Potret Hulu Migas Indonesia: Titik Nadir Investasi?

Aria W. Yudhistira
Oleh Aria W. Yudhistira - Tim Publikasi Katadata
21 Juli 2017, 15:05

Jatuhnya harga minyak dunia menjadi pukulan bagi negara-negara produsen minyak dan gas bumi (migas) dunia, termasuk Indonesia. Hampir seluruh kontraktor migas di Tanah Air memangkas belanja modal dan kegiatan mereka.

Kondisi ini bisa  berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi di wilayah kerja dan menyebabkan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Calon sarjana di sektor pertambangan pun kesulitan mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya.

Namun, penurunan investasi di sektor hulu migas di Indonesia tidak melulu akibat harga minyak yang jatuh. Ada faktor lain yang menyebabkan perusahaan enggan menanamkan modalnya. Iklim investasi yang tidak menarik adalah faktor utama yang membuat perusahaan migas malas berusaha di Indonesia.

Mulai dari rumit dan lamanya proses pengurusan izin, banyak pungutan yang terjadi di daerah, tumpang tindih peraturan, hingga pemberian insentif yang kalah bersaing penyebab minimnya kegiatan investasi. Ini merupakan tugas berat pemerintah yang mesti segera dibenahi. Memang sudah ada program layanan satu pintu, tapi dari kalangan pelaku usaha situasinya masih belum banyak berubah.

Padahal, Indonesia membutuhkan banyak investasi di sektor migas untuk mencegah terjadinya krisis energi di masa mendatang. Sebagai importir minyak, Indonesia diuntungkan dengan harga minyak murah yang terjadi saat ini. Namun dalam sejarahnya, harga minyak seperti roller coaster yang bisa turun dan naik tiba-tiba. Jika terjadi Indonesia bisa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan energinya.

Harga Minyak Rendah Laba Global Terjun Bebas
Harga Minyak Rendah Laba Global Terjun Bebas (Katadata)

Laporan keuangan yang dipublikasikan sejumlah perusahaan minyak dan gas bumi (migas) menggambarkan sulitnya kegiatan bisnis di sektor migas sepanjang 2015. Perusahaan kini tak lagi bisa mendapatkan keuntungan tinggi seiring anjloknya harga minyak hingga 74 persen. 

Padahal mereka sudah melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan kinerja keuangannya. Di antaranya dengan pemotongan anggaran dan pengurangan kegiatan eksplorasi terutama pada eksplorasi di laut dalam (deep water).

Pengurangan kegiatan tersebut berdampak terhadap menurunnya pendapatan bisnis sektor hulu. Pendapatan Shell bahkan menurun hingga 87 persen dibanding tahun sebelumnya yang nilainya mencapai US$ 14,9 miliar. Pada 2015 Shell masih mampu membukukan laba bersih senilai US$ 1,9 miliar. Jumlah tersebut masih lebih baik dibandingkan British Petroleum yang merugi US$ 6,5 miliar.

Berdasarkan Bloomberg Index, kinerja laba sektor energi sepanjang 2015 turun 67 persen. Pengurangan laba bersih rata-rata yang dialami perusahaan migas menjadi penyebab kinerja laba sektor energi terburuk dibandingkan sektor lainnya.

Penerimaan Migas Merosot Tajam
Penerimaan Migas Merosot Tajam (Katadata)

Penurunan harga minyak mentah dunia sebesar 64 persen yang terjadi pada 2014 berdampak bagi penerimaan migas. Pada 2015, pendapatan bersih pemerintah dari sektor migas merosot hingga 55 persen menjadi hanya sebesar Rp 173 triliun dibandingkan 2014. Untuk pertama kalinya, pendapatan yang diterima pemerintah lebih kecil dibandingkan nilai cost recovery yang diklaim oleh kontraktor migas.

Pada 2015, nilai cost recovery mencapai Rp 186 triliun atau lebih besar Rp 9 triliun dibandingkan pendapatan bersih pemerintah. Sementara, jatah yang diterima oleh kontraktor juga mengalami penurunan signifikan. Bahkan bagi hasil yang diterima oleh kontraktor menurun paling besar, hingga 64 persen menjadi Rp 45 triliun pada 2015.

Secara keseluruhan pendapatan kotor migas yang mencakup pendapatan bersih pemerintah, pendapatan kontraktor hingga cost recovery mengalami penurunan 44 persen pada 2015. Sejumlah faktor menyebabkan penurunan penerimaan migas tersebut. Selain karena anjloknya harga minyak dunia yang menyentuh level terendah dalam 13 tahun terakhir juga disebabkan oleh mundurnya beberapa proyek migas strategis seperti Banyu Urip, Lapangan Ridho, Bukit Tua, dan Kepodang.

