Jalan Berliku demi Laboratorium Tes PCR di Sumbar
Laboratorium yang dikelola Andani Eka Putra menjadi tulang punggung di Sumatera Barat untuk pengetesan Covid-19. Di awal-awal tak ada bantuan dana yang mampir.
Dokter Andani Eka Putra terlihat santai menyambut kami yang menunggunya di Restoran Clovia, Hotel Mercure, Sabang, Jakarta Pusat. Ia memakai kemeja putih dengan sendal dan baru saja menyelesaikan sesi rapat via Zoom.
Selama lebih satu jam kami berbincang dengannya. Ia bercerita panjang tentang perjalanannya mendirikan laboratorium tes reaksi berantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) di Sumatera Barat.
Laboratorium yang juga menjadi tempatnya bekerja di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas menjadi tulang punggung di provinsi tersebut untuk pengetesan Covid-19. Tidak ada laboratorium lainnya di sana.
Semua rumah sakit dan pelayanan kesehatan di Sumatera Barat memakai jasanya. Bahkan cakupannya hingga ke sebagian Sumatera Utara, Bengkulu, dan Jambi. Tidak ada yang dipungut biaya. “Saya tidak cocok minta-minta duit,” kata dokter mikrobiologi itu pada 15 Februari 2023.
Awal Membuka Laboratorium Tes PCR
Saat awal membuka laboratorium, pada Maret 2020, dalam sehari ada 200-300 sampel yang masuk ke mejanya. Bersama timnya, ia bekerja hingga larut malam untuk menyelesaikan tes hingga hasilnya keluar.
Targetnya adalah hasil keluar dalam waktu sehari usai tes usap. Jam enam pagi, ia melaporkan semua hasil ke gubernur. Lalu, pada pukul 10-12 siang ia akan mengirimkan surat hasil tes ke para bupati.
Dalam tiga bulan, jumlah pengetesan melonjak hingga 1.500 tes per hari. Bahkan saat terjadi gelombang Covid-19, seperti kasus varian Delta dan Omicron, laboratoriumnya menguji hingga 10 ribu tes.
Bantuan dana tidak ia dapatkan. Ia sempat memakai kartu kreditnya yang punya limit besar untuk membeli keperluan laboratorium. “Sekitar Rp 50 juta. Tapi bulan berikutnya saya bingung bayar tagihannya,” ucap dia sambil tertawa.
Andani juga menghibahkan peralatan laboratoriumnya seharga Rp 800 juta. Sebenarnya alat ini telah ia berikan sejak Desember 2019. Ketika Covid-19 datang, semua alat akhirnya terpakai dan universitas memintanya untuk dihibahkan, sesuai regulasi.
Sekarang aset laboratorium tersebut mencapai Rp 25 miliar. “Itu pahala dari Tuhan karena memeriksakan orang secara gratis,” katanya.
Bantuan baru datang setelah ia curhat kepada Lapor Covid-19. Koalisi masyarakat yang fokus pada data virus corona ini akhirnya menginisiasi sumbangan untuk laboratorium tersebut. Andani bisa bernapas sedikit lega ketika itu.
Dengan bantuan yang datang dari perorangan dan perusahaan itu, Andani bisa terus menjalankan laboratorium tes Covid-19 dengan gratis. Jangan tanya soal istirahat. Ia dan timnya hanya tidur dua hingga tiga jam sehari pada 2020 hingga 2021.
Pulang ke rumah, pekerjaan masih ia lakukan karena laboratorium buka 24 jam. “Tuhan saja yang baik ke saya. Saya pikir stamina akan anjlok, tapi ternyata tidak masalah,” kata dokter lulusan Universitas Andalas dan meraih gelar master dan doktor dari Universitas Gadjah Mada itu.
Yang sulit, menurut pria berusia 50 tahun tersebut, urusan manajemen dan logistik. Andani perlu waktu untuk beradaptasi. Mulai dari mengatur shift pekerja, memastikan para relawan mendapatkan makan, masker, sarung tangan, alat pelindung diri (APD), hand sanitizer, dan lainnya.
