Asa Baru Pengelolaan Ekowisata Gunung Karang bersama Pendamping

Sempat ramai didatangi pengunjung sebelum pandemi, kondisi Gunung Karang kini memprihatinkan. Pengelola terus berjibaku mengatur strategi untuk mendatangkan pengunjung kembali.
Fitria Nurhayati
4 Juli 2023, 20:11
Asa Baru Pengelolaan Ekowisata Gunung Karang bersama Pendamping
Katadata

Menjulang setinggi 500 meter di atas permukaan laut, Gunung Karang yang terletak di Majalengka ini seringkali disebut ‘Bukit Seribu Gua’. Frasa ini tentu cuma kiasan belaka. Faktanya, cuma ada sekitar 100-an gua di bukit berbatu ini. 

Siang itu (26/1), Tim Katadata baru selesai menjelajahi salah satu gua di Gunung Karang ketika hujan tiba-tiba turun. Apih Tayum, Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), mengajak kami untuk berteduh di salah satu warung tak jauh dari gerbang masuk wisata. Aroma petrikor segera memenuhi indera penciuman, sementara gemericik suara hujan terdengar begitu menenangkan. 

Sepiring pisang dan ubi rebus menemani percakapan kami bersama Apih Tayum dan anggota KUPS lainnya. Apih yang berusia 51 tahun ini gemar bercerita. Sesekali, Kang Didin yang juga anggota KUPS ikut menimpali. Siang itu, di antara hawa dingin yang menyergap dan harumnya kopi di sudut warung, cerita perjalanan pengelolaan ekowisata Gunung Karang mengalir deras. 

Asa Baru Pengelolaan Ekowisata Gunung Karang bersama Pendamping
Area parkir Gunung Karang. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Kang Didin (28) bercerita sejak pertama kali dibuka pada 2018 silam, Gunung Karang selalu dibanjiri pengunjung. Jumlahnya sampai ratusan orang per hari. “Malah pernah di waktu-waktu tertentu sampai 1.000 per hari,” katanya.

Gunung Karang–yang sebetulnya bukit berbatu–memang menawarkan aktivitas wisata yang menarik. Pengunjung bisa mendaki hingga ke puncak tertinggi untuk menikmati pemandangan nyaris 360 derajat yang memanjakan mata. Waktu tempuhnya cuma 15 menit berjalan santai. Memandang hamparan hijau persawahan dan perbukitan menjadi daya tarik yang sukar dilewatkan.

Bagi mereka yang ingin aktivitas tak biasa, menyusuri gua-gua di Gunung Karang juga menjadi pilihan. “Nilai tambahnya lagi, Gunung Karang ini dekat dengan pusat kabupaten. Cukup 20 menit-an saja naik motor atau mobil, sudah bisa sampai sini,” tutur Apih. 

Tidak heran jika pengunjung yang datang bukan hanya dari lokal Majalengka, tetapi juga luar kota seperti Jakarta, Bogor, dan Bandung. Sesekali, rombongan murid-murid sekolah juga berkarya wisata ke Gunung Karang. 

Asa Baru Pengelolaan Ekowisata Gunung Karang bersama Pendamping
Tim Katadata berjalan menuju puncak Gunung Karang. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Saat itu, Gunung Karang dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Majalengka. Totalnya ada 60 orang. Di hari-hari tertentu seperti akhir pekan atau libur sekolah, 60 pengelola tersebut dikerahkan semuanya. Jika hari-hari biasa, mereka digilir menjadi dua sampai tiga kelompok. 

“Supaya bisa sama-sama berbagi berkah ekonomi, sekaligus tetap bisa bekerja di ladang atau kebun seperti biasa,” kata Apih Tayum.  

Berubah Sejak Pandemi

Keriuhan Gunung Karang rupanya tidak bertahan lama. Ketika pandemi menghantam, akses ke Gunung Karang ditutup total. Antrean panjang di loket yang biasanya mengular di akhir pekan tiba-tiba hilang tak berbekas. 

Akses Gunung Karang akhirnya dibuka kembali sejak pertengahan 2022. Namun, pandemi telah mengubah segalanya. Jumlah pengunjung tidak pernah kembali seperti semua. 

“Sekarang dapat satu-dua pengunjung per harinya saja sudah syukur alhamdulillah,” ucap Kang Didin dengan getir. 

Hari itu ketika Tim Katadata berkunjung, cuma sepasang suami istri dari Indramayu yang menikmati keindahan alam Gunung Karang. 

“Begini teh kondisinya. Sejak pandemi, pengunjung sedikit sekali. Apalagi kalau musim hujan begini,” Apih ikut menimpali. 

Awal Mula Ekowisata Gunung Karang

Bukan hal mudah mengembangkan ekowisata di Gunung Karang. Lima tahun lalu, tepatnya 2017, Gunung Karang masih berwujud hutan belantara. Batu-batu dipenuhi lumut. Dahan-dahan pohon menjulang berantakan. Jalanan masih berupa tanah liat dan penuh semak belukar.

Sampai saat itu, masyarakat sama sekali tidak berpikir mau membuka Gunung Karang menjadi lokasi wisata. Sehari-hari, mayoritas masyarakat berladang dan berkebun. Ada yang menanam buah-buahan, jagung, dan rempah. 

Sejak 2001-2016, masyarakat sekitar Gunung Karang menggarap lahan dengan skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dengan Perhutani sebagai pemegang izin lahan. Awal mulanya, masyarakat mengelola hutan produksi milik Perhutani. Kemudian sejak 2006, masyarakat mulai menanam tanaman holtikultura, seperti mangga gedong gincu, ketika lahan produksi tidak lagi digunakan.