Penghentian operasi sementara (unplanned shutdown) yang terjadi pada beberapa blok migas karena gangguan fasilitas produksi dan masalah eksternal turut memberi dampak pula pada penurunan penerimaan migas.  

Rendahnya penerimaan migas juga dipengaruhi oleh tren produksi migas Indonesia yang terus merosot hingga rata-rata 28 persen setahun. Penurunan ini merupakan yang terdalam dibanding lima tahun terakhir sebesar 5-10 persen.

KKKS Pangkas Anggaran Investasi 2015
KKKS Pangkas Anggaran Investasi 2015 (Katadata)

Perusahaan minyak dan gas global ramai-ramai memotong belanja investasi seiring turunnya harga minyak mentah dunia. Menurut survei Wood Mackenzie, pos anggaran yang banyak mengalami pemotongan adalah biaya kegiatan dengan perusahaan kontraktor dan kegiatan eksplorasi terutama yang membutuhkan biaya besar seperti ekplorasi di laut dalam.

Sementara di dalam negeri, pemangkasan anggaran memaksa perusahaan mengembalikan sejumlah blok migas ke pemerintah. Umumnya, blok yang dikembalikan masih memerlukan eksplorasi panjang dan prospek komersialisasinya kurang menjanjikan. Apalagi, sejumlah blok migas baru yang dilelang pemerintah lima tahun terakhir kebanyakan berlokasi di laut dalam kawasan Indonesia Timur. Eksplorasi blok migas tersebut membutuhkan biaya yang lebih mahal.

Kalaupun eksplorasi dilanjutkan, ada sejumlah risiko yang harus diambil, antara lain: cadangan minyak yang ditemukan tidak sesuai perhitungan atau bahkan sama sekali tidak ada dan kemungkinan membengkaknya biaya eksplorasi karena kendala yang dihadapi lebih sulit dari perkiraan awal. Kalaupun cadangan minyak bisa ditemukan, biaya produksi akan jauh lebih mahal dari harga jual minyak.

Perusahaan yang memenangkan lelang blok migas mendapatkan waktu maksimal sepuluh tahun masa eksplorasi, yang dibagi dalam dua periode. Periode pertama untuk komitmen awal selama enam tahun, dan bisa diperpanjang lagi selama empat tahun. Pengembalian blok migas dapat dilakukan setelah perusahaan memenuhi komitmen investasi. Apabila komitmen tidak dipenuhi, ada sanksi yang dijatuhkan SKK Migas kepada kontraktor.

Investasi Menurun Cadangan Migas Susut
Investasi Menurun Cadangan Migas Susut (Katadata)

Turunnya harga minyak mentah dunia yang terjadi sejak pertengahan 2014 telah berdampak terhadap kegiatan industri hulu migas Tanah Air. Sebagian besar perusahaan migas melakukan efisiensi, termasuk belanja investasi.

Berdasarkan catatan SKK Migas, nilai investasi dalam empat tahun terakhir terus merosot. Pada 2016, bahkan tidak sampai US$ 100 juta, terendah dalam lima tahun terakhir. Jumlah wilayah kerja (WK) eksplorasi pun terus turun menjadi 199 WK pada tahun lalu. Minimnya aktivitas eksplorasi membuat cadangan minyak nasional ikut berkurang.

Pemerintah perlu mencari terobosan untuk menggairahkan kembali investasi di sektor hulu migas. Penurunan harga minyak merupakan salah satu dari beberapa faktor yang menyebabkan turunnya aktivitas investasi hulu migas di Indonesia.

Insentif Fiskal Indonesia Kurang Kompetitif
Insentif Fiskal Indonesia Kurang Kompetitif (Katadata)

Wilayah eksplorasi minyak dan gas bumi (migas) telah mengalami pergeseran dari daratan ke laut lepas. Berbeda dengan wilayah daratan, kegiatan eksplorasi di lepas pantai, terutama di perairan laut dalam membutuhkan investasi yang lebih mahal.

Agar menarik investasi, negara-negara penghasil migas memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan yang mau melakukan eksplorasi di area laut dalam. Berdasarkan survei Wood Mackenzie, insentif yang diberikan Indonesia tergolong kurang menarik untuk berinvestasi di bandingkan dengan negara-negara produsen lain.

