Tiongkok Perketat Aturan, Alibaba dan Tencent Sulit IPO di Luar Negeri
Otoritas keamanan internet di Tiongkok, Cyberspace Administration of China (CAC) mengusulkan aturan kewajiban perusahaan teknologi di atas 1 juta pengguna untuk meninjau keamanan data. Langkah tersebut dilakukan sebelum perusahaan melakukan penawaran saham perdana ke publik atau IPO, termasuk di luar Tiongkok.
Dengan aturan tersebut, perusahaan teknologi Tiongkok seperti raksasa e-commerce Alibaba, pengembang TikTok ByteDance, hingga raksasa gim online Tencent mesti mengajukan persetujuan keamanan siber terlebih dahulu kepada pemerintah. Harapannya, langkah tersebut bisa mengantisipasi risiko pengendalian data dan informasi pribadi oleh negara lain.
"Ini berisiko, karena bisa dipengaruhi, dikendalikan, dan dieksploitasi secara jahat oleh pemerintah asing," kata CAC dikutip dari Bloomberg akhir pekan lalu (11/7).
Sedangkan analis menganggap upaya tersebut sebagai bagian untuk menekan jumlah perusahaan teknologi yang IPO di luar Tiongkok. Tahun ini saja, sebanyak 37 perusahaan Tiongkok telah terdaftar di bursa Amerika Serikat (AS). Jumlah tersebut sekaligus melampaui catatan tahun lalu. Adapun dana yang terkumpul dari IPO di luar negeri tahun ini mencapai US$ 12,9 miliar.
Partner firma riset Plenum di Beijing, Feng Chucheng mengatakan bahwa adanya aturan itu maka perusahaan teknologi akan lebih memilih untuk IPO di dalam negeri. "Aturan-aturan ini akan mendorong lebih banyak perusahaan teknologi Tiongkok mendaftar di bursa Hong Kong daripada di negara lain,” kata Feng.
Sementara itu, ambang batas 1 juta pengguna yang direncanakan pemerintah Tiongkok dinilai masih sangat rendah. Dengan begitu, akan lebih banyak perusahaan teknologi Tiongkok yang memilih IPO di dalam negeri.
Upaya tersebut terbukti efektif, di mana beberapa perusahaan dikabarkan menunda rencana mereka untuk listing di bursa AS. Perusahaan teknologi seperti LinkDoc, Keep, dan Meicai misalnya, berencana IPO di AS pada tahun ini, dan sejak adanya aturan itu, keduanya menunda rencana IPO mereka.
Sebelumnya, raksasa transportasi online asal Tiongkok, Didi sudah IPO di AS. Hanya dua hari berselang, pemerintah Tiongkok malah menangguhkan pendaftaran pengguna baru aplikasi mereka. Pemerintah Tiongkok beralasan, penangguhan dilakukan untuk mencegah perluasan risiko keamanan.
Diketahui, pemerintah Tiongkok memang menerapkan aturan ketat kepada perusahaan teknologi sejak tahun lalu. Beijing misalnya, akhir tahun lalu melakukan penyelidikan terhadap beberapa raksasa seperti Alibaba terkait dugaan monopoli. Bahkan, karena tekanan Beijing, anak usaha Alibaba, Ant Group gagal IPO.
Pemerintah Tiongkok juga mendenda Alibaba dan anak usaha Tencent, China Literature, dan Shenzhen Hive Box Technology total 1,5 juta yuan atau setara Rp 3,36 miliar pada akhir tahun lalu. Alasannya, karena tidak melaporkan akuisisi.
Tahun ini, pemerintah Tiongkok menerapkan aturan baru antimonopoli yang bisa menjerat raksasa teknologi seperti Alibaba dan Tencent. Beberapa hal yang menjadi perhatian regulator yakni perusahaan dilarang memaksa penjual atau mitra menggunakan layanan. Tidak boleh menghambat inovasi teknologi, memanipulasi pasar dengan data dan algoritme, serta penetapan harga secara sepihak.
Awal Maret lalu, Beijing kembali mendenda anak usaha Alibaba di bidang kebutuhan pokok atau groseri yakni Nice Tuan dan kepunyaan Tencent, Shixianghui. Perusahaan tersebut diketahui menerapkan skema pembelian berbasis komunitas yang dianggap bisa mengelabui konsumen agar membeli barang.