- Hitungan Polar UI menunjukkan, operasional PT Kereta Cepat baru balik modal dalam 40 tahun bila semata mengandalkan tiket dan jumlah penumpang.
- PT KCIC perlu sumber pemasukan lain saat pengembangan kawasan TOD -potensi utama sumber pendapatan perusahaan- ditunda.
- Kereta cepat akan ekonomis bila tak hanya berakhir di Bandung, namun menyusri trans Jawa.
Kelangsungan mega proyek kereta cepat Jakarta-Bandung kerap menuai kontroversi. Anggaran membengkak hingga triliunan rupiah yang berbuntut suntikan dana APBN, target operasi molor, hingga insiden dalam konstruksi. Proyek transportasi ini juga dinilai berat untuk menanggung biaya operasionalnya nanti. Lalu, muncul istilah “sampai kiamat tak akan balik modal”.
Namun demikian, Pusat Pengujian Pengukuran Pelatihan Observasi dan Layanan Rekayasa (Polar) Universitas Indonesia sebenarnya telah menghitung berbagai nilai ekonomi dari proyek strategis nasional ini. Misalnya, hitungan terkait potensi penumpang dan harga tiket yang bisa menopang operasional kereta cepat.
Wakil Ketua Polar UI Andyka Kusuma optimistis kereta cepat Jakarta – Bandung dapat menggaet 29 ribu penumpang per hari. Karena itu, dalam studi yang dibuat lembaganya, di transportasi massal ini tidak perlu subsidi untuk tiket. Pertimbangannya, proyek berlangsung dalam skema business to business (B2B) antara konsorsium Indonesia dan Cina.
Proyek kereta cepat Jakarta – Bandung alias KCJB memang kerja sama antara Indonesia dan Cina dengan membentuk perusahaan patungan bernama PT Kereta Cepat Indonesia China alias KCIC.
Dalam kerja sama tersebut, pemerintah Indonesia memiliki 60 % saham melalui PT Pilar Sinergi. Ini konsorsium yang terdiri dari empat perusahaan BUMN, yaitu PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga, PT Perkebunan Nusantara VIII, dan PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Sementara itu, konsorsium Cina menguasai 40 % saham. Perusahaan yang tergabung dalam konsorsium mereka yakni China Railway International, China Railway Group, Sinohydro Corporation, CRRC Corporation, dan China Railway Signal and Communication.
Kereta cepat ini mempunyai panjang trase 142,3 kilometer dan melewati empat stasiun: Halim, Karawang, Padalarang, dan berakhir di Tegalluar. Berdasarkan laman resmi KCIC, hanya dibutuhkan waktu 45 menit untuk menerobos perjalanan dari Jakarta ke Bandung.
Awalnya, fasilitas transportasi elite ini dijadwalkan rampung 2019 sehingga bisa segera beroperasi. Namun berbagai masalah muncul dari persoalan teknis konstruksi, hingga anggaran. Biaya investasi membengkak dari Rp 86,52 triliun kini diperkirakan mencapai Rp 114,24 triliun.
Konsorsium pun mengubah strategi dengan mengalihkan pemberhentian dari Stasiun Walini ke Stasiun Padalarang. Berhubung biaya yang harus ditomboki cukup besar, upaya tersebut tak mengurangi bolong kas proyek. KCIC masih kekurangan anggaran, dengan perhitungan internal minus Rp 27 triliun yang bakal diperuntukkan bagi pembebasan lahan.
Cobaan tak kunjung berhenti. Maret 2020, kasus Covid-19 pertama muncul di Indonesia. Kondisi tersebut membuat kinerja keuangan BUMN anggota KCIC “macet”. Pemerintah menelan ludah dan menggunakan dana APBN pada proyek tersebut -dulu dijanjikan tak akan menggunakan keuangan negara. Penyertaan modal ke KAI mencapai Rp 4,3 triliun.
Presiden Joko Widodo kemudian mematok target proyek kereta cepat untuk bisa diuji di akhir 2022. “Kemudian di Juni 2023 kita bisa operasikan,” ujar Jokowi saat meninjau lokasi proyek Rabu (12/1) lalu.
Saat ditemui Katadata.co.id Rabu pekan lalu, Direktur Utama KCIC, Dwiyana Slamet Riyadi mengatakan, perkembangan aktivitas konstruksi sudah 79,9 %. Pihaknya masih mempertimbangkan facility agreement untuk menutupi kekurangan Rp 27 triliun. “Tentunya akan ada banyak cara untuk menutup itu. Sekarang lagi dibahas di BUMN sponsor, termasuk BUMN dari Cina. Opsinya banyak,” katanya.