Bahkan tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR) perusahaan migas di Indonesia termasuk rendah dikarenakan porsi bagi hasil pemerintah yang tinggi. Ini terbukti Indonesia tidak termasuk negara tujuan investasi bagi perusahaan-perusahaan migas utama global pada 2016.

Porsi Migas Pemerintah Indonesia Terbesar Kedua di Dunia
Porsi Migas Pemerintah Indonesia Terbesar Kedua di Dunia (Katadata)

Porsi pemerintah menjadi salah satu yang diperhitungkan perusahan migas dalam menempatkan investasinya di sebuah negara. Pasalnya, porsi pemerintah menjadi biaya yang besarnya tidak dapat ditentukan oleh perusahaan. Apalagi perusahaan migas sedang mengefisiensikan berbagai belanja modal di tengah tren harga minyak rendah.

Dibandingkan dengan negara-negara produsen migas lain, Aljazair dan Indonesia termasuk dua negara yang menikmati porsi pemerintah (government take) terbesar dari perusahaan migas. Besaran porsi pemerintah Indonesia mencapai 81 persen, lebih besar daripada Malaysia dan Amerika Serikat. Komponen-komponen besarannya meliputi berbagai biaya yang dikeluarkan perusahaan, seperti royalti atau bagi hasil, pajak-pajak perusahaan, biaya jasa dan lainnya.

Konsultan energi Pedro Van Meurs menyebutkan, dari sisi pemerintah, harga minyak dunia menjadi acuan pemerintah dalam menentukan besar porsi pemerintah. Selain itu, kondisi lain yang menentukan adalah keadaan wilayah, resiko lokasi, logistik, peta politik dan perubahan regulasi.

Iklim Investasi Migas ASEAN: Peringkat Indonesia Terendah
Iklim Investasi Migas ASEAN: Peringkat Indonesia Terendah (Katadata)

Iklim investasi hulu migas Indonesia termasuk yang terendah di kawasan Asia Tenggara. Ini terlihat dari hasil survei Policy Perception Index 2016 yang dilakukan Fraser Institute yang menempatkan Indonesia di posisi 79 dari 96 yurisdiksi.

Berdasarkan survei tersebut Vietnam dan Myanmar dianggap sebagai salah satu negara dengan iklim investasi yang baik. Vietnam berada di posisi 40 besar, sedangkan Myanmar berada lebih dari 10 tingkat di atas Indonesia. Tak hanya kedua negara tersebut, Indonesia bahkan juga tertinggal dari Kamboja.

Aspek penilaian survei Policy Perception Index 2016 meliputi aspek perpajakan, ketidakpastian regulasi lingkungan hingga stabilitas politik keamanan di suatu negara. Dua tahun terakhir, investasi migas di Indonesia sedang dalam kondisi kurang menggairahkan. Ini terbukti dari 28 wilayah kerja (WK) migas yang dilelang, pemerintah tidak berhasil mendapatkan satu pemenangpun.

Permasalahan Perizinan Hambat Investasi Migas
Permasalahan Perizinan Hambat Investasi Migas (Katadata)

Lama dan banyaknya izin yang mesti diurus menjadi salah satu penghambat investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas). Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian, terdapat 373 jenis perizinan yang tersebar di 19 kementerian/ lembaga (K/L). Bukannya berkurang, jumlah ini meningkat dibandingkan pada 2015 sebanyak 341 perizinan.

Proses perizinan yang memakan waktu sangat lama menjadi hal yang dipertimbangkan perusahaan migas untuk berinvestasi. Hal ini berakibat pada biaya produksi yang mahal dan pembengkakan cost recovery. Selain itu, dengan harga minyak yang rendah dan biaya eksplorasi yang besar, waktu yang habis untuk mengurus perizinan, akan memangkas waktu komersialisasi produksi migas.

Padahal dibandingkan dengan negara Asia tenggara, peringkat iklim investasi hulu migas di Indonesia termasuk yang terendah. Ini terlihat dari hasil survei Policy Perception Index 2016 yang dilakukan Fraser Institute yang menempatkan Indonesia di posisi 79 dari 96 yurisdiksi. Situasi ini mau tak mau harus menjadi perhatian pemerintah untuk menggairahkan kembali investasi di sektor hulu migas.

11 Kontraktor Migas, Tersangkut Kasus Lahan
11 Kontraktor Migas, Tersangkut Kasus Lahan (Katadata)

Kasus tumpang tindih lahan banyak ditemukan di industri hulu migas Tanah Air akibat pembebasan lahan yang memakan waktu lama. Kondisi ini menjadi hambatan bagi perusahaan di sektor energi untuk melakukan kegiatan eksplorasi energi baru.

