Kepala Bapanas: Produksi Nasional Masih Mampu Mengejar Kebutuhan MBG
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dipandang pelaku industri pertanian sebagai peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, program ini berpotensi menyerap produk petani lokal. Namun di sisi lain, permintaan yang melonjak justru bisa memicu risiko defisit produksi.
Kementerian Pertanian mencatat, saat ini produksi daging ayam surplus sekitar 10%, sementara telur ayam kelebihan produksi 5%. Namun, pengoperasian 8.000 dapur Satuan Layanan Pemenuhan Gizi (SPPG) berpotensi membalikkan kondisi itu. Bila ekspansi dapur MBG terus berlanjut, defisit bisa terjadi mulai bulan depan.
Presiden Prabowo Subianto menargetkan 30.000 dapur SPPG beroperasi di seluruh Indonesia. Meski begitu, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menilai kemampuan produksi nasional masih sanggup mengejar kebutuhan MBG.
“Peningkatan produksi pangan akibat MBG ini gampang, tidak perlu rocket science. Contohnya telur, saya hanya harus menambah sedikit produksi agar ada stok penyangga,” kata Arief dalam wawancara khusus dengan tim Katadata.co.id, di kantornya, akhir pekan lalu.
Berikut petikan wawancara Katadata dengan Arief Prasetyo Adi.
Kementerian Pertanian menyebut produksi daging dan telur ayam akan defisit dengan adanya program MBG. Berapa tambahan produksi yang harus dilakukan?
Sambil jalan saja. Kalau ditanya harus menambah berapa banyak produksi, ya jalankan dulu saja programnya. Pemerintah sudah menyiapkan anggaran Rp 71 triliun, tapi baru sekitar Rp 5 triliun yang terserap. Memang, produksi ayam dan telur butuh persiapan sejak awal, karena dari ayam lahir sampai bisa bertelur memakan waktu dua tahun.
Produksi tahun ini adalah hasil dari persiapan yang kami lakukan sejak 2023. Kalau mau aman di 2027, perencanaannya harus dimulai dari sekarang. Peningkatan produksi tergantung dari berapa dapur SPPG yang beroperasi tahun ini.
Hitungannya sederhana, dari total 280 juta penduduk Indonesia, target MBG mencakup sekitar 82 juta orang. Artinya, konsumsi naik sekitar 29%. Tapi karena MBG hanya sekali makan, kenaikannya cukup dibagi tiga. Jadi tambahan kebutuhan produksi tiap komoditas sekitar 9%–10%. Ini hitungan mudah, tidak perlu rocket science.
Kalau saat ini surplus daging ayam sekitar 10%, maka saat 6.000 dapur SPPG beroperasi, produksi dan konsumsi akan berimbang. Kami akan tambahkan sedikit lagi supaya ada stok penyangga, tapi jangan sampai kelebihan karena bisa menekan harga pasar.
Bahkan menurut saya, lebih baik produksi ayam yang kini ditekan sekitar 30% dilepas, lalu kelebihannya disimpan di rantai pendingin. Untuk telur, walaupun surplus hanya 5%, kondisinya masih aman. Tidak perlu terlalu khawatir.
Semua produksi itu akan terserap kalau orang makan telur dan ayam tiga kali sehari, tiap hari. Kenyataannya, hari ini orang makan telur, besok daging sapi, lusa ayam lagi. Jadi, santai saja. Yang penting ada stok penyangga.
Apakah penundaan bea masuk akibat tarif Trump bisa mengganggu serapan produksi petani lokal untuk MBG?
Petani dan peternak kita memang selalu disubsidi mulai dari benih, pupuk, sampai komponen produksi lainnya. Tapi tetap saja, harga produk mereka belum kompetitif di pasar. Ini seharusnya jadi perhatian kementerian terkait agar hasil pangan nasional lebih bersaing.
Kita harus punya pola pikir ke depan. Teman-teman di Kadin sering bertanya, kenapa daya saing produk pangan lokal rendah dibanding impor? Contohnya, jagung. Harga jagung lokal diinginkan Rp 5.500 per kg untuk kadar air 14%–15%.
Tapi kalau kadar air naik jadi 18%–20%, harganya ikut naik jadi Rp 6.400 per kg. Padahal di luar negeri, harga jagung berkualitas sama hanya Rp 3.500–Rp 4.500 per kg. Kenapa harga jagung di dalam negeri bisa mahal?
Pertama, rata-rata lahan pertanian di Indonesia cuma 3.500 meter persegi per petani. Kedua, kualitas benih lokal masih kalah dengan yang dipakai di luar negeri. Ketiga, distribusi antarpulau kita sangat mahal karena biaya ekonomi tinggi.
Menurut saya, produksi pangan harus berbasis kawasan. Kalau bicara produksi beras, harus ada kawasan khusus sebagai lumbung pangan beras agar prosesnya efisien. Di situ juga harus ada fasilitas seperti silo, alat pemipil, sampai mesin pengering.
