Mengenal Suku Asmat, Suku Asli Papua yang Terkenal dengan Seni Ukir

Image title
29 September 2021, 17:30
Suku Asmat
asmatkab.go.id
Suku Asmat

Suku Asmat adalah suku yang berasa dari Papua. Suku Asmat dikenal dengan hasil ukiran kayunya yang unik. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di pedalaman.

Pola hidup, cara berpikir, struktur sosial dan keseharian kedua kategori suku Asmat tersebut sangat berbeda. Untuk mata pencaharian misalnya, suku Asmat di pedalaman biasanya memiliki pekerjaan sebagai pemburu dan petani kebun, sementara mereka yang tinggal di pesisir lebih memilih menjadi nelayan.

Kesamaannya adalah dari ciri fisik, di mana suku Asmat rata-rata memiliki tinggi sekitar 172 cm, untuk pria dan 162 untuk perempuan. Warna kulit mereka umumnya hitam dengan rambut keriting. Kesamaan ini disebabkan karena suku Asmat masih satu keturunan dengan warga Polynesia.

Suku Asmat tersebar mulai dari pesisir pantai Laut Arafuru, hingga Pegunungan Jayawijaya. Secara keseluruhan, mereka menempati wilayah Kabupaten Asmat membawahi 7 kecamatan.

Luasnya wilayah Kabupaten Asmat, membuat jarak antar kampung atau kampung dengan kecamatan menjadi sangat jauh. Belum lagi kontur tanah yang berawa-rawa, membuat perjalanan dari antar kampung lainnya bisa memakan 1-2 jam dengan berjalan kaki.

Suku Asmat sangat terkenal dengan tradisi dan keseniannya. Mereka dikenal sebagai pengukir handal dan diakui secara internasional. Ukiran ala suku Asmat sangat banyak jenis dan ragamnya. Biasanya, ukiran yang mereka hasilkan menceritakan tentang sesuatu, seperti kisah para leluhur, kehidupan sehari-hari, dan rasa cinta mereka kepada alam.

Selain seni ukir, suku Asmat menyenangi tari dan nyanyian yang biasa mereka tampilkan ketika menyambuat para tetamu, menghadapi masa panen, atau pun ritual penghormatan kepada roh para leluhur.

Suku Asmat memang sangat menghormati leluhur mereka, terlihat dari tradisi yang mereka miliki. Meski kebudayaan modern sudah banyak mempengaruhi kehidupan mereka, tapi untuk urusan tradisi dan adat istiadat masih cukup kental dan sulit dihilangkan.

Rumah bujang atau Jew
Rumah bujang atau Jew (asmatkab.go.id)

Rumah Bujang

Dalam tradisi masyarakat suku Asmat dikenal juga bangunan bernama Rumah Bujang atau biasa disebut dengan Jew. Rumah ini merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dari kehidupan suku Asmat.

Jew merupakan rumah utama, tempat segala aktivitas suku Asmat dilakukan. Saking pentingnya, ketika hendak mendirikan Jew harus diadakan upacara khusus terlebih dahulu. Hanya para pria yang belum menikah yang boleh tinggal di rumah Jew. Kecuali ketika ada acara besar, perempuan sesekali boleh masuk ke dalam Jew.

Dilansir situs Asmatkab.go.id, Tokoh adat Distrik Atsj, Matias Jakmenem menjelaskan kalau Jew merupakan salah satu rumah bujang bagi suku Asmat. Ini karena, penghuninya semua adalah kelompok laki-laki (Beorpit).

Setiap kampung memiliki Jew dan menjadi pusat kehidupan suku Asmat. Perempuan dalam kalangan masyarakat Asmat hanya boleh masuk ke dalam Jew, ketika ada pesta atau ritual adat.

Matias menyebutkan, Jew merupakan rumah inisiasi, di mana pemuda (laki-laki) dalam kalangan masyarakat Asmat mendapat inisiasi, seperti cara berperang, memuku ltifa, mencari ikan hingga kisah tentang leluhur.

Dia menyebutkan dalam bahasa Asmat, Jew berarti roh atau spirit. Maka, Jew juga bisa diartikan sebagai sukma atau jiwa yang menghidupkan dan menggerakan kehidupan bersama. Sehingga, setiap kelompok masyarakat tidak tercerai-berai.

Jew dibuat dari kayu local dan rotan serta daun nipah sebagai atap. Kulit kayu dimanfaatkan sebagai lantai rumah. Jew juga memiliki 7-10 pintu dengan satu wair ( tungku utama), serta sejumlah tungku lain di bagian kanan dan kiri.

Menurut Matias, makna pintu dan tungku perapian menunjukan jumlah keluarga atau marga di setiap kampung. Dalam adat istiadat masyarakat Asmat, setiap marga atau fam disediakan dua pintu dan dua buah tungku perapian.

Dalam tradisi masyarakat Asmat, Jew tidak dilihat dari sisi panjang dan lebar atupun besarnya Jew. Itu karena, Jew sudah diwariskan dari nenek moyang dan leluhur masyarakat Asmat.

Rumah bujang itu tidak memiliki sekat atau ruangan yang memisahkan antara tungku dan air. Perapian dan tungku justru  menjadi simbol tempat untuk masing-masing kelompok.

Pada tiang rumah Jew dilengkapi ukiran kepala perang masing-masing kelompok yang telah meninggal. Makna di balik penempatan ukiran kepala perang yang meninggal adalah sebagai pedoman bagi masyarakat Asmat dari generasi ke generasi. Dengan begitu, warisan adat tetap mengalir dalam kehidupan warga Asmat dari masa ke masa. Bahkan, ukiran kepala perang itu melambangkan warisan tradisi Asmat yang dilestarikan.

Setiap Jew yang dibuat masyarakat Asmat selalu menghadap arah matahari terbit atau sejajar dengan aliran sungai. Sementara, posisi rumah warga masyarakat berada di samping atau di bagian belakang Jew. Posisi Jew juga sebagai penanda dan symbol lingkaran hidup dan cara berkomunikasi serta kebersamaan hidup masyarakat suku Asmat. 

Bahasa

Bahasa yang digunakan suku Asmat merupakan kelompok bahasa yang oleh para ahli bahasa disebut sebagai language of the Southern Division, bahasa-bahasa bagian selatan Papua. Bahasa ini pernah dipelajari dan digolongkan oleh C.L Voorhoeve (1965) menjadi film bahasa-bahasa Papua non-Melanesia.

Halaman:
Editor: Intan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...