Dwiyana menjelaskan, dalam skema perhitungan lembaga konsultan KPMG, ada delapan opsi yang tengah dibahas. Secara paralel, KCIC juga menghitung upaya untuk mengurangi cost overrun dan turut menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit keuangan KCIC.
Menghitung Cuan Kereta Cepat, Masih Bertumpu pada Tiket dan Penumpang
Berdasarkan feasibility study (FS) Rencana Kegiatan Pembangunan Jalan Kereta Api Cepat Jakarta Bandung PT KCIC 2015, transportasi canggih tersebut diperkirakan mampu mengangkut 59 hingga 78 ribu penumpang per hari.
Terkait asumsi harga tiket Rp 250 hingga 350 ribu, menurut Dwiyana, hal itu sudah memperhitungkan berbagai aspek. “Semua pertimbangan dibuat oleh Polar UI dengan melakukan demand forecast,” ujarnya.
Demand forecast ini dilakukan cukup ketat, mempersyaratkan banyak hal, termasuk interkonektivitas, aksesibilitas, pengembangan transit oriented development alias TOD. Demikian juga mengenai perkembangan jalan tol lima tahun ke depan, tetap seperti sekarang atau semakin macet.
Polar UI menghitung harga tiket kereta cepat Rp 300 hingga 350 ribu. Andyka Kusuma optimistis kereta cepat Jakarta - Bandung dapat menggaet 29 ribu penumpang per hari. Melihat potensi tersebut, konsorsium bisa mengantongi Rp 8,7 hingga 10,15 miliar per hari. Menurut Dwiyana, dengan harga tiket tersebut, KCIC mampu menutupi kebutuhan biaya operasional.
“Dalam perhitungan financial model pasti menutup. Tapi memang, semua perusahaan transportasi apalagi kereta api di tahap awal pasti akan mengalami masa realisasi penumpang tidak sesuai dengan demand forecast,” kata Dwiyana kepada Katadata.co.id.
Untuk mengatasi hal tersebut, KCIC terus menghitung cash deficiency support. Asumsinya, dalam lima tahun pertama operasional, pertumbuhan penumpang bakal relatif kecil sekitar 3 %. Hal itu juga mempertimbangkan kondisi kasus Covid-19 di Tanah Air. “Tidak lebih dari 3 % selama lima tahun (target konservatif). Sekitar 5 % (optimistis),” ujarnya.
Terkait subsidi harga tiket, Dwiyana menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. Sedangkan dari pihak KCIC sendiri belum ada inisiatif ke arah sana.
Sementara itu, penumpang dari kalangan menengah dan menengah ke atas, kata Andyka, tidak akan ada subsidi untuk tiket KCJB. Itu karena, proyek berlangsung dalam skema business to business (B2B) antara konsorsium Indonesia dan Cina.
Andyka mengatakan ada temuan menarik berdasarkan survei KAI. Ketika perusahaan kereta ini menaikkan harga, jumlah penumpang yang membeli tiket kereta ikut naik, alih-alih turun seperti hukum ekonomi. “Fenomenanya, ini belum peak-nya, harga kereta kita kemurahan. Jadi ada yang pindah dari Parahyangan ke KCJB,” kata Andyka kepada Katadata.co.id, Rabu (12/1) lalu.
Selain itu, dia juga menyebutkan tarif KCJB bervariatif, layaknya tarif KRL dan MRT. Dalam paparannya, tarif dari Halim menuju Karawang Rp 100 hingga 150 ribu, dari Halim menuju Padalarang Rp 325 ribu, dan rute terjauh Halim menuju Tegalluar seharga Rp 350 ribu.
Dalam perhitungan Andyka, secara total stasiun, harga tiket akan semakin mahal. Namun, apabila dikaji dari total jaraknya, harga tersebut semakin murah berdasarkan hitungan per kilometernya.
Dengan patokan harga tiket Rp 300 hingga 350 ribu, Polar UI menyatakan akan butuh waktu 40 tahun untuk balik modal atau break even point (BEP). Meski tergolong lama, Andyka optimistis dalam empat dekade itu kereta cepat bakal meluas hingga ke Jawa Timur.
Ia mencontohkan bagaimana MRT yang sudah memulai pembangunan fase baru dalam kurun waktu lima tahun beroperasi. Andyka mengandaikan kereta cepat yang sampai Semarang hanya butuh waktu dua jam dari Jakarta. Harga tiketnya bisa setengah dari pesawat pada umumnya.
“Sekali kereta cepat dibangun, kita bicara long term, enggak bisa 40 tahun bicara Jakarta-Bandung. Kalau sudah sampai Semarang itu kompetisinya bukan sama jalan tol lagi, sama pesawat,” kata Andyka.
