Membaca 2 Sisi Putusan PN Jakpus, Skenario Tunda Pemilu Vs Nasib Prima

Ira Guslina Sufa
13 Maret 2023, 06:40
kontroversi putusan hakim, KPU vs Partai Prima
Ilustrasi
kontroversi putusan hakim

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur atau Prima menimbulkan polemik. Putusan itu menghukum Komisi Pemilihan Umum menghentikan tahapan pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari yang berdampak penundaan pemilu. Majelis Hakim juga menghukum KPU membayar ganti rugi senilai Rp 500 juta. 

Dalam putusan setebal 100 halaman yang dibacakan majelis hakim yang dipimpin hakim T Oyong, Prima dinyatakan sebagai partai yang dirugikan atas verifikasi administrasi yang dilakukan oleh KPU. Komisi juga dinyatakan telah melakukan perbuatan melanggar hukum. 

Advertisement

Putusan yang berdampak luas terhadap pelaksanaan pesta demokrasi yang telah dijadwalkan berlangsung pada 14 Februari 2024 itu mendapat perlawanan. KPU telah melayangkan memori banding yang disampaikan pada Jumat (10/3) lalu. 

“Kami banding dan insya Allah pemilu tetap berjalan sesuai jadwal,” ujar Ketua KPU Hasyim Asyari sehari sebelum memori banding diserahkan ke pengadilan. 

Pemerintah juga telah menyatakan dukungan penuh atas upaya banding yang dilakukan oleh KPU.  Kantor Staf Kepresidenan (KSP) mengatakan pemerintah tetap mendukung pelaksanaan Pemilu mendatang sesuai jadwal yang telah diputuskan. Selain itu pemerintah juga telah menganggarkan dana untuk mendukung suksesnya pemilu. 

"Presiden dalam berbagai kesempatan telah menekankan dukungannya untuk pelaksanaan Pemilu 2024 sesuai jadwal dan dilaksanakan secara konstitusional. Sampai dengan saat ini, pemerintah tetap berkomitmen mendukung pelaksanaan Pemilu 2024 sesuai jadwal," ujar Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani Jumat (3/3).

Sorotan pada Hakim

Putusan penundaan pemilu yang dibuat hakim mendapat respon keras dari berbagai pihak. Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli mengatakan secara keseluruhan putusan yang dibuat pengadilan tidak tepat karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.

Putusan itu juga disebut menyalahi Peraturan Mahkamah atau Perma No. 5 Tahun 2017 dan Perma No. 2 Tahun 2019. Kedua Perma mengatur tentang sengketa proses pemilu berada di Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN. 

“Putusan itu harus batal demi hukum karena menyalahi konstitusi. Salah kamar,” kata Romli dalam diskusi Masa Depan Pemilu pasca Putusan PN Jakarta Pusat, Selasa (7/3). 

Penundaan pemilu juga menjadi wacana yang ditolak publik. Berdasarkan survei yang dilakukan tiga lembaga, lebih dari 30 persen masyarakat menolak penundaan pemilu. 

Peneliti BRIN lainnya. Aisah Putri Budiatri mengatakan, di luar aspek hukum yang dinilai bermasalah karena hakim melampaui kewenangannya. Hakim dinilai membuat putusan yang keliru dan menunjukkan ketidakpahaman pada materi yang disidangkan. .

"Hakim juga menunjukan ketidakpahamannya, atau berpura-pura tidak paham, pada konteks politik yang lebih luas," kata Aisah saat dihubungi, Jumat (10/3).

Ia mengatakan putusan tersebut memancing kegaduhan. Terlebih lagi isu penundaan pemilu telah lama dihembus kalangan tertentu.

"Hal ini kembali akan menguatkan adanya niat jahat dan inkonstitusional tersebut berlanjut dan memang ada upaya serius untuk itu," kata Aisyah.

Lebih jauh ia mengatakan putusan PN Jakarta Pusat  menunjukkan upaya inkonstitusional yang disinggungnya itu melibatkan proses hukum tak hanya upaya politik semata. Ia menyayangkan putusan PN Jakarta Pusat tersebut karena menurutnya bermuatan kepentingan politik.

"Hal ini jelas mencoreng citra lembaga hukum," kata Aisah.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, menilai hakim Pengadilan Negeri atau PN Jakarta Pusat yang memutuskan untuk menunda Pemilu 2024 layak dipecat. Menurut dia, hakim tidak profesional dan tidak mengerti hukum Pemilu.

"Serta tidak mampu membedakan urusan privat (perdata) dengan urusan urusan publik," kata Jimly mengomentari putusan pengadilan. 

Dia mengatakan, Pengadilan Perdata harus membatasi diri hanya untuk masalah perdata saja. Sanksi perdata cukup dengan ganti rugi, bukan menunda Pemilu yang merupakan kewenangan konstitusional KPU. 

Halaman:
Reporter: Ade Rosman
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement