makanan yang baik, akses ke makanan bergizi, mereka tidak bisa tumbuh. Jadi, ini adalah kesempatan yang sangat baik.

Tentu saja, mudah untuk mengkritik karena ini melibatkan banyak sumber daya, tapi ini akan memberikan keuntungan jangka panjang.  Makan Bergizi Gratis juga mempromosikan makanan lokal. Jadi, ini bisa menjadi peluang baik juga untuk produsen lokal untuk memproduksi dan menghasilkan uang. Itu juga menciptakan lapangan kerja, kan? Dan kita berbicara tentang anak muda yang tidak tertarik pada pertanian.

Jika anak muda mulai melihat peluang ini, memproduksi dan menjual dan mendapatkan uang, ini bisa menjadi peluang lain untuk menggerakkan anak muda dan membawa mereka kembali. Ini bukan hanya tanaman pangan, beras atau jagung, ini juga protein, kan? Ini juga industri unggas. 

Jadi, bayangkan program sebesar ini, berapa banyak lapangan kerja yang bisa diciptakan? Berapa banyak uang yang bisa mengalir ke ekonomi lokal? Dan berapa banyak anak-anak dan ibu menyusui dan ibu hamil yang akan diuntungkan?

Ada tantangan tetapi juga ada peluang dan ada manfaat besar. Dan kami telah melihat itu di negara-negara seperti Brasil, Cina, Korea dan Jepang. 

Apa masukan FAO untuk program ini?

Karena ini adalah program yang sangat baru dari pemerintahan baru—saya pikir belajar dari kisah sukses Brasil bisa dilakukan. Apa aspek kunci dari keberhasilan mereka dan bagaimana cara untuk meningkatkan program ini?

Sebenarnya, sebagai FAO, kami juga menawarkan platform kerja sama Selatan-Selatan. Rekan-rekan saya yang bekerja di kantor FAO di Brasil memberikan dukungan teknis kepada pemerintah Brasil untuk program ini. 

Saya tidak tahu pasti apa yang berhasil dan apa yang sangat menantang di Brasil, tapi Brasil sangat antusias. Kemudian ada koalisi global yang disebut School Meals Coalition. Sekarang Indonesia juga sudah bergabung dengan koalisi itu. FAO juga merupakan anggota. Itu dimulai oleh Prancis dan Finlandia tetapi sekarang kami memiliki lebih dari 100 anggota. 

Kami baru saja mengadakan pertemuan dengan tim dan koordinatornya sebenarnya juga orang Brasil. Saya pikir pengalaman dari Brasil bisa menjadi pelajaran yang sangat baik bagi kita untuk melihat apa yang berhasil di Brasil, apa yang tidak berhasil dan apa yang cukup menantang dan bagaimana kita bisa memperbaikinya di sini.

Dunia saat ini sedang bergolak dengan situasi yang memanas hingga serangkaian kebijakan Donald Trump. Bagaimana dampaknya terhadap ketahanan pangan?

Sekjen PBB sudah sangat jelas mengatakan tidak ada yang menang dalam perang dagang. Pada masa COVID-19, karena adanya pembatasan pergerakan, beberapa negara juga mulai memberlakukan pembatasan ekspor. Misalnya India memberlakukan larangan ekspor beras. Indonesia juga pada satu titik menghentikan ekspor minyak sawit.

Ada banyak negara yang menderita, terutama negara berpendapatan rendah, negara berkembang. Mereka sangat menderita jika ada jenis perang tarif seperti ini. Jadi saya tidak berpikir hal ini menguntungkan siapa pun.

Jadi kami di FAO ingin perdagangan tanpa gangguan, karena tidak setiap negara dapat memproduksi makanan yang cukup, Anda harus melakukan perdagangan. Selalu ada unsur ekspor dan impor.

Ada banyak perdebatan soal penggunaan lahan untuk pangan versus energi, terutama biodiesel. Bagaimana Anda melihatnya?

Itu tergantung pada apa yang dibutuhkan. Dorongan untuk biofuel juga semakin tinggi. Indonesia memiliki produksi minyak sawit yang besar.

Tapi pada saat yang sama Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir minyak sawit teratas. Keamanan energi jelas penting, tapi saya rasa saya tidak punya jawaban pasti bagaimana menyeimbangkan ini. Ini perlu didiskusikan dan dipelajari lebih lanjut. Perlu lebih banyak riset. Saya rasa tidak ada solusi cepat.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rezza Aji Pratama

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...