Sumber Lain Pendapatan Kereta Cepat, dari TOD ke Properti
Asumsi pembangunan proyek kereta cepat mengalami banyak perubahan rencana, termasuk pengembangan kawasan terintegrasi di stasiun (TOD). Kawasan TOD merupakan perencanaan urban terpadu yang terintegrasi dengan sistem transportasi.
Gubernur Jawa Barat sekaligus pakar urban planning, Ridwan Kamil mengatakan kawasan TOD harus memiliki aspek 3D, yakni density (kepadatan), design (desain), dan diversity (keberagaman). TOD bisa dinyatakan sebagai kawasan selama terdiri dari permukiman, ritel, perkantoran, dan sistem transportasi. TOD akan mempermudah penghuninya beraktivitas hanya di sekitar wilayah tersebut.
Rencana awal, KCIC hendak mengandalkan sumber pendapatan selain tiket melalui pembangunan TOD di masing-masing stasiun. Dilansir dari laman resmi KCIC, akan ada tiga TOD yang dibangun: Superblock Halim dengan total luas area 19,2 hektare, Kotawana dekat Karawang seluas 250 hektare, serta Talaga Luar atau Tegalluar dengan total luas 340 hektare.
Di ketiga TOD tersebut akan dibangun kawasan permukiman, hotel, perkantoran, sekolah, rumah sakit, hingga mal. TOD juga akan terintegrasi dengan moda transportasi yang akan dibangun dan sudah ada sebelumnya. Beberapa di antaranya seperti bus rapid transit (BRT), kereta api, jalan tol, hingga LRT Jabodebek. “Harus diakui, cuan dari TOD memang menarik,” kata Dwiyana.
Namun, rencana pengembangan TOD harus ditunda karena faktor anggaran. Pemerintah juga meminta KCIC berfokus menyelesaikan konstruksi kereta cepat hingga bisa beroperasi.
Dengan penundaan pengembangan kawasan terintegrasi ini, KCIC mengalihkan fokus ke pengembangan properti. Karena itu, rencana awal pengembangan kawasan yang hampir 250 hektare di setiap stasiun, kini dipangkas.
Dwiyana mengatakan, pihaknya bakal mengembangkan properti di stasiun yang lahannya sudah dikuasai, meskipun tidak besar. Untuk stasiun Halim sekitar 2,6 hektare, Tegalluar 7,2 hektare dan Karawang hampir 3 hektare. “Kalau pengembangan properti, paling cuma Rp 2 triliun,” ujarnya.
Nantinya, kawasan di sekitar stasiun tersebut akan dikembangkan dalam konsep properti yang mendukung perkembangan stasiun, misalkan untuk ritel, rumah sakit, dan properti lainnya yang mendukung kawasan kereta cepat.
Pengembangan properti akan bergantung hasil review atas FS, termasuk berapa equity yang harus disetor. Dwiyana mengatakan, yang terpenting KCIC bisa mendapatkan gain atas pengembangannya, termasuk ketika menggandeng mitra.
Catatannya, mitra yang akan dipilih KCIC untuk pengembangan harus memiliki tiga hal, yakni pasar, duit, dan kompetensi. KCIC juga melakukan beauty contest. Dia mengklaim sudah banyak perusahaan yang tertarik. “Sampai hari ini sudah banyak proposal masuk. Kita bikin MoU, termasuk dengan beberapa pengembang di Bandung, di Jakarta,” kata Dwiyana.
Dengan demikian, saat ini KCIC berfokus membangun transportasi, menyusul pengembangan kawasan menjadi lifestyle business. Dwiyana mengatakan strategi tersebut juga dilakukan perusahaan-perusahaan kereta api di di Hong Kong dan Eropa.
“Pendapatan kami di luar dari penumpang itu sebenarnya ada dari non-tiket dan utilitas. Misalnya kabel fiber optik, pipa, iklan dan lain sebagainya. Kami bisa juga lakukan bundling,” katanya.
Sebelumnya, Direktur Utama Summarecon Agung (SMRA), Adrianto Pitoyo Adhi menyambut baik pembangunan KCJB. Kehadiran stasiun bakal membangkitkan traffic di sekitar kawasan dan turut mendukung perekonomian kawasan. Posisi Summarecon Bandung dengan salah satu stasiun Tegalluar kurang dari enam kilometer dan dibatasi Tol Padaleunyi.
Namun demikian pihaknya belum berencana untuk berinvestasi di KCIC. “Karena posisi Tegalluar enggak dekat sekali, jadi kami masih fokus dengan mengembangkan Summarecon Bandung. Namun kami melihat ada potensi akses,” ujar Adrianto kepada Katadata.co.id, Selasa (11/1).