Menakar Emisi dalam Produksi Biodiesel

Emisi biodiesel sudah dihasilkan sejak fase perkebunan.
Image title
9 April 2020, 10:00

Kajian Traction Energy Asia menemukan, produksi biodiesel justru menambah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) jika tidak dikelola secara berkelanjutan. Emisi yang dihasilkan dari produk jadi bahan bakar nabati ini bisa lebih rendah dari bahan bakar fosil. Namun, jika dikaji dari hulu ke hilir, biodiesel justru dapat mengeluarkan emisi lebih besar.

Emisi biodiesel sudah dihasilkan sejak fase perkebunan. Sumber emisi itu berasal dari proses alih fungsi lahan, pembibitan, pemupukan, penggunaan BBM untuk kendaraan pengangkut, hingga penggunaan listrik. Selanjutnya, di fase pabrik kelapa sawit, sumber emisi berasal dari tandan buah segar (TBS), penggunaan BBM untuk kendaraan pengangkut, listrik, proses pencampuran bahan kimia, limbah padat, dan limbah cair atau Palm Oil Mill Effluent (POME).

Selanjutnya di kilang CPO, emisi dihasilkan dari penggunaan BBM, bahan kimia, dan pemakaian listrik. Kemudian, di pabrik biodiesel, emisi berasal dari CPO, BBM, mesin katalis, listrik, dan uap. Berikutnya, di stasiun pencampuran, sumber emisi berasal dari biodiesel dan listrik. Kemudian dari proses distribusi hingga ke konsumen, emisi dihasilkan oleh produk biodiesel B20 atau B30 itu sendiri.

Traction Energy Asia merekomendasikan sejumlah langkah untuk mendorong perbaikan tata kelola biodiesel yang berkelanjutan dan lestari. Pertama, pemerintah perlu menetapkan ambang batas emisi GRK dari CPO yang dihasilkan untuk bahan baku. Kedua, bahan baku TBS yang digunakan harus berasal dari kebun yang dibuka sebelum 2008. Ketiga, memastikan keterlacakan dan transparansi TBS dalam produksi biodiesel. Serta keempat, meningkatkan produktivitas petani swadaya dan menghentikan perluasan sawit.