Babak-Belur Bisnis Kemitraan Pertashop, Menanti Revisi Kebijakan
Syaiful, salah seorang mitra Pertashop asal Jepara Jawa Tengah tak kuasa menahan gundah. Kesempatan hadir dalam rapat dengar pendapat dengan pimpinan dan anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (10/7) bersama Paguyuban Pengusaha Pertashop Jawa Tengah dan Yogyakarta ia manfaatkan untuk menuang keluh kesah.
Kepada anggota Dewan Syaiful bercerita impiannya menjadi pengusaha sukses saat pertama ingin menjadi mitra Pertashop yang merupakan salah satu layanan unit bisnis dari PT Pertamina (persero). Namun, impian itu kandas lantaran perjalanan bisnis tak sesuai rencana.
Syaiful mengeluhkan sejak Pertashop miliknya dibuka, ia sulit tumbuh di tengah besarnya persaingan. Apalagi ia harus bersaing dengan sejumlah SPBU baru yang menjual BBM dalam beberapa jenis.
Pada Pertahsop miliknya, ia hanya menjual BBM dengan RON tinggi sesuai dengan kebijakan Pertamina. Alhasil penjualan tak bisa didongkrak. Alih-alih meraih sukses ia malah mengalami kerugian.
"Meskipun kami adalah pengusaha Pertashop, tapi kami adalah petani dan buruh yang mencoba naik kelas tapi kena prank Pak," ujar Syaiful.
Syaiful bercerita ia membuka usaha Pertashop melalui bisnis kemitraan dengan Pertamina. Ia memperoleh modal pendirian Pertashop melalui pinjaman bank BUMN maupun BUMD yang menyediakan fasilitas kredit usaha rakyat alias KUR.
Bisnisnya terguncang setelah Pertamina menyetujui tiga izin pembangunan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di sekitar lokasi Pertashop miliknya. Menurut Saiful, pembangunan SPBU yang menjual beberapa jenis BBM, termasuk BBM bersubsidi Pertalite menggusur pangsa pasar Pertashop yang hanya diberikan kewenangan untuk menjual BBM non subsidi Pertamax.
"Pertashop kami sudah eksis dan ternyata Pertamina mengeluarkan izin tiga SPBU besar yang jaraknya hanya 700 meter, 1,6 kilometer dan 2,3 kilometer lokasi Pertashop kami," kata Syaiful.
Besaran investasi pembangunan Pertashop rata-rata mencapai Rp 570 juta. Uang itu terdiri dari paket Pertashop Gold dengan margin Rp 850 per liter sebesar Rp 250 juta, sewa lahan 10 tahun Rp 100 juta, pendirian bangunan Rp 200 juta dan biaya lain-lain mencakup listrik, air hingga reklame mencapai Rp 20 juta.
Syaiful bukanlah satu-satunya pengusaha Pertashop yang didera rugi. Himpunan Pertashop Merah Putih Indonesia (HPMPI) mencatat sebanyak 201 dari 518 pelaku usaha Pertashop merugi dan 66 terpaksa gulung tikar. Anggota HPMI rata-rata menjual 200 liter Pertamax per hari atau 6.000 liter per bulan.
Dengan harga jual Pertamax saat ini Rp 12.400 per liter, pelaku usaha dapat memperoleh laba kotor Rp 5,1 juta dari hasil margin penjualan Pertamax senilai Rp 850 per liter. Dari omzet Rp 5,1 juta tersebut, pelaku usaha hanya menerima laba sejumlah Rp 1,2 juta per bulan setelah terpotong biaya operasional bulanan seperti upah operator, pajak reklame, sewa tempat, hingga biaya listrik dan air.
Mitra Pertashop menilai besaran investasi pembangunan Pertashop yang mencapai Rp 570 juta tak sebanding dengan pendapatan bersih rata-rata senilai Rp 1,2 juta per bulan.
Ketua HPMPI, Steven, menyampaikan para pelaku usaha mampu menjual rata-rata 34.000 liter Pertamax saat harga BBM beroktan 92 tersebut masih berada di harga Rp 9.000 per liter pada kuartal I 2022. Volume penjualan merosot ke angka 24.000 liter saat harga Pertamax mencapai Rp 12.500 per liter pada pertengahan tahun 2022.