SKK Migas mencatat terdapat sebelas perusahaan yang terkena tumpang tindih lahan. Jangankan untuk mendapat izin baru, kontraktor yang ingin memperpanjang izin sewa lahan pun harus melewati proses dalam hitungan tahunan.

Contoh kasusnya, lahan migas yang tumpang tindih dengan konsesi pertambangan minerba. Adapula yang tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung. Bahkan ada izin lahan yang ketika diperpanjang bertabrakan dengan izin wilayah untuk konstruksi komplek perumahan. Kasus seperti ini terhadi sebab koordinasi yang kurang antara pemerintah daerah dan pusat.

Tak hanya tumpang tindih, kontraktor migas yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah pusat bahkan mengalami gangguan keamanan hingga penyegelan lahan. Penyebabnya pemerintah daerah kabupaten merasa para kontraktor migas menyelonong di wilayahnya.

Investasi Migas Turun Ekonomi Daerah Melambat
Investasi Migas Turun Ekonomi Daerah Melambat (Katadata)

Pertumbuhan ekonomi di sejumlah daerah penghasil minyak dan gas bumi (migas) mengalami perlambatan. Kondisi ini dipengaruhi oleh berkurangnya kegiatan investasi di sektor migas yang menjadi kontributor utama di daerah-daerah tersebut. Kutai Kartanegara, Bengkalis, dan Siak adalah kabupaten-kabupaten yang mengalami pertumbuhan negatif.  

Penurunan harga minyak dunia sejak pertengahan 2014 membuat sejumlah perusahaan migas melakukan efisiensi, termasuk mengurangi anggaran investasi. Akibatnya jumlah kegiatan eksplorasi di wilayah kerja ikut berkurang, alhasil para pekerja yang biasanya ramai di wilayah tersebut juga menyusut. Ini mempengaruhi roda perekonomian di daerah tersebut, seperti tempat hiburan, sewa hotel, transportasi, hingga restoran.

Di sisi lain, pemerintah daerah kesulitan untuk meningkatkan belanja lantaran penerimaan dana bagi hasil (DBH) dari sektor migas ikut berkurang. Rincian dana bagi hasil (DBH) dari Kementerian Keuangan mencatat total transfer ke daerah pada 2015 menurun lebih dari 50 persen dibanding tahun sebelumnya. Padahal DBH merupakan tulang punggung anggaran.

 
Harga Minyak Rontok, Dana Daerah Anjlok
Harga Minyak Rontok, Dana Daerah Anjlok (Katadata)

Penurunan harga minyak dunia sejak pertengahan 2014 membuat penerimaan daerah penghasil migas di Indonesia susut. Rincian dana bagi hasil (DBH) dari Kementerian Keuangan mencatat total transfer ke daerah pada 2015 menurun lebih dari 50 persen dibanding tahun sebelumnya.

Kecilnya penerimaan daerah disebabkan pemerintah menurunkan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) 2015 dari US$ 105 per barel menjadi US$ 70 per barel. Realisasi di akhir tahun bahkan hanya US$ 49 per barel. Menurunnya dana transfer juga dipengaruhi oleh merosotnya produksi lapangan migas di Indonesia yang rata-rata 28 persen.

Bagi pemerintah daerah, menyusutnya transfer DBH merupakan kabar buruk karena dana tersebut merupakan tulang punggung anggaran. Akibatnya, sejumlah daerah mengalami defisit anggaran, penundaan proyek-proyek pembangunan hingga kesulitan membayar gaji pegawai.

2015, Kaltim PHK Tertinggi
2015, Kaltim PHK Tertinggi (Katadata)

Pengurangan kegiatan investasi yang dilakukan perusahaan migas berdampak yang berkurang aktivitas perekonomian di wilayah kerjanya. Dampaknya pertumbuhan ekonomi di daerah mengalami perlambatan yang pada akhirnya menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Pada 2015, Kementerian Tenaga Kerja mencatat hampir 50 ribu kasus PHK. Di daerah penghasil minyak, PHK dipicu oleh kelesuan ekonomi dan turunnya harga minyak dunia. Kalimantan Timur, misalnya, yang 48 persen perekonomiannya ditopang oleh sektor migas dan batu bara.

