ESDM Tetapkan 47 Klasifkasi Mineral Kritis, Termasuk Nikel dan Timah
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan 47 komoditas tambang mineral sebagai klasifikasi mineral kritis. Dua di antaranya termasuk nikel dan timah.
Kedua komoditas tersebut menjadi komponen pembuatan baterai kendaraan listrik dan fasilitas energi penyimpanan atau battery energy storage system (BESS) sebagai infrastruktur pendukung transisi energi di Indonesia.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara (Minerba) Irwandy Arif menjelaskan penetapan klasifikasi mineral kritis bertujuan untuk menjaga cadangan dan sumber daya nikel dan timah sebagai mineral utama guna mendukung ekosistem transisi energi.
Selain nikel dan timah, Kementerian ESDM juga memasukkan mineral Aluminium, Kobal, Litium, Silika, Zirkonium hingga Thorium ke dalam klasifikasi mineral kritis.
“Sudah resmi, ada 47 mineral yang masuk klasifikasi mineral kritis,” kata Irwandy di Kantor Kementerian ESDM pada Jumat (25/8).
Menurut Irwandy, mineral yang masuk dalam klasifikasi mineral kritis harus mendapat prioritas pengolahan lebih lanjut atau hilirisasi di dalam negeri.
Kategorisasi mineral kritis diharap mampu mendorong berkembangnya industri hilir manufaktur produsen komponen industri strategis nasional.
“Mineral kritis masuk dalam program strategis pemerintah selanjutnya,” ujar Irwandy.
Pengelompokan mineral kritis mengacu pada faktor keterbatasan pasokan, nilai ekonomi, harga yang tinggi, dan penggunaan di berbagai sektor industri terutama industri teknologi tinggi.
Selain itu, klasifikasi mineral kritis juga memperhitungkan aspek dinamika pasar serta nilai manfaat untuk perekonomian dan pertahanan negara.
Keterangan tersebut merujuk pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 301 Tahun 2022 Tentang Rencana Pengelolaan Mineral dan Batu Bara Nasional Tahun 2022-2027.
United States Geological Survey mengatakan mineral kritis merupakan mineral yang bernilai esensial terhadap perekonomian dan pertahanan nasional serta memiliki kerentanan dalam pasokan.
Beberapa kriteria mineral kritis yang diusulkan di Indonesia, antara lain mineral untuk mendukung industri strategis nasional, mendukung peningkatan nilai tambah, dan mempertimbangkan ketersediaan deposit tambang, teknologi pengolahan, dan risiko pasokan dalam pasar global, serta belum ada material pengganti yang layak.
Bijih nikel dan timah memiliki potensi nilai tambah yang tinggi jika diolah menjadi produk lanjutan lewat hilirisasi di dalam negeri. Harga bijih nikel yang hanya dihargai US$ 33 per ton akan melonjak jadi US$ 2.622 per ton dan US$ 8.396 per ton setelah dimurnikan menjadi ferronikel dan nikel matte. Angka ini akan lebih tinggi jika diolah lebih jauh menjadi nikel batangan senilai US$ 13.786 per ton.
Komoditas tambang bijih timah juga berpeluang untuk menghasilkan keuntungan besar jika melewati proses hilirisasi. Adapun bijih timah hasil penambangan dihargai US$ 1.000 per ton. Angka ini akan naik jadi US$ 9.000 per ton setelah melewati proses pengolahan dan pemurnian.
Harga timah bisa melambung lebih tinggi jika sudah dalam bentuk timah batangan untuk keperluan manufaktur seharga US$ 16.250 per ton.