Kisah di Kaki Rinjani: Dari Pembalakan Menjadi Ekowisata Air Terjun
Kicauan burung terdengar sahut-menyahut ketika Marwi mengajak Tim Katadata menyusuri jalan makadam menuju Air Terjun Benang Stokel di kaki Gunung Rinjani. Rabu (25/1) siang itu, matahari terik menyengat tetapi semilir angin membuat udara tetap terasa nyaman. Kanopi hutan yang rimbun menaungi perjalanan menuju air terjun. Sesekali, gerombolan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) terlihat bermain-main di kanopi hutan dengan suaranya yang khas.
Marwi (61) merupakan Sekretaris Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Rimba Lestari, yang kini menjadi pengelola wisata Air Terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu. Dalam perjalanan menuju air terjun, kami kerap kali bertemu dengan para petani yang berladang di sekitar kawasan wisata.
“Di sini komoditas andalannya pisang, kopi, dan durian,” kata Marwi.
Air terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu kini menjadi salah satu primadona wisata di kaki Gunung Rinjani. Secara administratif, lokasi wisata ini berada di kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Aik Berik, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Namun siapa sangka, 20 tahun silam pembalakan liar justru menjadi tren utama di Aik Berik.
Di antara semilir angin, dahan pepohonan yang menjuntai, dan teriakan monyet yang bersahutan, Marwi mengenang kembali perjuangannya menghentikan pembalakan liar hingga menginisiasi ekowisata air terjun.
Marwi bercerita 20 sampai 30 tahun lalu, kondisi Aik Berik tidak seperti saat ini. Pada era 1990-2000-an, masih banyak warga yang merambah hutan. Polisi dan petugas Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) bahkan beberapa kali menangkap warga yang kedapatan menebang pohon di kawasan taman nasional.
“Dulu masyarakat hidupnya miskin. Jadi tidak punya pilihan,” kata Marwi.
Menurut Marwi, kala itu warga hanya mengandalkan hasil hutan untuk bertahan hidup. Jika sedang beruntung, mereka hanya mengantongi Rp 30.000 setiap bulannya. Beberapa warga memilih untuk bekerja di luar negeri sebagai TKI. Sementara mereka yang memilih bertahan, tidak punya banyak pilihan untuk menyambung hidup.
Menebang pohon pun menjadi pilihan cepat untuk mendapatkan uang. Menurut Marwi, saat itu warga belum memahami pentingnya merawat hutan. “Kami paham sudut pandang para penegak hukum Gunung Rinjani, tapi tangkap-menangkap bukan solusi,” kata Marwi.
Menyiasati kondisi tersebut, Marwi dan sejumlah tokoh lainnya pun mencari cara untuk melindungi hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama dengan menjalin komunikasi intensif dengan pengelola TNGR. Proses dialog berjalan hingga lima tahun sejak tahun 2000.
Para tokoh warga bekerja sama dengan otoritas setempat untuk mengedukasi masyarakat melalui pendidikan kritis. Selanjutnya, TNGR dan warga pun berkolaborasi melakukan pemetaan kawasan. Hasilnya, Aik Berik pun mendapat izin pengelolaan hutan sementara pada 2005 oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Kehutanan NTB.
Menurut Kepala Resort Setiling-Aik Berik Taman Nasional Joko Subiantoro, kawasan TNGR sendiri memiliki pembagian kawasan untuk perlindungan hutan. “Saat ini, sabuknya TNGR adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), perkampungan, HKm, kemudian hutan lindung, baru taman nasional,” kata Joko.
Akhirnya, para perintis mendapatkan Izin Tetap Penetapan Areal Kerja (PAK) yang ditandatangani oleh Menteri Kehutanan pada 2007. Masyarakat mulai berkelompok dan membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) yang dinaungi oleh Gapoktan Rimba Lestari.
Selanjutnya, Bupati Lombok Tengah menandatangani Surat Keputusan (SK) Nomor 155 Tahun 2010 Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan HKm (HKm). Masyarakat diperbolehkan mengelola kawasan seluas 842 ha.
Skema ini memberikan kepastian hukum bagi para KTH untuk merawat sekaligus memanfaatkan hasil hutan. Dari hasil kesepakatan, terbentuk dua pembagian zona. Ada zona pemanfaatan sebagai wilayah yang bisa dimanfaatkan untuk nilai ekonomi dan zona perlindungan untuk penyangga hutan yang tidak boleh dikelola.