Di provinsi tersebut, tercatat sekitar 10.721 karyawan mengalami PHK pada 2015. Jumlah itu merupakan akumulasi PHK yang terbesar di Tanah Air.

Peluang Kerja Sektor Migas Makin Terbatas
Peluang Kerja Sektor Migas Makin Terbatas (Katadata)

Turunnya minat investasi migas di Indonesia berdampak pada berkurangnya lapangan kerja di sektor ini. Akibatnya sarjana dengan kualifikasi teknis di bidang migas terancam bekerja di area di luar kapasitasnya.

Ini terlihat dari data pada 2014 dan 2015. Ketika terjadi pengurangan investasi, jumlah tenaga kerja pun ikut berkurang. Padahal jumlah mahasiswa pertambangan di Indonesia mencapai puluhan ribu setiap tahun. Fakultas Teknik Perminyakan misalnya, pada 2016 menerima 5.469 mahasiswa di sembilan universitas.

Situasi yang sama sebetulnya juga terjadi di perusahaan migas global. Sejumlah perusahaan global malah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) seiring merosotnya laba bersih akibat turunnya harga minyak mentah dunia.

 
Efek Berganda Industri Migas
Efek Berganda Industri Migas (Katadata)

Kegiatan Usaha hulu migas memberikan efek berganda teradap pertumbuhan ekonomi nasional. Pada 2016 nilai kontribusi industri hulu migas terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional tercatat mencapai US$ 23,7 miliar atau 3,3 persen PDB secara nasional. Jika dilihat secara keseluruhan, pertambangan migas masih berada dalam 10 besar kontributor PDB nasional dari 49 lapangan usaha.

Operasi bisnis hulu migas juga memberikan peningkatan kapasitas tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Rasio penggunaan kandungan lokal terhadap pengeluaran di atas 50 persen setiap tahunnya. Kecuali pada 2016, yakni rasionya hanya mencapai 4,8 persen seiring berkurangnya investasi migas di Tanah Air dalam dua tahun terakhir. Tak hanya berhenti pada TKDN, kewajiban transaksi pembiayaan barang dan jasa melalui bank BUMN dan BUMD turut memberi efek positif bagi penguatan perbankan nasional.

Lifting Migas Terancam Terus Turun Menurun
Lifting Migas Terancam Terus Turun Menurun (Katadata)

Sebanyak 25 blok migas akan berakhir masa kontraknya dalam lima tahun ke depan. Jika tidak dipersiapkan proses alih kelolanya sejak sekarang, situasi ini berpotensi menurunkan lifting harian migas nasional.

Proses perpanjangan dan alih kelola blok migas sebetulnya sudah bisa dimulai 10 tahun sebelum kontrak berakhir. Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2015 ini ditujukan agar produksi minyak dan gas bumi serta investasi di wilayah kerja migas bisa terjaga.

Namun, proses tersebut seringkali memakan waktu panjang karena terbentur oleh banyak faktor. Bukan hanya persoalan negosiasi bisnis, tapi juga terkait kepentingan politik, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Indonesia Terancam Krisis Energi
Indonesia Terancam Krisis Energi (Katadata)

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah masih menargetkan produksi minyak dan gas bumi (migas) dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan migas hingga 2050. Salah satu yang diharapkan adalah adanya penambahan produksi migas dari kegiatan eksplorasi.

Persoalannya sebelum mencapai tahap produksi, setiap lapangan migas membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk melakukan proses pencarian (eksplorasi). Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan eksplorasi biasanya mencapai sekitar 10 tahun.

Untuk mencapai harapan tambahan produksi migas dalam negeri, artinya kegiatan eksplorasi migas sudah harus dimulai sejak saat ini. Inilah permasalahannya. Terus berkurangnya kegiatan eksplorasi migas  saat ini menyebabkan Indonesia bisa terancam mengalami krisis migas di masa depan. Meskipun secara potensi, cadangan migas Indonesia masih cukup besar. Namun itu masih perlu dibuktikan lagi melalui kegiatan eksplorasi.

Ancaman Ekonomi dalam RUEN
Ancaman Ekonomi dalam RUEN (Katadata)

Pemerintah memproyeksikan pasokan minyak dan gas bumi (migas) akan dipenuhi dari impor dalam beberapa dekade ke depan. Ini terlihat dari proyeksi yang dicantumkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang disahkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2017.

Di RUEN disebutkan, porsi impor minyak akan terus meningkat dari 48 persen pada 2015 menjadi 79 persen pada 2025, dan 87 persen pada 2050. Demikian pula pasokan gas bumi yang diperkirakan akan mencapai 38 persen (2025) dan 78 persen (2050).