Ini juga menjawab kenapa harga pangan dari Amerika Serikat (AS) bisa lebih murah sampai ke Jawa Timur dibandingkan harga pangan dari Nusa Tenggara Barat. Intinya, proses produksi pangan kita masih perlu diefisienkan, dan kita harus berani bicara soal produktivitas. Kalau mau bersaing, ya harus siap bersaing dengan produk dari luar negeri.
Apakah tarif Trump akan langsung berdampak besar ke industri pangan nasional?
Kalau ada produk pangan dengan kualitas bagus dan harga murah, sudah pasti akan menguasai pasar. Contohnya, kalau saya jual beras di supermarket dengan biaya produksi yang efisien, harga bersaing, dan kualitas baik, pasti produk saya yang dibeli. Hal yang sama berlaku untuk komoditas lain seperti kedelai.
Misalnya, ada dua jenis kedelai dengan kualitas sama, ongkos logistiknya dari Amerika juga mirip. Begitu sampai di Indonesia, yang satu dijual Rp 8.000 per kg, yang lain Rp 10.000 per kg. Pengusaha pengolah kedelai pasti akan memilih yang lebih murah.
Pemerintah tidak bisa memaksa pengusaha membeli produk tertentu. Mereka tentu akan memilih barang yang paling menguntungkan. Kalau pemerintah ingin melindungi produk lokal, bisa saja menaikkan tarif impor. Tapi, keputusan itu harus mempertimbangkan dampaknya ke neraca perdagangan.
Apakah produksi beras sudah cukup efisien untuk menghadapi peningkatan permintaan dari MBG?
Ambil contoh harga beras Vietnam, sekitar Rp 9.000 per kg. Kenapa di Indonesia masih sekitar Rp 13.000? Masalahnya sama seperti di jagung terkait efisiensi produksi. Salah satunya karena belum ada konsolidasi lahan untuk meningkatkan skala dan efisiensi produksi.
Di Vietnam, efisiensi juga didorong oleh skema subsidi yang berbeda. Misalnya, harga gabah di sana Rp 8.000 per kg, dengan subsidi pupuk sekitar Rp 2.000. Tapi petani di sana tidak diwajibkan menggunakan dana itu hanya untuk pupuk. Pola ini membuat sistem lebih fleksibel dan produktif.
Soal distribusi, saya pernah meniru skema Vietnam dengan menyalurkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) ke ritel modern. Pada awalnya efektif menekan harga. Tapi kemudian muncul masukan, konsumen di supermarket sebenarnya tidak butuh subsidi. Akhirnya, kami kurangi pasokan beras SPHP di supermarket. Sekarang, beras SPHP yang seharusnya digunakan untuk intervensi pasar malah menumpuk di gudang Bulog.
Komoditas apa yang produksinya paling rawan akibat program MBG?
Penambahan produksi daging dan telur ayam sebesar 10% itu hanya akan dibutuhkan jika semua orang benar-benar makan telur setiap hari sepanjang tahun. Tapi, menurut kami, ada dua komoditas yang memang perlu ditingkatkan produksinya: daging sapi dan ikan.
Semua komoditas harus diperhatikan. Namun, kalau bisa memilih prioritas, peningkatan produksi ikan akan memberikan hasil yang baik. Bukan sekadar ikan segar, tapi ikan olahan, seperti dalam bentuk rolade, fish cake, atau bakso ikan. Kami ingin masyarakat tidak hanya mengandalkan ikan mentah.
Karena itu, kami mendorong nelayan bergabung ke koperasi dan memproduksi olahan ikan. Dengan begitu, hasil tangkapan mereka memiliki nilai tambah.
Kenapa produksi pangan olahan perlu ditingkatkan?
Jangan bayangkan ayam di program MBG cuma berupa ayam goreng. Harus ada inovasi, misalnya ayam diolah jadi nugget, rolade, atau bakso. Masyarakat tetap mendapat asupan protein, tapi tidak bosan dengan menu yang itu-itu saja.
Orang makan steak setiap hari saja lama-lama bosan. Karena itu, variasi menu sangat penting dalam program MBG.
Apa strategi terpenting dalam program MBG?
Cadangan pangan adalah kuncinya. Dulu, ketika Presiden Joko Widodo bertanya soal harga beras yang tinggi, saya bilang ada penurunan produksi. Tapi waktu itu, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo bilang produksi beras melimpah.
Saya sampaikan ke Presiden bahwa itu tidak benar, dan saya siap bertanggung jawab. Saya juga bilang di DPR bahwa kita memang harus impor beras. Bahkan, waktu itu saya sempat dicap sebagai pejabat yang senang impor.
Almarhum Faisal Basri pernah khawatir impor beras bisa menjatuhkan harga di tingkat petani. Tapi saya yakinkan, nilai tukar petani (NTP) tidak akan turun. Saat saya mulai di Bapanas, NTP masih di 95. Sekarang, NTP konsisten di atas 100 poin.

