AS Sepakat Kirim Gas Lebih Banyak ke Eropa, Pengganti Pasokan Rusia
Amerika Serikat (AS) sepakat akan mengirim pasokan gas alam cair (LNG) lebih banyak ke negara-negara Uni Eropa tahun ini. Kerja sama itu dilakukan demi memenuhi keinginan blok Eropa untuk melepas ketergantungannya pada bahan bakar fosil milik Rusia.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) para pemimpin Uni Eropa di Brussels, Kamis (24/3), Presiden AS Joe Biden berjanji akan mengirim setidaknya 15 bcm (miliar meter kubik) lebih banyak LNG ke Eropa tahun ini daripada yang direncanakan sebelumnya.
Seorang sumber yang dikutip oleh Reuters mengatakan, kesepakatan itu juga akan mencakup ekspor LNG AS yang lebih tinggi ke Uni Eropa pada tahun 2023.
Hal ini dilakukan menyusul pernyataan Pemerintah Rusia yang meminta negara-negara oposisi di Uni Eropa untuk membeli LNG miliknya dalam mata uang Rubel, alih-alih dalam Euro seperti kesepakatan yang berlaku saat ini.
Sebelumnya, Uni Eropa memberi sanksi di beberapa sektor kepada Rusia atas aksi invasinya ke Ukraina. Namun, Uni Eropa memiliki perbedaan pendapat terkait perlu atau tidaknya memberi sanksi pada sektor energi kepada Rusia, sebagai pemasok gas utama Eropa. Harga gas Eropa pun melonjak di tengah kekhawatiran terjadinya krisis energi di kawasan tersebut.
Dalam perkembangannya, Uni Eropa mengumumkan sepakat untuk memangkas penggunaan gas Rusia hingga dua pertiga tahun ini. Solusinya, dengan menaikkan impor dari negara lain dan memperluas energi terbarukan lebih cepat.
"Kontrak tetap dengan mata uang di mana pengiriman harus dibayar. Dalam kebanyakan kasus ialah euro atau dolar. Ini adalah dasar yang sedang kami kerjakan," kata Kanselir Jerman Olaf Scholz.
"Tidak ada yang akan membayar dalam rubel," kata Perdana Menteri Slovenia Janez Jansa.
Rusia sebagai pemasok gas utama Uni Eropa, mengirimkan total 155 bcm gas alam ke Uni Eropa pada 2021. Sebagian besar datang melalui pipa dan 15 bcm adalah LNG.
Ekspor LNG AS ke Uni Eropa mencapai 22 bcm tahun lalu. Eksportir AS telah mengirimkan rekor volume LNG ke Eropa selama tiga bulan berturut-turut, karena harga melonjak menjadi lebih dari 10 kali lebih tinggi dari tahun lalu, dengan pembeli Eropa dan Asia bersaing untuk mendapatkan pasokan yang ketat.