Kenapa Sulfur pada BBM Berbahaya?
Kajian Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan Vital Strategis tahun 2020 menemukan, emisi gas buang kendaraan bermotor penyumbang terbesar polusi udara di Jabodetabek. Dengan memburuknya polusi udara sejak tahun 2023 silam, pemerintah melayangkan wacana penyediaan BBM bersubsidi rendah sulfur.
Sulfur merupakan salah satu zat yang ditemukan dalam BBM. Ketika melewati proses pembakaran, ia akan menghasilkan senyawa sulfur oksida (SOx), beserta pencemar lain dari hasil pembakaran seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrokarbon, dan ozon. SOx dapat muncul dalam bentuk seperti sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3).
Kadar sulfur yang tinggi dalam BBM dapat merusak saringan knalpot atau catalytic converter, sehingga menghasilkan lebih banyak zat pencemar bahaya lainnya seperti particulate matter 2.5, dan partikel sulfat.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, SOx membahayakan kesehatan. Paparan pada sulfur dioksida menyebabkan iritasi kulit dan selaput mata.
Selain itu, ada peningkatkan risiko penyakit saluran pernapasan ringan maupun akut dan asma, hingga memicu kanker dan kerusakan organ dalam seperti paru-paru dan jantung.
Guna mencegah dampak buruk ini, pemerintah menginginkan BBM bersubsidi mengikuti standar emisi Euro 4. Standar Euro mengatur emisi gas buang asap knalpot kendaraan bermotor, termasuk sulfur. Euro 4 menetapkan kandungan sulfur dalam BBM tidak lebih dari 50 parts per million (ppm).
Saat ini, dua jenis BBM bersubsidi yang digunakan di Indonesia adalah Biosolar 48 dan Pertalite 90. Masing-masing memiliki kandungan sulfur sebesar 2.500 ppm dan 500 ppm, jauh melampaui standar Euro 4. Adapun, menurut Komite Penghapusan Bensin Bertimbel porsi penggunaan kedua jenis BBM bersubsidi ini tergolong tinggi, yakni sebanyak 39,7 persen untuk Biosolar 48 dan 42,1% untuk Pertalite 90.