MK Tolak Uji Materi Nikah Beda Agama, Ini 5 Pertimbangan Hakim

Ira Guslina Sufa
31 Januari 2023, 16:34
Nikah beda agama
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (kanan) bersama Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams(kiri) memimpin sidang di Gedung MK, Jakarta, Senin (16/1/2023).

Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang diajukan E. Ramos Petege atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam permohonannya Ramos yang merupakan pemuda asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Provinsi Papua meminta MK membatalkan pasal yang melarang pernikahan beda agama. 

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Prof Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 di Jakarta, Selasa (31/1). 

Meski memutuskan menolak, namun dua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI yakni Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan berbeda (concurring opinion). Kedua hakim memiliki pertimbangan berbeda dalam melihat gugatan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang diajukan pemohon terkait perkawinan beda agama.

Dalam pokok permohonan yang dibacakan ulang Hakim Arief Hidayat, Ramos menyampaikan sejumlah dalil yang menyatakan inkonstitusionalitas Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.  Menurut pemohon, perkawinan adalah hak asasi yang merupakan ketetapan atau takdir tuhan. 

“Setiap orang berhak untuk menikah dengan siapapun juga terlepas dari perbedaan agama,” tulis Ramos dalam permohonannya.

Ramos juga mengatakan negara tidak bisa melarang atau tidak mengakui pernikahan beda agama. Selain itu ia menyebut negara juga seharusnya bisa memberikan suatu solusi bagi pasangan beda agama.   

Alasan yang dijadikan dasar menggugat UU Perkawinan adalah karena menilai isi dari Pasal 2 Ayat (1)   telah menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dengan apa yang dimaksud dengan "hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu".  Menurut pemohon, banyak institusi agama yang tidak bersedia melangsungkan perkawinan beda agama termasuk adanya penolakan pencatatan oleh petugas catatan sipil.

Ramos menyebutkan, apabila perkawinan hanya diperbolehkan dengan yang seagama hal ini bisa mengakibatkan negara pada hakikatnya memaksa warga negaranya. Ia juga mengatakan pasal 2 Ayat (2) menimbulkan tafsir bagi pelaksana UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak dimungkinkan untuk melangsungkan perkawinan beda agama dengan menggeneralisasi berbagai tafsir dalam hukum agama, dan kepercayaan masing-masing untuk menghindari perkawinan beda agama.

Beda Pertimbangan Hakim MK 

Menanggapi permohonan dari Ramos, hakim MK telah menetapkan menolak seluruh poin gugatan dengan adanya pendapat berbeda dari dua hakim. Adapun pertimbangan hakim yang muncul dalam menetapkan putusan atas permohonan Ramos adalah sebagai berikut: 

1. Falsafah Bangsa 

Hakim MK Enny Nurbaningsih membenarkan bahwa menentukan pilihan dalam pernikahan merupakan hak asasi manusia yang diakui Indonesia. Hak itu tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara.

Meskipun demikian, Eny mengatakan hak asasi manusia berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.

2. Konstruksi jaminan

Lebih jauh Enny menjelaskan dalam konteks perkawinan yang menjadi pokok persoalan perkara, terdapat perbedaan konstruksi jaminan perlindungan antara Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan UUD 1945. Pasal 16 Ayat (1) UDHR menyebutkan secara eksplisit bahwa laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.

Halaman:
Reporter: Antara
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...