Ia merekrut banyak mahasiswa di kampusnya. Mereka berasal lintas fakultas. Total ada 120 orang yang terlibat. Untuk mendapatkan sukarelawan, ia sempat mengalami kesulitan. Mereka banyak yang khawatir dan takut terinfeksi.
Andani lalu mengajarkan para relawan cara yang aman melakukan pengujian. Ia menjamin infeksi jarang terjadi di dalam laboratorium. “Rata-rata tim yang kena (Covid-19) karena infeksi dari luar laboratorium. Bisa dari rumah, ketika makan bersama, dan lainnya,” katanya.
Soal logistik, menurut dia, paling sulit. Saat kasus di Eropa dan Amerika Serikat naik, reagen menjadi langka. Andani bisa mendapatkan reaktan untuk tes Covid-19 itu melalui vendor lamanya. Belum lagi APD dan peralatan lainnya. Ia bersyukur memiliki banyak teman yang membantu.
Pelajaran Berharga dari Covid-19
Keberhasilan Andani dalam menginisiasi tes PCR di kampung halamannya mendapat apresiasi pemerintah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutnya Patriot Militan di Tengah Pandemi. Lalu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin merekrutnya menjadi tenaga ahli dalam penanganan pandemi.
Dari pengalamannya, Andani melihat ada tiga hal harus menjadi pelajaran semua pihak, terutama pemerintah. Pertama, laboratorium yang kuat. “Tidak perlu banyak,” katanya. Kualitas pengujian dalam negeri sudah baik dengan sumber daya manusia yang mumpuni.
Untuk membuat laboratorium tersebut, pemerintah harus mau mengalokasikan anggaran untuk teknologi dan sumber daya manusia. Kalau pandemi kembali, pengujian menjadi lebih mudah. Langkah preventif, melalui pengetesan, pun berjalan.
Kedua, membuat sistem logistik yang bagus. Ketika pandemi, urusan logistik menjadi kompleks dan rumit. Pemerintah perlu membuat aturan agar setiap daerah merata mendapatkan bantuan, terutama alat pengujian dan kesehatan.
Ketiga, memperkuat produksi dalam negeri. Tak hanya APD dan masker, tapi juga kit atau alat pengujian. “Supaya tidak bergantung dengan luar negeri,” ucap Andani.
Ia merasakan sendiri bagaimana sulitnya bergantung dari barang impor. Ketika reagen sulit didapat, Andani sampai harus menutup laboratoriumnya. Untungnya hanya sehari dan tidak sering. Kondisi itu sangat merugikan dan menghambat penanganan pandemi.
Dalam kalkulasinya, 90% semua kebutuhan untuk pengujian dan mengobati Covid-19, berasal dari luar negeri, terutama Cina. Kondisi tersebut, menurut dia, harus berubah. Produksi dalam negeri dapat membuat pengujian menjadi lebih konsisten dan murah.
Soal harga, Andani berhasil membuat pengujian PCR di Sumatera Barat secara gratis. Kondisi itu tidak terjadi di provinsi lainnya. Bahkan di Jawa, harganya sempat mencapai Rp 1,5 juta. “Tidak masuk akal. Semahal-mahalnya itu Rp 300 ribu. Okelah, Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu untuk margin keuntungan,” katanya sambil tersenyum.
Saat ini Andani berusaha memproduksi kit secara mandiri. Ia dan timnya sudah membuat 15 kit, termasuk pengujian untuk kanker leher rahim, tuberculosis (TBC), human papillomavirus (HPV), dan lainnya. Harganya jauh di bawah rata-rata.
Misalnya, alat tes untuk HPV di pasaran Rp 800 ribu hingga sejuta rupiah. Dengan alat tes buatan Andani, harganya hanya Rp 200 ribu saja. “Targetnya sampai akhir tahun ada 100 kit untuk pengujian berbagai penyakit,” kata pria yang sempat bercita-cita menjadi wartawan tersebut.