Perjalanan Satu Abad Bursa Saham di Tanah Air

Amelia Yesidora
24 Maret 2022, 20:00
Pegawai melintas di dekat monitor pergerakan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (7/12/2021). Indeks Harga?Saham?Gabungan (IHSG) menguat 55,45 poin atau 0,85 persen di level 6.602 pada penutupan perdagangan Selasa (7/12).
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/wsj.
Pegawai melintas di dekat monitor pergerakan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (7/12/2021). Indeks Harga?Saham?Gabungan (IHSG) menguat 55,45 poin atau 0,85 persen di level 6.602 pada penutupan perdagangan Selasa (7/12).

Pandemi Covid-19 turut menggiring minat sebagian orang untuk mulai berinvestasi. Hal itu tercermin dari tumbuhnya jumlah investor Tanah Air hingga 7,5 juta per Desember 2021. Berdasarkan catatan Kustodian Sentral Efek Indonesia alias KSEI, capaian tersebut naik 92,99 % dibandingkan tahun sebelumnya.

Tingginya jumlah investor tersebut, turut menggaet minat decacorn Tanah Air, yakni Gojek dan Tokopedia alias GoTo untuk mencari pendanaan di bursa saham Indonesia. Rencananya, awal April 2022 perusahaan yang identik dengan warna hijau itu akan menawarkan 52 miliar lembar sahamnya di BEI, dengan kisaran harga Rp 316 hingga Rp 346 per lembar.

Sementara itu, meningkatnya jumlah investor sepanjang 2021 turut didorong pemerataan infrastruktur dan transformasi teknologi. Pertumbuhan tersebut, turut didukung peran Bursa Efek Indonesia alias BEI sebagai badan penyelenggara dan penyedia sistem jual-beli efek, dari pemilik perusahaan kepada calon investor.

Pada 13 Juli 2022, BEI bakal genap berusia tiga dekade. Namun, jika ditarik panjang sejarah panjang industri pasar modal Tanah Air, kehadirannya justru sudah ada lebih dari satu abad. Artinya, kehadiran bursa saham di Indonesia sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda. 

GoTo Dalam Angka
GoTo Dalam Angka (GoTo)

 

Berdiri Sejak Masa Kolonial

Berdasarkan laman resmi Bursa Efek Indonesia, bursa Tanah Air sudah resmi berdiri sejak 1912, ketika Indonesia masih dalam kuasa Belanda. Meski begitu, buku Effectengids yang dirilis Vereeniging Voor Den Effectenhandel menyebutkan perdagangan surat berharga di Indonesia sudah berlangsung sejak 1880.

Menurut buku yang terbit pada 1939 itu, transaksi surat berharga yang dilakukan Indonesia masih belum berasal dari organisasi resmi, maka catatan transaksinya pun tidak lengkap. Selanjutnya, pada 1878 dibentuklah sebuah perusahaan bernama Dunloff dan Koff, cikal bakal dari PT Perdana yang memperdagangkan sekuritas pertama di Indonesia.

Transaksi saham pertama di Indonesia terjadi pada 1892. Cultuur Maatschappij Goalpara yang merupakan perusahaan perkebunan teh di Batavia menjadi perusahaan pertama yang menawarkan sahamnya ke publik. Kala itu, perusahaan menawarkan 400 lembar sahamnya seharga 500 gulden per lembarnya.

Menyusul perusahaan perkebunan teh, pada 1896 perusahaan surat kabar di Yogyakarta, het Centrum, turut mengeluarkan saham seharga 100 gulden per lembar. Gulden merupakan mata uang Belanda selama beberapa abad, sebelum digantikan euro pada 1 Januari 2002.

Untuk melakukan pencatatan secara resmi, pemerintah Hindia-Belanda membuka cabang bursa efek pertama di Indonesia, tepatnya di Batavia pada 14 Desember 1912. Melansir buku Hukum Pasar Modal karya Mas Rahmah, bursa efek itu dinamai Vereniging Voor de Effectenhandel yang merupakan cabang dari Amsterdamse Effectenbeurs -bursa efek Amsterdam-.

Sebagai cabang dari bursa Amsterdam, maka saham yang diperjualbelikan di bursa Batavia merupakan saham-saham yang terdaftar di bursa Amsterdam. Adapun untuk investornya diperkirakan berada di Batavia, Surabaya, dan Semarang.

Menilik dari sisi historisnya, Bursa Efek Batavia merupakan bursa tertua keempat di Asia. Di mana, peringkat pertama merupakan bursa Bombay (1930), kemudian Hong Kong (1817), dan Tokyo (1878).

Pada masa awal Bursa Efek Batavia, tercatat hanya 13 perusahaan anggota bursa yang melakukan transaksi. Beberapa perusahaan itu adalah Fa. Dunloff & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. Monod & Co., Fa. Adree Witani & Co., Fa. A. W. Deeleman, Fa. Walbrink & co., Wieckert & V. D. Linden, fA. Vermeys & Co., Fa. Cruyff, dan Fa. Gebroeders.

Adapun produk yang diperdagangkan berupa saham dan obligasi perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, serta obligasi yang diterbitkan pemerintah baik provinsi dan kota praja. Ada juga sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di Belanda, serta efek perusahaan Belanda lainnya.

Periode 1914 hingga 1918, Bursa Efek Batavia terpaksa ditutup ketika terjadi perang dunia pertama. Setelah perang mereda, animo masyarakat untuk perdagangan saham mulai meningkat. Merespons animo tersebut, pemerintah Hindia-Belanda kemudian membuka dua bursa di tahun yang sama, yaitu Bursa Efek Surabaya pada 11 Januari 1925 dan Bursa Efek Semarang pada 1 Agustus 1925.

Halaman:
Reporter: Amelia Yesidora
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...