Menurut Steven, kondisi tersebut kembali anjlok saat harga Pertamax berada di angka Rp 13.300 pada Januari - Maret 2023 dengan realisasi total penjualan 14.000 liter. Harga jual Pertamax saat ini jauh lebih tinggi dari harga jual BBM Pertalite Rp 10.000 per liter.
Tergusur Pertamini
Kondisi disparitas harga yang merugikan pelaku usaha Pertashop diperparah dengan fenomena penjualan eceran BBM bersubsidi Pertalite secara bebas melalui skema Pertamini. Menurut Steven, praktik penjualan eceran Pertalite melalui Pertamini merupakan tindakan ilegal yang melanggar sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2021 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Lebih lanjut Steven menjelaskan pengecer Pertamini ilegal yang mendapatkan margin dan untung lebih besar tidak membayar kewajiban resmi seperti pajak layaknya penyalur legal Pertashop. Di sisi lain, Pertashop yang memperoleh margin dan keuntungan lebih rendah wajib membayar pajak dan pungutan legal.
"Aturannya sudah ada kenapa tidak ditegakkan? Sedangkan saat ini posisi kami sebagai yang legal punya omset yang lebih rendah dengan pengusaha yang mungkin izinnya tidak ada," kata Steven, pada forum yang sama.
Selain itu, pelaku usaha juga mengeluhkan masa izin operasional sementara atau IOS kemitraan Pertashop yang bakal berakhir pada 15 Juli 2023 mendatang. Steven menjelaskan bahwa mekanisme IOS adalah izin persetujuan bangunan gedung (PBG) dan sertifikat laik fungsi (SLF) yang diterbitkan oleh Kementerian Pekerja Umum dan Perumahan Rakyat (PURP).
Izin tersebut menjadi landasan Pertamina untuk menyetujui pembangunan Pertashop di suatu daerah. Izin tersebut harus diperpanjang tiap enam bulan sekali. Menurut Steven, perpanjangan izin itu kini menemui hambatan.
Belakangan Kementerian PURP menerapkan simplifikasi perizinan PBG dan SLF yang memangkas jumlah syarat perpanjangan izin menjadi 4 dokumen dari semula 13 dokumen. Kendati syarat pengajuan perpanjangan izin lebih sedikit, para pelaku usaha yang menyetor dokumen tersebut mentok karena PURP tidak mengeluarkan surat edaran yang menjadi pegangan pelaku usaha.
Informasi mengenai simplifikasi perizinan tersebut tak tersampaikan dengan baik di jajaran Pemerintah Kabupaten/kota. Singkatnya, pengusaha Pertashop meminta penerapan dan sosialisasi yang lebih masif.
Mereka juga meminta percepatan tanda tangan kontrak permanen antara mitra Pertashop dengan Pertamina Parta Niaga, yang memberikan diskresi terkait PBG dan SLF. Menurut Steven apabila sampai 15 Juli para mitra tidak menuntaskan izin yang harusnya dimiliki, maka IOS para mitra akan dicabut.
“Kalau sudah dicabut, otomatis kami tidak dapat suplai minyak sampai waktu yang belum ditentukan," ujar Steven.
Ajukan usul jual elpiji 3 kg dan Pertalite
Guna mengatasi kerugian yang berlarut, pengusaha Pertashop meminta Pertamina mengizinkan akses penjualan produk BBM Pertalite atau RON 90 dengan harga non-subsidi. Tak hanya itu, pengusaha juga ingin Pertashop ditetapkan sebagai pangkalan elpiji tabung 3 kilogram (kg) bersubsidi.
Steven menganggap penetapan Pertashop menjadi agen elpiji 3 kg bersubsidi dapat menggerakan perekonomian pada tingkat desa. Menurutnya, distribusi elpiji bersubsidi 3 kg melalui Pertashop dapat mewujudkan program pemerintah soal penyaluran elpiji melon secara tepat sasaran. Penyataan itu berdasarkan pada lokasi Pertashop yang mayoritas berada di wilayah pedesaan dan perkampungan.