Asa Baru Pengelolaan Ekowisata Gunung Karang bersama Pendamping
Jalan setapak disusun dari batu-batu kecil untuk memudahkan pengunjung menuju puncak Gunung Karang. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Pada awal 2017, masyarakat pun mengajukan permohonan status pengelolaan dari PHBM menjadi Perhutanan Sosial (PS). Ini setelah Perhutani dan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan mensosialisasikan PS kepada masyarakat sekitar. 

Akhir 2017, masyarakat sekitar Gunung Karang mendapat SK PS dengan skema Kulin KK (Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Lingkungan) sebab wilayah kelola masih di area Perhutani. Sebanyak 295 nama Kepala Keluarga dicatat sebagai anggota yang akan mengelola lahan seluas 370,8 hektare. 

Ratusan anggota tersebut kemudian dibagi menjadi 14 Kelompok Tani Hutan (KTH). Salah satunya Gunung Karang. Warga pun akhirnya berembuk dan sepakat untuk membuka Gunung Karang sebagai lokasi ekowisata. 

Lebih dari 200 warga gotong royong membersihkan Gunung Karang. Saat itu jalanan belum bisa diakses mobil. Selama tiga bulan, warga bergotong royong membuka jalur. Sebagian warga lainnya membersihkan bebatuan dari lumut, sebagian memangkas dahan-dahan pohon yang menjulur, memangkas semak belukar, dan sebagian lainnya mencari jalur gua yang aman. 

“Kami keluar masuk gua selama tiga pekan bersama Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Majalengka,” kata Kang Didin.

Upaya ini penting dilakukan sebab gua di Gunung Karang nyaris tidak pernah diakses masyarakat selama puluhan tahun. Konon, gua-gua itu pernah digunakan para pejuang kemerdekaan untuk bersembunyi di masa perang.

Perdebatan kemudian mengerucut soal penataan lokasi wisata. Saat awal dikembangkan, pengelola menambahkan spot foto di puncak Gunung Karang. Namun, fasilitas itu kini sudah rusak terkikis waktu dan cuaca. 

Urgensi Kolaborasi Pengelola dan Pendamping Ekowisata

Sejak berdiri, Gunung Karang sudah berganti pendamping beberapa kali. Ada pendamping yang condong mengadakan acara musik dan budaya untuk menarik pengunjung. Ada juga pendamping yang cukup mengikuti alur kegiatan yang dilakukan pengelola.

Dalam proses itu, menurut Apih Tayum, Gunung Karang sempat mendapat investor untuk membangun jalur bersepeda dan berkuda. Namun pengerjaannya tidak berlanjut sejak pendamping yang bersangkutan tidak lagi di Gunung Karang.

Sempat juga ada komunikasi dengan pemerintah daerah untuk menjalin kerja sama pengembangan ekowisata. Namun proses belum dilanjutkan sejak pendamping yang bersangkutan mengundurkan diri.  

Sebagai Ketua pengelola, Apih Tayum menyebut keterlibatan pengelola dalam kolaborasi masih sangat minim. Selama ini, pengelola lebih banyak mengandalkan pendamping yang belum tentu bertahan lama.

“Sekarang kami sadar tidak bisa seperti itu. Kami sebagai pengelola juga harus terlibat agar proses kerja sama untuk mengembangkan ekowisata terus berjalan,” ucapnya.

Asa Baru Pengelolaan Ekowisata Gunung Karang bersama Pendamping
Ketua KUPS dan Pendamping KUPS berdisukusi dengan ahli perhutanan sosial dan ekowisata secara daring untuk mematangkan strategi pengembangan kegiatan di Gunung  Karang. (Fitria Nurhayati/Katadata)

Mengelola ekowisata Gunung Karang secara mandiri juga bukan hal mudah. Para pengelola mengaku belum siap jika harus menjalankan ekowisata tanpa pendamping. “Masih takut salah. Kami butuh bimbingan untuk bersama-sama mengembangkan Gunung Karang,” ucap Apih.

Expert Panel Perhutanan Sosial Suwito Laros menjelaskan pendamping berperan penting dalam pengelolaan ekowisata. Perannya memancing pengelola mengeluarkan ide-ide kreatif, menyatukan visi misi, dan membuat kesepakatan bersama. Namun, pendamping tidak bisa berjalan sendiri tanpa pengelola.

“Sebab pendamping tidak selamanya ada bersama pengelola,” katanya.

Setelah melewati proses panjang, pengelola Gunung Karang akhirnya mendapat pendamping baru pada akhir Januari 2023. Ahdi Rahdian, yang berpengalaman selama delapan tahun menjadi pendamping PS, kini membantu para pengelola ekowisata Gunung Karang.

Kehadiran Ahdi menjadi angin segar bagi pengelola Gunung Karang. Ahdi menekankan bahwa ia tidak bisa berjalan sendiri untuk mengembangkan Gunung Karang, melainkan bekerja sama dengan pengelola.

Untuk itu, Ahdi bersama pengelola menyepakati beberapa hal yang akan dilakukan bersama. Pertama menyamakan visi dan misi pengembangan ekowisata. Kedua, bersama dengan pengelola menjalin kerja sama dengan pemerintah dari tingkat kelurahan sampai kabupaten. Ketiga, bersama dengan pengelola mengajukan proposal pengembangan ekowisata ke berbagai stakeholder. 

Hal utama yang dilakukan adalah menyamakan visi misi, sehingga strategi pengembangan bisa segera disusun dan direalisasikan. “Kami berkeyakinan untuk mengelola dan mengembangkan Gunung Karang supaya menarik banyak pengunjung lagi,” pungkasnya.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...