KOMIK: Polemik Royalti Musik
Pemerintah dan DPR akan merevisi UU Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta buntut dari polemik penarikan royalti musik. Revisi ditargetkan rampung dalam dua bulan. Selain itu, pemerintah juga akan melakukan audit untuk memastikan transparansi penarikan royalti.
“Untuk masyarakat luas, diharapkan untuk tetap tenang, untuk dapat kembali seperti sediakala memutar lagu tanpa takut. Kami akan jaga suasana supaya tetap kondusif,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pada Kamis, 21 Agustus.
Sebelumnya, suasana sejumlah pusat perbelanjaan hingga kafe di berbagai daerah cenderung hening. Tempat-tempat yang biasa memutar lagu melalui pengeras suara, memilih untuk sementara waktu tidak memutar lagu untuk menghindari risiko hukum dan ditagih royalti.
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) menyebut sempat berupaya melakukan negosiasi dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) terkait penyesuaian tarif royalti lagu, tetapi tidak berujung positif. HIPPINDO lantas menginstruksikan pusat perbelanjaan anggotanya untuk tidak memutar musik.
Hal ini imbas kasus royalti lagu yang menyeret gerai Mie Gacoan. Pengelola restoran Mie Gacoan harus membayar royalti hingga Rp2,2 miliar ke Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) SELMI karena dianggap menunggak bayar royalti musik di gerai Bali.
Di sisi lain, kelompok musisi yang tergabung dalam Vibrasi Suara Indonesia (VISI) dan Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) menuntut transparansi penarikan dan distribusi royalti lagu yang dilakukan LMKN dan LMK.
Masalah transparansi LMKN dan LMK ini juga menjadi sorotan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Menurutnya, perlu dilakukan audit untuk membenahi sistem pemungutan royalti hingga mekanisme penyalurannya.
“Sedang mau kami kumpulkan LMKN dan LMK-nya. Kami akan minta supaya ada audit, baik LMKN maupun LMK,” kata Supratman, Senin, 18 Agustus.