Ketua Bidang Hukum Paguyuban Pengusaha Pertashop Jawa Tengah dan Yogyakarta, I Nyoman Adi Feri mengatakan para pengusaha Pertashop bersedia menjual BBM Pertalite pada kisaran harga Rp 11.200 sampai Rp 11.400 per liter. Harga ini lebih tinggi dibanding harga jual di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) senila Rp 10.000 per liter.
Dia menilai, implementasi rencana tersebut dapat menekan aktivitas penjualan Pertalite eceran secara bebas melalui skema Pertamini dengan rata-rata harga jual Rp 12.000 per liter.
Revisi bisnis Pertashop
Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro, menyoroti polemik bisnis Pertashop yang belakangan mengalami penurunan kinerja bisnis hingga rugi dalam beberapa waktu terakhir. Menurut Komaidi, kebijakan Pertashop yang hanya membolehkan mitra untuk menjual BBM RON tinggi tidak sesuai dengan segmen pasar yang menjadi target.
"Dari perspektif ekonomi dan daya beli masyarakat, konsep bisnis untuk Pertashop kiranya perlu ditata ulang," kata Komaidi dalam keterangan tertulis pada Senin (11/7).
Mekanisme bisnis Pertashop mayoritas tersebar di wilayah pedesaan dan pinggiran kota. Tujuannya untuk memperluas akses BBM kepada wilayah-wilayah yang belum terjangkau oleh Menurut Komaidi penjualan Pertashop yang berorientasi pada BBM RON tinggi seperti Pertamax, bright gas, dan pelumas tidak relevan dengan profil masyarakat pedesaan yang berpendapatan lebih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan.
Lebih lanjut, kata Komaidi, ketika Pertashop hanya diperbolehkan menjual BBM RON tinggi, sementara di SPBU tersedia BBM RON yang lebih rendah, maka masyarakat yang menjadi target pasar berpotensi membeli BBM di SPBU. Alasannya, SPBU menyediakan produk BBM yang lebih variatif sehingga masyarakat dapat memilih untuk membeli BBM RON rendah dengan harga lebih murah.
Selain itu Komaidi menuturkan kehadiran penjual BBM eceran dan Pertamini di wilayah yang tidak jauh dari lokasi Pertashop menjadi penyebab utama banyaknya Pertashop yang mengalami kerugian. Hal itu karena Pertamini dapat menjual BBM RON lebih rendah yang tidak dapat dilakukan oleh Pertashop.
"Kebijakan yang hanya membolehkan Pertashop menjual BBM RON tinggi, sementara kegiatan usaha Pertamini tidak ditertibkan akan berdampak terhadap target minimal penjualan Pertashop tidak tercapai. Akibatnya, biaya operasional tidak dapat tertutup,” ujar Komaidi.
Menanggapi keluhan dari para mitra, Pertamina pun memberi respon. Perusahaan pelat merah itu menganggap fenomena penurunan kondisi kinerja bisnis Pertashop dalam beberapa waktu terakhir bukan dipicu oleh tawaran produk yang dijual, melainkan dipicu oleh maraknya penjual BBM Pertalite eceran yang menyebabkan peralihan konsumen.
Juru Bicara Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengatakan perusahaan mengapresiasi usulan pengusaha Pertashop untuk diberikan hak menjual elpiji 3 kg dan Pertalite. Meski begitu, dia mengatakan bahwa penjualan BBM bersubsidi, seperti pertalite dan elpiji 3 kg, diatur secara ketat oleh negara. Tujuannya, agar alokasi distribusi kuota tahunan dapat tepat sasaran.
Fadjar menyebut sesuai regulasi yang ada bisnis kemitraan Pertashop berfokus pada distribusi produk BBM non-subsidi Pertamax hingga produk lain, seperti bright gas dan pelumas. Meski begitu ia menyebut Pertamina akan menindaklanjuti sejumlah keluhan yang telah diajukan para mitra Pertashop.
“Hal yang dikeluhkan oleh Asosiasi kemarin yang menjadi perhatian adalah adanya penjual eceran ilegal sehingga adanya peralihan konsumen,” ujar Fadjar. .