Hasil kolaborasi Gapoktan Rimba Lestari dan Pengelola TNGR juga membuahkan lembaga perlindungan hutan. Kini, Desa Aik Berik memiliki Kelompok Sadar Lingkungan bernama Umar Maye.
“Kelompok ini dibentuk sebagai ranger untuk menjaga hutan dan membuka lapangan ekonomi anggotanya dengan membuka usaha yang berkaitan dengan Gunung Rinjani,” kata Joko kepada Tim Katadata, Kamis (26/1).
Benang Stokel dan Benang Kelambu, Kesejukan bagi Aik Berik
Gapoktan Rimba Lestari melihat air terjun di dalam kawasan hutan sebagai potensi perputaran ekonomi. Akhirnya, gapoktan memutuskan membuka ekowisata Air Terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu pada tahun 2005.
“Ini cara agar anak muda di desa mau terlibat melestarikan hutan,” kata Marwi.
Perjuangan ternyata belum usai. Pembukaan air terjun justru menjadi babak baru bagi Desa Aik Berik. Pasalnya, sejumlah tokoh masyarakat khawatir tempat wisata baru tersebut justru akan menjadi tempat asusila. Para perintis pun berusaha meyakinkan para tokoh. Ini juga menjadi pengingat bagi perintis untuk memperkuat nilai agar masyarakat tidak keluar dari prinsip agama dan budaya.
Selain memperkuat nilai budaya, Marwi dan perintis lainnya juga mencari jejaring untuk meningkatkan kapasitas. Masyarakat diberikan pelatihan serta didorong memperoleh sertifikasi di sektor pariwisata. Tujuannya agar masyarakat dapat mengelola ekowisata dan membuka peluang usaha pengolahan hasil hutan.
“Supaya nanti anak muda bisa kerja kelola air terjun, yang ibu-ibu bisa membuka usaha,” katanya
Gayung bersambut. Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah mendukung rencana tersebut dengan memberikan pelatihan bagi pengelola air terjun. Anggarannya diambil dari Dana Alokasi Khusus (DAK).
“Kami juga membantu masyarakat mendapatkan sertifikasi untuk menjadi pemandu wisata, porter, pemandu gunung, dan belajar manajemen destinasi,” kata Kepala Bidang Promosi Pemasaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Lombok Tengah, Lalu Agus Mawardi kepada Katadata, Selasa (24/1).
Seiring berjalannya waktu, Air Terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu terus didatangi oleh pengunjung. Akhirnya, para tokoh masyarakat mulai mendukung pengelolaannya. Masyarakat setempat pun mulai merasakan manfaat ekonomi.
Sejumlah warga yang dulu bekerja di luar negeri akhirnya pulang ke Aik Berik untuk ikut mengelola ekowisata. Sebagian dari mereka bekerja menjadi pemandu wisata dan membagikan ilmu bahasa asing ke rekan kerjanya.
Warga yang mengenyam pendidikan tinggi juga turut mengajarkan bahasa inggris ke pengelola ekowisata. Tanpa belajar formal, para pemandu wisata kini terampil menemani wisatawan menggunakan bahasa asing.
“Kuncinya adalah sharing knowledge,” kata Marwi.
Kini masyarakat sudah merasakan keuntungan dari mengelola hutan. Para pemandu wisata misalnya, bisa mengantongi Rp 3 juta setiap bulannya. Sementara dari hasil hutan seperti pisang, durian, dan kopi, setiap kelompok tani bisa memperoleh Rp 10 juta per bulan. Gapoktan Rimba Lestari bahkan bisa memperoleh hingga Rp 30 juta per bulan atas jasanya mengelola ekowisata.
“Aik Berik juga memiliki lima KUPS yang menjual anyaman, olahan hasil hutan, hingga simpan pinjam,” kata Marwi.
Bagi para wisatawan, Air terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu menjadi pilihan menarik di antara hamparan pantai yang menawan di Pulau Lombok. Sementara bagi Marwi dan warga Aik Berik lainnya, wisata alam ini menjadi semacam palagan perjuangan dari kisah panjang pengelolaan hutan berkelanjutan.