Ketika harga minyak rendah, impor memang bisa menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan energi di dalam negeri. Namun dalam sejarahnya, harga minyak senantiasa berfluktuasi. Seperti roller coaster, ada kalanya turun, tapi juga naik tajam.

Jika ini terjadi, sebagai importir minyak, ekonomi Indonesia bisa terancam. Selain pasokan yang tidak terjamin, neraca pembayaran dan perdagangan terbebani. Apalagi mengingat, minyak merupakan salah satu komoditas impor terbesar di Tanah Air.

Target Pasokan Energi Dipatok Tinggi
Target Pasokan Energi Dipatok Tinggi (Katadata)

Target produksi minyak dan gas bumi (migas) dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) diperkirakan sulit tercapai. Persoalannya, target yang ditetapkan pemerintah tidak didukung oleh produksi dalam negeri yang terus menurun. Produksi migas Indonesia diperkirakan terus mengalami defisit hingga 2050.

Dalam RUEN disebutkan, target produksi minyak pada 2025 mencapai 568 ribu barel per hari (bph), tapi proyeksi Kementerian ESDM hanya sebesar 357 ribu bph. Ini artinya terjadi defisit sebesar 37 persen setiap harinya. Defisit produksi minyak tersebut diperkirakan terus berlangsung hingga 2050 yang mencapai 89 persen.

Demikian pula dengan produksi gas bumi, dari target 5.668 mmscfd pada 2050, produksi dalam negeri hanya mampu 2.759 mmscfd, atau kekurangan sebesar 51 persen per hari.

Pemerintah memang mengandalkan program Enhanced Oil Recovery (EOR) dan kegiatan eksplorasi baru. Namun, ini artinya banyak pekerjaan rumah yang menanti di sektor hulu migas agar kegiatan investasi kembali bergairah.

Butuh Dana Besar untuk Menjaga Produksi
Butuh Dana Besar untuk Menjaga Produksi (Katadata)

Kementerian ESDM berencana menyerahkan pengelolaan delapan blok minyak dan gas bumi (migas) yang masa kontraknya berakhir pada 2017-2018 kepada Pertamina. Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah mendukung perusahaan migas nasional.

Namun di sisi lain, penyerahan tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu keuangan pertamina dan memutus kontinuitas produksi. Biaya operasional kedelapan blok migas tersebut mencapai US$ 412 juta atau sekitar Rp 5,5 triliun per tahun.

Selain delapan blok migas tersebut, masih ada 17 blok lainnya yang kontraknya akan berakhir sampai 2021. Jika blok-blok ini tidak segera diperpanjang atau ditentukan pengeloanya yang baru, dikhawatirkan produksi migas akan turun.

Andalkan EOR untuk Produksi Minyak
Andalkan EOR untuk Produksi Minyak (Katadata)

Pemerintah akan mengandalkan penambahan produksi minyak bumi dari kegiatan Enhanced Oil Recovery (EOR) dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025-2050. Upaya ini dilakukan karena tambahan produksi dari lapangan baru belum dapat mengimbangi penurunan produksi. Namun EOR butuh waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk sampai tahap full scale

Dalam pengembangan EOR, pemerintah telah menargetkan dapat memulai prosesnya pada 2020 dan telah menyiapkan 32 lapangan sebagai pilot project. Selain itu, pemerintah menyiapkan skema Production Sharing Contract (PSC) khusus. Program ini diharapkan dapat meningkatkan produksi serta memulihkan cadangan minyak sebesar 2,5 miliar barel.

Namun yang jadi persoalan, proses produksi lapangan EOR sama seperti lapangan konvensional. Waktu yang dibutuhkan mencapai 10 tahun untuk sampai puncak produksi. Selain itu dana investasi yang dibutuhkan mencapai US$ 225 juta – 500 juta, sekitar Rp 3 triliun-6,6 triliun. Mahalnya investasi disebabkan lapangan migas sudah berumur tua.

Eksplorasi Migas Bergeser ke Laut Dalam
Eksplorasi Migas Bergeser ke Laut Dalam (Katadata)

Kegiatan eksplorasi migas di Indonesia kini mulai bergeser ke laut dalam. Setelah ditemukan pertama kali oleh pengusaha Belanda Jan Reerink pada 1871, lapangan migas di Indonesia yang sampai akhir 1990-an mayoritas terletak di lapangan daratan (onshore) kini mulai

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami