Penjelasan Pakar Hukum Ini Sebut Putusan Penundaan Pemilu Salah

Intan Nirmala Sari
5 Maret 2023, 10:41
penundaan pemilu
ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/aww.
Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) menempelkan stiker pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih Pemilu 2024 di Bojong Manik, Lebak, Banten, Sabtu (25/2/2023). Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banten menugaskan sebanyak 33.161 petugas pemutakhiran data pemilih (Pantarlih) untuk melakukan pemutakhiran data pemilu dengan mendatangi rumah ke rumah guna mengantisipasi ketidaksesuaian data pemilih Pemilu 2024.

Kontroversi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menunda Pemilu 2024 masih berlanjut. Bahkan, Pakar Hukum Bivitri Susanti menilai putusan menunda pemilu dua tahun, enam bulan, tujuh hari tersebut merupakan putusan yang salah. Menurutnya, penundaan pemilu memungkinkan dilakukan hanya di suatu daerah dan tidak dalam skala nasional.

“Menurut saya, putusan itu salah, karena melanggar hukum, bahkan melanggar konstitusi,” ujar Bivitri dalam video TikTok dengan akun @bivitrisusanti.

Dia menjelaskan, pada Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Hal tersebut merupakan norma konstitusional, sehingga dalam undang-undang pemilu tidak diberikan ruang untuk menunda pemilu secara nasional.

“Memang ada di pasal 400-an yang mengatakan bahwa mungkin saja ada pemilu susulan, istilahnya begitu. Kalau suatu daerah, bukan nasional, terkena bencana misalnya gempa bumi di Cianjur,” kata Bivitri.

Jika kondisi tersebut terjadi di suatu daerah, maka masih diperkenankan untuk menunda pelaksanaan pemilu dalam beberapa bulan. Namun, hal tersebut tidak diterapkan secara nasional. Ditambah lagi, bentuk dan alasan dari pemilu susulan tersebut harus dibatasi hanya karena bencana dan sebab-sebab lainnya yang sangat darurat.

Bivitri menambahkan, pemilu susulan di suatu daerah tersebut dilakukan tidak melalui putusan pengadilan, melainkan melalui peraturan Komisi Pemilihan Umum atau KPU. Artinya, karena Pasal 22E UUD 1945 merupakan norma konstitusional yang bersifat kesepakatan politik, maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah kesepakatan politik.

Hal lain yang perlu diperhatikan menurut Bivitri adalah, undang-undang pemilu merupakan sebuah rezim administrasi pemerintahan. Dengan begitu, penting untuk membedakannya dengan rezim perdata alias privat yang hanya melibatkan beberapa orang dengan orang lainnya atau badan hukum.

Sebagai aturan rezim administrasi, ketika ada perkara seperti yang dialami Partai Prima, penggugatnya dalam hal ini Partai Prima dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi sebagai partai. Hal tersebut sebenarnya sudah selesai, karena dibawa ke jalur yang memang diatur oleh undang-undang 7 tahun 2017, yaitu ke Bawaslu dan bisa lanjut ke PTUN.

“Jadi pengaturannya di sini kalau pemilu nanti, kan kalau sengketa hasil ke MK, kemudian kalau etik ke DKPP, sudah tidak ada urusan ke perdata,” kata Bivitri dalam videonya.

Sementara, perkara yang tengah dibicarakan di wilayah ini, argumennya adalah perbuatan melawan hukum oleh KPU. Kondisi tersebut justru menjadikan KPU sebagai tergugat dan dinilai sebagai hal yang aneh oleh Bivitri. "Kalau perbuatan melawan hukum oleh penguasa, seharusnya dibawa ke pengadilan tata usaha negara, tapi kok diterima di pengadilan negeri?," katanya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...